Dalam rangka penyusunan rencana produksi batubara nasional tahun 2025-2029, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menggelar agenda rapat untuk mengumpulkan pandangan dari para pelaku usaha serta asosiasi yang terkait tentang potensi pasar secara domestik maupun ekspor di tahun 2025-2029 mendatang sebagai bahan penyusunan rencana produksi batubara nasional. Rapat yang dibuka oleh Andri Wijayanto selaku Koordinator Perencanaan Produksi dan Pemanfaatan Mineral & Batubara dilaksanakan secara hybrid pada kamis (13/6) di Bogor.

APBI-ICMA hadir memenuhi undangan dan turut berpartisipasi aktif memberikan paparan dalam agenda tersebut. Selain asosiasi, Ditjen Minerba juga mengundang produsen-produsen batubara untuk memaparkan pandangannya terkait potensi pasar domestik serta ekspor yang sesuai dengan negara tujuan ekspor masing-masing perusahaan, pergerakan harga batubara, serta peluang dan tantangan apa saja yang akan dihadapi oleh pelaku usaha di tahun 2025-2029 mendatang. perusahaan-perusahaan tersebut antara lain PT. Kaltim Prima Coal (KPC), PT. Berau Coal, dan PT. Pesona Khatulistiwa Nusantara (PKN) yang juga merupakan anggota APBI-ICMA.

Pada dasarnya APBI-ICMA beserta dengan beberapa anggotanya yang memaparkan prospek perdagangan batubara 2025-2029 menyampaikan bahwa pasar kedepannya masih didominasi oleh permintaan dari Tiongkok, India, negara negara di ASEAN seperti Filipina, Malaysia, Thailand, serta Vietnam yang memiliki permintaan cukup melonjak sampai 2030.

Selain permintaan ekspor batubara, permintaan DMO juga masih mengalami peningkatan, apabila melihat tren nya pun perlahan memang meningkat dan secara tren, sudah 2 tahun belakangan realisasi DMO kita melebihi dari 25% yaitu mencapai angka 28%. Pembangkit listrik memiliki peranan penting dalam tren permintaan batubara nasional, menurut data dari RUPTL saja permintaan batubara masih diperkirakan mencapai 153 juta ton pada tahun 2030, selain itu adanya “pendatang baru” seperti kebutuhan batubara untuk smelter sendiri mengalami peningkatan, dari tahun 2022 angkanya mencapai 42,96 juta ton dan di tahun 2024 ini mencapai 60,20 juta ton dan sampai 2026 mencapai 84,24 juta ton. Dengan peningkatan ini, permintaan DMO tahun 2026 hampir mencapai 250 juta ton.

Menarik untuk dicermati adalah dengan posisi geopolitik semakin tidak menentu, maka pangsa pasar domestik sendiri harusnya bisa menjadi prioritas utama para penambang di Indonesia untuk menjual batubara mereka. Apalagi dari data sudah terlihat penjualan ke smelter sudah semakin meningkat dan harga penjualan batubara untuk smelter mengikuti harga pasar.  

APBI-ICMA pun menyampaikan beberapa hal yang sekiranya menjadi tantangan industri dalam penetapan produksi batubara nasional ini adalah terkait dengan volatilitas harga komoditas, disparitas harga jual aktual dan HBA. Menarik disini adalah dimana formula Harga Batubara Acuan (HBA) baru yang masih terdapat disparitas HBA dengan harga jual, karena acuan kalori yang dipakai adalah 6.322 GAR sehingga mempengaruhi kewajiban pembayaran royalti lebih tinggi, mungkin berdasarkan dari masukan beberapa anggota kami sendiri pun apakah sebaiknya acuan HBA-0 nya ini diacu berdasarkan kalori 5.000-5.500 GAR? Apalagi mayoritas penambang di Indonesia adalah di kalori tersebut, hanya sedikit Perusahaan yang memproduksi batubara 6.300 ke atas.

Tantangan lainnya adalah kewajiban pasokan batubara atau DMO. Hal ini menjadi tantangan karena tidak semua spesifikasi batubara dapat diserap oleh semua end user, selain itu masalah lainnya adalah capped harga batubara khusus yang sudah semakin jauh dengan harga market juga sepertinya harus dipertimbangkan kembali. Tentunya hal ini berhubungan juga dengan skema pungut salur batubara (skema MIP) yang sampai saat ini seluruh perusahaan batubara nasional sedang menunggu pemberlakuannya.