Published at
December 12, 2025 at 12:00 AM
Sinergi PPM dan CSR Dibahas dalam Diskusi Akhir Tahun APBI–ICMA
Di tengah dinamika kebijakan daerah dan kebutuhan pembangunan yang terus berkembang, penyelarasan antara Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dan Corporate Social Responsibility/Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR/TJSL) kembali menjadi perhatian penting bagi sektor pertambangan batubara. Untuk memperdalam pemahaman sekaligus menyatukan perspektif berbagai pihak, APBI–ICMA menggelar Diskusi Akhir Tahun Terkait PPM dan CSR/TJSL (10/12).
Forum tersebut menghadirkan regulator, pelaku industri, dan pemangku kepentingan untuk membahas bagaimana PPM dan CSR dapat dijalankan secara selaras, berbasis program, dan tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketua Umum APBI–ICMA, Priyadi, membuka diskusi dengan menegaskan bahwa perdebatan mengenai PPM dan CSR bukan hal baru bagi industri, terutama ketika terjadi perubahan kebijakan fiskal dan tekanan anggaran di daerah. Ia menyampaikan bahwa perbedaan pemahaman mengenai dua skema tersebut kerap membuat kontribusi industri dinilai hanya dari besaran dana sosial, padahal dampak ekonomi sektor pertambangan jauh lebih luas, mulai dari pajak, royalti, peluang usaha, hingga penciptaan lapangan kerja.
“Kalau kontribusi industri hanya dilihat dari PPM dan CSR, gambarnya jadi tidak utuh. Padahal dampak ekonomi dari kegiatan pertambangan jauh lebih besar,” ujar Priyadi.
Dari sisi regulator, Koordinator Hubungan Komersial Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Ayi Ruhiyat, memaparkan perkembangan kebijakan PPM dalam beberapa tahun terakhir. Ia menjelaskan bahwa pada awalnya PPM dirancang berbasis program, bukan berbasis nilai nominal seperti pungutan. Pendekatan yang digunakan pemerintah saat ini mengacu pada data historis dan kebutuhan program, dengan kisaran referensi sekitar 0,26% dari total biaya, namun bukan angka wajib.
Ayi juga menekankan bahwa perbedaan karakteristik tambang dan wilayah operasi membuat penyeragaman PPM tidak dapat dilakukan secara sederhana. “PPM itu esensinya pemberdayaan masyarakat di wilayah terdampak. Bukan mekanisme penarikan dana, bukan pula pungutan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum APBI–ICMA Bidang ESG & GMP, Ignatius Wurwanto, kembali menyoroti perbedaan mendasar antara PPM dan CSR/TJSL. PPM merupakan kewajiban regulatif dengan fokus pada lingkar tambang, sedangkan CSR memiliki ruang lingkup lebih luas sebagai tanggung jawab korporasi terhadap masyarakat dan lingkungan.
Ia mengingatkan bahwa pendekatan berbasis nominal berpotensi menggeser makna PPM menjadi sekadar urusan biaya. “PPM dan CSR punya spirit yang berbeda. Jika dipaksakan sama tanpa pemahaman yang utuh, justru bisa menimbulkan persoalan baru di lapangan,” katanya.
Diskusi berlangsung interaktif dan menyoroti sejumlah tantangan implementasi PPM, termasuk perbedaan kapasitas pemerintah daerah, proses penyelarasan dengan blueprint pembangunan, serta kebutuhan komunikasi yang lebih terbuka antara perusahaan dan pemangku kepentingan. Peserta juga menekankan perlunya memastikan dokumen perencanaan, terutama Rencana Induk Program Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM), tidak bersifat statis dan ditinjau secara berkala agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Menutup diskusi, Priyadi menyampaikan pentingnya tindak lanjut yang lebih konkret. “Diskusi ini tidak berhenti di sini. Harus ada upaya bersama agar pelaksanaan PPM dan CSR ke depan lebih selaras dan efektif,” ujarnya.
Diskusi Akhir Tahun APBI–ICMA ini menegaskan pentingnya pendekatan berbasis program, sinkronisasi kebijakan, serta penguatan komunikasi publik untuk memastikan kontribusi sektor batubara terhadap pembangunan masyarakat terus berjalan secara berkelanjutan di tengah dinamika kebijakan daerah dan ekonomi nasional.




