Dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif, Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) berperan mendukung transisi energi global. EITI bertujuan untuk mengungkapkan pendapatan dari sumber daya alam seperti migas, batubara dan mineral yang memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. APBI-ICMA sebagai salah satu asosiasi yang menjadi bagian dari Multi Stakeholder Group (MSG) EITI Indonesia turut hadir dalam webinar bertema “Memahami Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Ekstraktif” yang digagas oleh Pusdatin ESDM dan PWYP (31/07).

Kementerian ESDM melalui Pusdatin saat ini sedang menyusun roadmap implementasi perdagangan karbon di sektor lain selain pembangkit listrik, tapi juga sektor pertambangan dan migas. Untuk mendukung hal itu, tentunya data-data inventori emisi harus diperhatikan. Kedepannya ada aktivitas di tambang yang bisa dijadikan potret untuk upaya pengurangan emisi. Di dalam E-NDC target penurunan emisi sebesar 31,89% pada tahun 2030 diterjemahkan menjadi angka 912 juta ton CO2eq untuk seluruh sektor. Sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 358 juta ton CO2eq di mana emisi GRK nasional sebagai salah salah bagiannya. Berdasarkan data Pusdatin ESDM emisi GRK untuk sub sektor batubara mencapai 4,78 persen total emisi GRK sektor energi Indonesia pada tahun 2022.

Indonesia menjadi salah satu negara yang bergabung dengan EITI, dimana terdapat berkomitmen untuk mengungkapkan informasi pendapatan yang diterima dari sektor pertambangan dan memastikan aksesibilitas informasi tersebut bagi publik. Dalam pedoman EITI memuat persyaratan pengungkapan kontrak, transparansi pembayaran, informasi dampak lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Transisi energi bisa menjadi peluang, seperti pengurangan emisi gas rumah kaca, diversifikasi ekonomi, dan peningkatan keamanan energi. Namun, tantangannya  juga ada, seperti kebutuhan investasi awal yang besar, menggunakan teknologi canggih dan dampak sosial seperti kehilangan pekerjaan di sektor energi fosil.

Laporan yang dirilis oleh EMBER Climate mengungkapkan pentingnya pelaporan emisi gas rumah kaca (GHG) dan peran transparansi dalam upaya global untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri pertambangan batubara. Pelaporan emisi metana sangat penting karena membantu perusahaan batu bara memahami skala masalah, menilai risiko lingkungan dan investasi, serta mendukung pengembangan strategi mitigasi yang efektif. Sayangnya, sebagian besar perusahaan batu bara di Indonesia belum sepenuhnya melaporkan emisi metana mereka.

Hanya empat dari sepuluh perusahaan batu bara besar di Indonesia yang melaporkan emisi metana tambang batu bara dalam laporan keberlanjutan mereka, seperti yang Indika Energy Tbk, ITM Tbk, Golden Energy Mines Tbk. dan Bukit Asam Tbk. Selain itu, beberapa perusahaan batu bara sudah memulai upaya untuk mengurangi emisi, termasuk menggunakan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan kompensasi karbon. Namun, belum ada perusahaan yang memiliki rencana mitigasi khusus untuk emisi gas metana tambang batu bara. Perusahaan perlu menilai ulang risiko terkait perubahan iklim dan peraturan lingkungan yang ketat. Diversifikasi bisnis dapat mengurangi risiko ini dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menginvestasikan sumber daya dalam energi terbarukan dan teknologi hijau lainnya.

Indika Energy dan Adaro Energy, telah menyatakan komitmen untuk mencapai emisi nol bersih masing-masing pada tahun 2050 dan 2060. Upaya ini mencakup penggunaan energi terbarukan dan pengembangan kendaraan listrik, namun belum ada rencana khusus untuk mitigasi emisi gas metana tambang batu bara.

Laporan EMBER Climate menyoroti bahwa pelaporan emisi dan transparansi adalah langkah penting dalam upaya global untuk mencapai keberlanjutan. Meskipun beberapa perusahaan telah menunjukkan komitmen terhadap pelaporan emisi, tapi masih banyak yang perlu dilakukan. Diversifikasi bisnis dan adopsi teknologi hijau merupakan langkah penting menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Kemudian, Tekmira menyampaikan terkait dengan pengumpulan data emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor pertambangan batubara dan mineral. Perhitungan emisi GRK dilakukan berdasarkan aktivitas pertambangan dan faktor emisi spesifik yang telah ditentukan. Tekmira menggunakan metodologi internasional untuk menghitung emisi dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan bakar fosil, emisi metana dari tambang, dan proses industri lainnya.

Estimasi total emisi GRK dari sektor pertambangan batubara dilakukan dengan mengintegrasikan data dari berbagai perusahaan tambang. Hasilnya menunjukkan kontribusi signifikan sektor ini terhadap emisi nasional, sehingga diperlukan upaya pengurangan yang lebih intensif.

Tekmira menekankan pentingnya pelaporan emisi yang transparan dan akurat sebagai langkah awal dalam upaya pengurangan emisi GRK. Perusahaan tambang harus mengadopsi teknologi hijau dan praktik terbaik dalam operasinya untuk mengurangi dampak lingkungan.

Harapannya perusahaan tambang bisa menyampaikan transparansi data dari sektor industri ekstraktif. Dengan komitmen yang kuat, sektor pertambangan dapat berkontribusi positif dalam mencapai target nasional pengurangan emisi dan mendukung keberlanjutan lingkungan.