Pentingnya untuk merestorasi tanah sebagai dasar untuk rehabilitasi dan reklamasi menjadi bahasan dalam topik inovasi pemulihan lingkungan pada Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Energi Baru Terbarukan (LIKE). Dr Muhammad Zainal Arifin selaku Direktur Konservasi tanah dan air mengungkapkan pentingnya restorasi tanah untuk mengurangi karbon. Adanya siklus iklim antara tanaman dengan tanah yang saling mempengaruhi, membuat siklus ini sangatlah penting. Tanah menjadi penyedia jasa ekosistem yang juga habitat mahluk hidup dan juga sebagai penyimpan karbon.

Restorasi tanah dalam kaitannya dengan pemulihan lingkungan berhubungan dengan upaya dari Perusahaan pertambangan dalam menjalankan kewajiban reklamasi dan rehabilitasi. Dalam diskusi yang juga menghadirkan Ketua Komite GMP Ignatius Wurwanto dan juga perwakilan dari PT Kideco Jaya Agung, Arif Kayanto mengungkapkan sejumlah upaya yang telah dilakukan perusahaan pertambangan batubara dalam mengelola reklamasi dan rehabilitasi termasuk pengelolaan tanah, hingga pemindahan lapisan tanah.

Menurut Ignatius Wurwanto, saat ini Pemerintah terus berinovasi dan membuat standar-standar baru dalam pemenuhan kewajiban rehabilitasi dan reklamasi. Dari sebelumnya mulai dengan penerapan jenis-jenis tanaman, hingga kedepan memperluas kewajiban lainnya. Tentunya hal ini memerlukan sinergi antara regulator dan dunia usaha.

Peran penting reklamasi diatur dalam PP26/2020. Rencana umum reklamasi adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan setelah penambangan selesai dilakukan. Dekarbonasi tanah melalui reklamasi perlu perencanaan matang, dimana reklamasi yang merubah bentang alam menjadi sesuatu yang berguna.

Selain restorasi tanah, perusahaan pertambangan saat ini juga berinovasi dalam upaya pengelolaan lingkungan. Melalui beberapa program pengelolaan lingkungan yang dilakukan anggota APBI, kedepan juga terdapat potensi untuk menyimpan karbon, bahkan lebih besar dari sebelum eksplorasi penambangan dilakukan.

 

Pembahasan Nilai Ekonomi Karbon

Festival LIKE ini merupakan rangkaian Road to COP 28 UNFCCC, yang akan dilangsungkan di Dubai, UEA akhir November tahun ini. Selain zona kuning yang membahas inovasi pemulihan lingkungan, terdapat zona lain seperti zona baru yang mengusung komitmen Energi Baru Terbarukan, zona hijau yang membahas Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 dan zona ungu dengan topik masyarakat sejahtera alam lestari.

Dalam zona terpisah, perdagangan karbon juga menjadi salah satu topik yang mengundang banyak minat dalam festival yang digelar selama 3 hari tersebut. Penerrapan nilai ekonomi karbon menjadi kesempatan untuk masyarakat dan perusahaan bekerja sama dalam menurunkan emisi gas karbon, salah satunya lewat jual beli.  Pembahasan tentang nilai ekonomi karbon tersebut juga sekaligus bertepatan dengan launching Ruang Konsultasi dan Kolaborasi (Ruang Karbon) di Gedung Wanabakti KLHK. Hal ini agar masyarakat yang akan benar-benar menjual lahan emisi dapat langsung menjualnya ke pembeli.

Meskipun ada beragam zona, antara topik satu dengan yang lain saling berkesinambungan. Ini juga menjadi tantangan sekaligus harapan bagi perusahaan pertambangan dalam mengelola reklamasi dan rehabilitasi dalam kaitan dengan penyimpanan karbon kedepannya. Industri memiliki peran strategis dalam memerangi krisis iklim. Tidak sekedar pelaksanaan kewajiban aturan semata, namun juga melalui inovasi lainnya.