APBI-ICMA bekerjasama dengan salah satu Kantor Akuntan Publik yaitu RSM Indonesia untuk menggelar acara Coal Tax Updates ”Memahami Peraturan Transfer Pricing Indonesia & Implikasinya Terhadap Industri Batubara” bertempat di kantor APBI-ICMA (20/02). Agenda ini dibuka oleh Ulina Fitriani (Komite Pajak APBI-ICMA) serta menghadirkan narasumber Ichwan Sukardi (Head of Tax RSM) dan Qivi Hady (Partner Transfer Pricing). Acara ini mendapatkan animo positif dari para anggota, terdapat sekitar 55 peserta yang turut hadir dan berpartisipasi.
Secara spesifik Coal Tax Update ini membahas peraturan transfer pricing dalam PMK 172/2023, pengaturan dalam PP 15/2022 serta bagaimana interaksi antar kedua aturan tersebut. Kedua jenis aturan ini sangat berimbas bagi pelaku usaha pertambangan batubara. Dalam opening remarks nya, Ulina Fitriani menyampaikan bahwa PP 15/2022 mengatur, antara lain:
1) Penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dan PKP2B dengan ketentuan UU PPh yang berlaku dari waktu ke waktu; dan
2) Ketentuan terkait kewajiban PNBP hanya berlaku untuk IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Ketentuan perlakuan perpajakan ini berlaku sejak awal Tahun Pajak 2023.
Industri pertambangan batubara telah menjadi salah satu pilar utama ekonomi Indonesia yang memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara. Selama satu dekade terakhir, bisnis batubara telah memberikan kontribusi sekitar 5% hingga 8% terhadap PDB Indonesia. Besarnya skala bisnis batubara Indonesia menempatkan Republik ini sebagai eksportir batubara terbesar ketiga di dunia, berada di belakang India dan Cina. Tingginya nilai ekonomi dari industri batubara ini tentu meningkatkan isu penerimaan negara, khususnya sektor perpajakan.
Beberapa tahun belakangan ini, penghindaran pajak oleh konglomerasi dan grup usaha menjadi isu yang paling hangat di dunia perpajakan, terutama ketika berbicara tentang transaksi afiliasi atau transaksi antar pihak berelasi antar anggota grup usaha. Sebagaimana telah kita ketahui, industri batubara merupakan salah satu industri yang didominasi oleh grup usaha dan konglomerasi raksasa, sehingga keberadaan transaksi intragrup menjadi suatu hal yang tidak terelakkan.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak menaruh perhatian khusus dalam isu transfer pricing, terutama dalam sektor sektor penopang penerimaan negara seperti batubara. Hal ini terbukti di tahun 2023, ketika DJP merilis peraturan terbaru tentang transfer pricing yang bersifat omnibus, yang menggabungkan aturan-aturan transfer pricing menjadi satu regulasi, yaitu PMK-172 tahun 2023. Aturan ini sudah berlaku sejak 29 Desember 2023. Banyak perubahan fundamental dalam aturan tersebut, seperti pengaturan terkait penyesuaian keterkaitan, penyesuaian sekunder, dan tentang pendokumentasian transfer pricing.
PMK No. 172/2023 menggabungkan berbagai aturan terkait transfer pricing (TP) yang sebelumnya terpecah ke dalam tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang meliputi PMK Nomor 213/PMK.03/2016 terkait penyusunan TP Documentation (TP Doc), PMK Nomor 49/PMK.03/2019 terkait Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure (MAP) dan PMK Nomor 22/PMK.03/2020 terkait PKKU dan Kesepakatan Harga Transfer atau Advance Pricing Agreement (APA).
Menyikapi berbagai perubahan dalam aturan transfer pricing, Partner Tax RSM Indonesia T. Qivi Hady Daholi menguraikan beberapa langkah mitigasi risiko over taxation dalam proses pemeriksaan pajak, khususnya atas transfer pricing. Dijelaskan oleh Qivi bahwa langkah pertama yang diperlukan adalah menyediakan dokumen transfer pricing (TP Doc) yang memenuhi ketentuan formal, material, dan tepat waktu. Sebagai solusi untuk transaksi afiliasi lokal bisa menggunakan Unilateral APA dan memakai bilateral dan multilateral APA sebagai solusi untuk transaksi keteranganya, Selasa (20/2).
Langkah kedua, melakukan Advance Pricing Agreements (APA) untuk mencegah sengketa transfer pricing. Qivi menjelaskan, sebagai solusi untuk transaksi afiliasi lokal bisa menggunakan Unilateral APA dan memakai bilateral dan multilateral APA sebagai solusi untuk transaksi cross border. Ketika sudah ada APA saat tax payer dan tax authority disetujui maka terdapat kepastian bagi taxpayer, dilindungi dari tax audit atau compliance testing oleh otoritas pajak.
Ketiga, jika sudah terjadi sengketa, maka bisa menggunakan domestic pathway yakni objection serta appeal dan judicial review, serta langkah alternatif untuk international pathway yakni melalui Mutual Agreement Procedure (MAP). “MAP didesain guna mencapai penyelesaian pajak yang bersifat win-win output serta menghilangkan atau mengurangi pajak ganda,” pungkas Qivi.
Seperti diketahui, DJP memiliki hak untuk melakukan penilaian kembali terhadap prinsip penetapan harga transfer yang adil (ALP). Jika harga yang ditetapkan atas transaksi dinilai tidak memenuhi persyaratan ALP maka koreksi yang diterapkan dapat meningkatkan beban pajak hingga 48%.
Sebagai catatan, PMK No. 172 memuat penjelasan catatan detail terkait tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) yang tidak diatur dalam peraturan sebelumnya.