Kompas
Published at
July 28, 2025 at 12:00 AM
Titik Kritis Batu Bara: Mengurai Simpul Energi dan Fiskal
INDONESIA tengah menghadapi titik kritis dalam transisi menuju ekonomi pasca-komoditas. Batu bara, yang selama ini menjadi andalan penerimaan negara bukan pajak, mulai kehilangan posisi strategis dalam lanskap energi global.
Pada awal Juli 2025, harga batu bara ICE Newcastle tercatat sebesar 109,95 dolar AS per ton.
Meski meningkat hampir tiga persen dalam sepekan, harga tersebut tetap lebih rendah 12 persen dibanding awal tahun dan turun hampir 19 persen dibanding tahun lalu.
Ini bukan sekadar fluktuasi sesaat, tetapi sinyal bahwa struktur permintaan global mengalami pergeseran permanen.
Transformasi energi di China menjadi pendorong utama perubahan ini. Negara yang selama ini menyerap lebih dari separuh ekspor batu bara Indonesia telah mencapai tonggak sejarah dengan kapasitas energi surya mencapai 1,08 terawatt pada Mei 2025.
Ini setara dengan lebih dari seribu pembangkit listrik tenaga nuklir. Energi surya dan angin kini menjadi lebih murah dibanding batu bara di banyak provinsi industri.
Produksi batu bara domestik China memang meningkat, tetapi penjualan dari perusahaan tambang utamanya justru turun 12,3 persen dalam lima bulan pertama 2025.
Pembangkit listrik berbasis energi fosil juga turun 3,1 persen. Ini menunjukkan perubahan mendasar dalam model permintaan global.
Di Indonesia, pemerintah justru mengusulkan revisi sistem RKAB atau rencana kerja dan anggaran biaya pertambangan, dari tiga tahunan menjadi tahunan. Alasannya adalah produksi dianggap terlalu besar dan tidak terkendali.
Namun, tantangan sebenarnya bukan pada panjangnya periode administrasi, melainkan pada ketidaksesuaian antara produksi, kualitas batu bara, dan kebutuhan pasar yang semakin tersegmentasi.
Indonesia memproduksi 600-700 juta ton batu bara per tahun dari total perdagangan global sekitar 1,2-1,3 miliar ton.
Meski mendominasi pasar ekspor, dominasi volume tidak menjamin kekuatan harga. Harga dipengaruhi banyak faktor seperti LNG, biaya logistik, dan ketegangan geopolitik di kawasan penting seperti Selat Hormuz.
Perubahan RKAB menjadi tahunan berisiko menciptakan beban administratif besar bagi lebih dari 4.100 izin tambang aktif. Ini bisa menurunkan efisiensi birokrasi dan menciptakan ketidakpastian usaha, terutama bagi penambang kecil yang minim sumber daya.
Dari sisi fiskal, ketergantungan pada batu bara mulai menunjukkan batasnya. Pada kuartal pertama 2025, realisasi PNBP dari sektor minerba turun menjadi Rp 23,7 triliun, turun 7,4 persen dibanding tahun sebelumnya.
Target PNBP tahun ini pun direvisi menjadi Rp 124,5 triliun, lebih rendah dari Rp 142 triliun pada 2024. Pemerintah kembali mempertimbangkan bea keluar ekspor batu bara sebagai solusi jangka pendek.
Namun, memaksakan pungutan saat pasar lesu justru berisiko. Produsen akan terdorong menjual ke pasar domestik dengan margin rendah, menekan industri hilir seperti kelistrikan dan manufaktur. Ini menciptakan tekanan tambahan bagi sektor-sektor produktif.
Industri nikel juga menghadapi tekanan. Setelah China memberlakukan tarif anti-dumping atas baja nirkarat asal Indonesia, smelter berbasis Rotary Kiln Electric Furnace terpukul.
Teknologi ini dominan di Indonesia, tetapi kurang efisien dan menghasilkan emisi tinggi, sehingga tidak kompetitif secara global.
Akibatnya, daya saing ekspor nikel melemah. Risiko oversupply muncul karena pasar domestik belum siap menyerap hasil produksi.
Padahal Indonesia memiliki 5,3 miliar ton cadangan nikel dan 18,5 miliar ton sumber daya. Jika struktur pasar tidak diperbaiki, potensi kekacauan bisa terjadi dalam waktu dekat.
Dampaknya meluas ke neraca perdagangan dan nilai tukar. Komoditas tambang menyumbang 24 persen ekspor Indonesia.
Ketika batu bara dan nikel terguncang, surplus dagang menyempit dan nilai tukar rupiah tertekan. Kini, surplus bulanan berada di bawah tiga miliar dolar AS, dan rupiah melemah ke Rp 16.300 per dolar.
Harapan muncul dari proyek hilirisasi seperti pabrik baterai Rp 95 triliun di Karawang. Pabrik ini ditargetkan memproduksi 15 GWh baterai per tahun, cukup untuk 300.000 kendaraan listrik.
Namun, tanpa strategi pasar, perlindungan hak kekayaan intelektual, dan keunggulan produk, proyek semacam ini hanya akan menjadi fasilitas perakitan dengan margin rendah.
Kebijakan energi Indonesia juga kurang selaras dengan arah global. Saat dunia menuju dekarbonisasi, Indonesia justru memacu produksi untuk mengejar target fiskal.
Ini bisa memperburuk reputasi produk Indonesia di pasar internasional yang makin menuntut standar ESG (Environmental, Social and Governance).
Diperlukan reformasi menyeluruh. Sistem RKAB sebaiknya diganti dengan model adaptif berbasis indikator harga ekspor, kapasitas produksi, dan tren permintaan. Ini akan memberikan fleksibilitas tanpa membebani birokrasi.
Penerimaan komoditas juga sebaiknya dikelola melalui dana stabilisasi, bukan sebagai penutup defisit APBN.
Pasar ekspor perlu diperluas ke wilayah nontradisional seperti Afrika Timur, Asia Selatan, dan Eropa Timur melalui diplomasi perdagangan yang agresif.
Pembangunan industri juga harus terhubung dengan penguatan sumber daya manusia. Tanpa tenaga kerja terlatih dan ekosistem pendidikan yang mendukung, proyek besar akan menjadi enclave industri yang tidak terhubung dengan ekonomi lokal.
Krisis batu bara ini memiliki tiga saluran transmisi utama: harga, volume, dan kebijakan. Ketiganya memiliki efek berantai terhadap ekonomi nasional.
Penurunan harga memukul margin perusahaan tambang dan sektor pendukung seperti logistik, jasa kontraktor, dan konsumsi rumah tangga di sekitar tambang.
Penurunan volume ekspor menyebabkan penumpukan stok dan biaya penyimpanan. Kelebihan pasokan menciptakan dilema antara menjual rugi atau menunggu, yang akhirnya memperlambat investasi baru dan memperburuk struktur keuangan perusahaan.
Ketidakpastian kebijakan memperparah keadaan. Perubahan regulasi yang reaktif menciptakan ketidakpastian pasar dan menurunkan insentif investasi. Dalam jangka panjang, ini bisa menurunkan produktivitas sektor secara keseluruhan.
Ketika ketiga transmisi ini terjadi bersamaan, muncul spiral penurunan produktivitas. Batu bara, yang dulu menopang fiskal negara, kini menjadi sumber kerentanan.
Tanpa intervensi kebijakan yang cermat, risiko sosial dan fiskal bisa meningkat, terutama di daerah penghasil tambang.
Dampak ini tidak berhenti pada sektor tambang. Efeknya menyebar ke sektor keuangan melalui peningkatan kredit bermasalah, ke sektor energi melalui ketidakpastian harga listrik, dan ke sektor manufaktur melalui gangguan pasokan energi.
Di tengah dinamika global yang cepat berubah, strategi negara tidak boleh stagnan. Ketika pasar bergerak ke arah energi bersih, respons Indonesia harus lebih dari sekadar bertahan.
Kita harus berani menjadi pengarah arus, bukan sekadar pengikut tren. Diversifikasi ekonomi perlu lebih dari jargon, melainkan praktik yang menembus struktur industri dan fiskal.
Langkah-langkah konkret diperlukan untuk menyusun peta jalan transformasi sektor ekstraktif menuju sektor produktif berbasis inovasi dan efisiensi.
Indonesia membutuhkan infrastruktur kebijakan yang dapat menjawab gejolak eksternal tanpa mengorbankan stabilitas internal. Di sinilah peran kelembagaan fiskal, perencanaan industri, dan diplomasi ekonomi harus bertemu.
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Detik Kalimantan
Published at
7 Provinsi Penghasil Batu Bara Indonesia, Terbesar di Kalimantan
Tribun Kaltim
Published at
70 Persen Sumber Energi Indonesia Dipasok dari Kalimantan, Ekonomi dan Lingkungan Harus Seimbang
CNBC Indonesia
Published at