Kompas
Published at
November 7, 2025 at 12:00 AM
Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap
KOMPAS.com - Penelitian baru yang dipresentasikan di GSA Connects 2025 di San Antonio menemukan hal yang mengejutkan. Tambang batubara yang sudah lama tidak terpakai merupakan sumber emisi CO2 jangka sangat panjang yang tersembunyi.
Drainase atau air yang mengalir keluar dari tambang batubara yang sudah tak beroperasi ternyata bertindak sebagai pengangkut CO2 yang larut ke permukaan, diam-diam kemudian melepaskannya ke udara puluhan bahkan berabad-abad setelah penambangan berhenti. Hasil tersebut terungkap setelah ahli geokimia Dorothy Vesper dari West Virginia University (WVU) meneliti drainase selama bertahun-tahun.
Dalam sebuah studi tahun 2016, ia dan rekan-rekannya memperkirakan bahwa drainase dari 140 tambang terbengkalai di Pennsylvania, AS melepaskan CO2 per tahun sebanyak pembangkit listrik tenaga batu bara kecil.
“Kami ingin memiliki pemahaman yang jauh lebih baik tentang seberapa besar emisi karbon ini,” kata Vesper, dikutip dari Earth, Selasa (4/11/2025).
Selama ini, sebagian besar pembahasan tentang drainase tambang berfokus pada aliran sungai berwarna oranye, ikan trout yang keracunan, dan infrastruktur yang terkorosi. Namun penelitian menunjukkan ada juga gumpalan yang tak terlihat yakni CO2 yang menguap saat air meninggalkan tambang dan merembes ke sungai-sungai kecil.
Kebocoran itu berkelanjutan dan tidak terputus. menjadikannya penyumbang emisi CO2 yang terabaikan namun berdampak dalam jangka panjang. Proses kimia pelepasan CO2 ini prosesnya sebenarnya sudah mulai dari bawah tanah. Banyak lapisan batubara disertai dengan mineral yang mengandung sulfida. Ketika penambangan membuat mineral tersebut terpapar oksigen dan air, mereka menghasilkan asam sulfat.
Air asam yang dihasilkan kemudian bergerak melalui batu kapur dan batuan karbonat lainnya yang terbentuk jutaan tahun lalu. Batuan karbonat tersebut menyimpan karbon yang berasal dari atmosfer kuno. Dan ketika asam sulfat bertemu dengan batuan karbonat ini, asam tersebut melarutkan batuan, melepaskan CO2 yang telah terperangkap di dalamnya selama jutaan tahun.
CO2 inilah yang kemudian dibawa oleh air tambang ke permukaan. Sebelumnya, hanya sedikit peneliti yang berusaha mengukur secara kuantitatif jumlah pasti CO2 yang dilepaskan melalui proses penguapan air tambang. Alasannya karena sifatnya yang sulit diukur, tidak terpusat, atau sulit dilacak secara konsisten.
Tantangan lain juga dialami peneliti saat mempelajari emisi CO2 dari tambang batubara bekas. Tambang-tambang yang ditinggalkan tidak dikatalogkan dengan baik, mulut tambang yang dilaporkan sering kali kering atau hilang ditelan waktu. Penelitian di lapangan juga bisa berlangsung lama, namun terkadang tidak menemukan apa-apa.
Hambatan lainnya adalah perangkat keras. Alat ukur standar yang mudah didapatkan dirancang untuk mengukur kondisi lingkungan yang normal. Akan tetapi alat-alat tersebut gagal berfungsi dengan baik karena tingkat CO2 yang ekstrem di air tambang.
Konsentrasi CO2 di beberapa air tambang seribu kali lebih tinggi daripada yang ditemukan di perairan permukaan biasa. Fase penelitian selanjutnya adalah mencari cara untuk mengurangi emisi dari tambang bekas. Beberapa solusinya secara mengejutkan cukup sederhana seperti misalnya memindahkan aliran air keluar dari area terbuka.
Tim ini juga berencana menambahkan metana ke rangkaian pengambilan sampelnya, untuk berjaga-jaga jika tambang-tambang tua mengeluarkan gas rumah kaca potensial lainnya.
Source:
Other Article
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
Kontan
Published at
190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman
CNBC Indonesia
Published at
190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya
CNBC Indonesia
Published at