TEMPO
Published at
November 10, 2025 at 12:00 AM
Sandera Batu Bara di Udara Kita
Studi Centre for Research on Energy and Clean Air, Center of Economic and Law Studies, dan Trend Asia menambah bukti mudarat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Riset yang terbit pada 4 November 2025 itu diberi judul "Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia".
Telaah itu menemukan bahwa 20 dari 38 PLTU, yang tersebar di seluruh Indonesia, membahayakan kesehatan makhluk hidup. Asap, debu, dan partikulat yang dihasilkan pembangkit-pembangkit itu mengandung pelbagai gas serta zat beracun yang menimbulkan sejumlah penyakit serius, seperti stroke, diabetes, dan kanker. Studi tiga lembaga tersebut memprediksi PLTU bisa memicu 156 ribu kematian hingga 2050.
Tahun 2050 adalah tahun bebas PLTU batu bara sesuai dengan janji pemerintah dalam komitmen mitigasi krisis iklim. Pada tahun itu pula pemerintah menargetkan nol emisi bersih atau seimbang antara produksi emisi dan penyerapannya. Jika tak ada kebijakan apa pun dalam menurunkan emisi, tak hanya memicu kematian dini, kerugian ekonomi akibat polusi PLTU sampai tahun tersebut mencapai Rp 1.813 triliun.
Angka-angka gigantis ini tidak baru. Pada 2016 dan 2017, Greenpeace juga merilis laporan kerugian ekonomi dan kesehatan akibat PLTU batu bara. Tahun itu saja biaya pengobatan akibat polusi mencapai Rp 351 triliun, tiga kali lipat biaya kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Meski begitu, pemerintah tak kunjung serius mengganti PLTU batu bara dengan sumber listrik yang lebih bersih. Penghentian operasi PLTU belum masuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Bahkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2025 tentang peta jalan transisi energi sektor kelistrikan hanya menyebutkan pensiun dini PLTU sebagai pilihan. Itu pun bergantung pada skema pendanaan internasional.
Silat lidah pemerintah ini menunjukkan pemerintah tak pernah serius lepas dari batu bara. Skema bisnis penyediaan setrum membuat negara tersandera pada pemakaian batu bara. Pembelian listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari pembangkit swasta mengacu pada Peraturan Menteri Energi Nomor 10 Tahun 2018.
Dalam peraturan itu disebutkan PLN wajib membeli listrik swasta sesuai dengan kontrak meski setrum berlebih akibat ekonomi lesu. Skema take or pay atau ambil atau bayar denda itu membuat PLN kelebihan listrik 41 gigawatt hingga 2030 dengan kerugian Rp 3 triliun untuk setiap kelebihan 1 gigawatt. Pembangkit swasta itu umumnya membuat listrik memakai batu bara karena harganya murah.
Maka, sepanjang bisnis toksik antara PLN dan pemilik pembangkit seperti itu, pemerintah tak akan mengurangi listrik batu bara. Skema take or pay itu dibuat awalnya untuk mendorong investasi listrik ketika Indonesia kekurangan pasokan setrum seusai krisis ekonomi 1998. Nilai investasi ekstraktif ini lebih menggiurkan pemerintah ketimbang kerugiannya.
Dalam RUPTL 2025-2034, Indonesia butuh Rp 2.967 triliun investasi kelistrikan, dengan 73 persen merupakan modal swasta. Dengan begitu, riset ilmiah tentang bahaya batu bara tak akan mengusik pemerintah beralih ke energi terbarukan. Energi baru dan terbarukan malah dianggap ancaman karena akan menambah pasokan listrik yang membuat volume setrum menjadi berlebih.
Walhasil, kita akan tersandera oleh batu bara. Pemerintah tak bisa ujug-ujug mematikan PLTU jika belum ada pasokan listrik lain. Simalakama ini mungkin belum akan selesai dalam satu generasi. Indonesia akan makin ditinggalkan karena negara lain sudah lebih dulu beralih ke energi bersih sebagai upaya global mencegah krisis iklim.
Source:
Other Article
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
Kontan
Published at
190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman
CNBC Indonesia
Published at
190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya
CNBC Indonesia
Published at