Tempo
Published at
May 26, 2025 at 12:00 AM
Risiko Proyek Gasifikasi Batu Bara Danantara
DUA pemimpin Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara, Rosan Perkasa Roeslani dan Dony Oskaria, masuk ke Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa siang, 20 Mei 2025. Sebelum mereka datang, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia lebih dulu tiba. Siang itu, mereka menghadiri rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto yang antara lain membahas proyek-proyek penghiliran.
Dalam rapat tersebut, Prabowo memerintahkan percepatan pelaksanaan beberapa proyek penghiliran. "Presiden merencanakan dari sekian proyek hilirisasi itu sudah harus ada yang di-groundbreaking untuk diimplementasikan," kata Bahlil ketika ditemui selepas rapat.
Bahlil, yang juga menjabat Ketua Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, mengatakan proyek yang dibicarakan dalam rapat tersebut antara lain pengolahan bijih nikel dan pengolahan batu bara menjadi dimetil eter.
Adapun Rosan menyatakan Danantara akan berinvestasi dalam proyek-proyek penghiliran. Rosan, yang juga menjabat Menteri Investasi, mengatakan sudah memiliki daftar rencana proyek penghiliran, tapi masih memerlukan pengkajian dari sisi finansial, hukum, administrasi, hingga teknologi. "Sudah ada yang hampir final," tuturnya.
Rencana percepatan penghiliran pernah dibahas dalam rapat yang dipimpin Prabowo pada 3 Maret 2025. Kala itu pemerintah menyepakati 21 proyek penghiliran tahap pertama dengan total investasi US$ 40 miliar atau sekitar Rp 650 triliun. Proyek-proyek ini mencakup pengolahan minyak dan gas serta komoditas pertambangan, juga penghiliran produk pertanian dan kelautan.
Pengembangan produksi DME atau gasifikasi batu bara sebagai produk pengganti elpiji masuk daftar proyek tersebut. Namun Bahlil kala itu mengatakan pemerintah akan menggunakan pendekatan berbeda, yakni tidak bergantung pada pemodal asing. "Uang dan capex (belanja modal) dari pemerintah dan swasta nasional, kemudian bahan bakunya, off taker (pembeli) pun dari kita."
GASIFIKASI batu bara menjadi dimetil eter atau DME bukan rencana baru. Situs web Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memuat rencana PT Pertamina (Persero) mengembangkan DME bersama PT Arrtu Mega Energie pada 2009. Saat itu pemerintah mewajibkan para pemegang izin usaha pertambangan melakukan penghiliran. Beberapa perusahaan mengolah barang tambang itu menjadi sejumlah produk, seperti briket dan semi-kokas. Tapi kelanjutan proyek pengolahan batu bara menjadi DME lama tak terdengar.
Rencana serupa muncul pada 2018. Ketika itu PT Bukit Asam Tbk atau PTBA meneken nota kesepahaman kerja sama penghiliran batu bara dengan Pertamina dan perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemical Inc. Nota kesepahaman tersebut dilanjutkan dengan pokok perjanjian pembentukan perusahaan patungan PTBA Penarap Riau yang disepakati pada 16 Januari 2019.
Pada November 2021, Air Products menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk menanamkan investasi di industri DME senilai US$ 15 miliar. Perusahaan itu juga meneken dokumen serupa dengan perusahaan swasta nasional untuk proyek yang sama.
Titik terang proyek gasifikasi batu bara muncul ketika Joko Widodo semasa menjabat presiden memulai pembangunan fasilitas pengolahan DME di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pada 24 Januari 2022. Saat itu Jokowi jengkel karena produksi DME tak kunjung berjalan. "Sudah enam tahun yang lalu saya perintahkan," katanya.
Proyek senilai US$ 15 miliar itu ditargetkan rampung dalam 36 bulan. Jika proyek berjalan mulus, PTBA akan mengolah 6 juta ton batu bara menjadi 1,4 juta ton DME per tahun. Pertamina akan membeli DME itu sehingga pemerintah dapat mengurangi belanja subsidi elpiji hingga Rp 7 triliun. Tapi lagi-lagi proyek ini macet.
Pada 2023, Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan Air Products mengundurkan diri tanpa menyebutkan alasannya. Perusahaan itu juga batal mengolah batu bara menjadi metanol bersama PT Kaltim Prima Coal di Bengalon, Kalimantan Timur.
Setelah ditinggalkan Air Products, PTBA mencari mitra baru. Sebuah dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan hingga Maret 2025 ada enam perusahaan asal Cina yang menjadi kandidat mitra. Salah satunya East China Engineering Science and Technology Co Ltd (ECEC).
Informasi tersebut kemudian muncul dalam rapat dengar pendapat PTBA dengan Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 5 Mei 2025. Dalam rapat komisi yang antara lain membidangi energi tersebut, Arsal Ismail mengatakan, "Sejauh ini baru ECEC yang menyatakan ketertarikan."
Kendati demikian, Arsal menambahkan, realisasi investasi proyek gasifikasi batu bara menghadapi tantangan. Kajian konsultan menyebutkan harga ideal DME berkisar US$ 911-987 per ton atau di atas harga patokan yang diusulkan Kementerian Energi pada 2021 yang sebesar US$ 617 per ton, belum termasuk subsidi.
PTBA juga menghitung nilai subsidi untuk DME sebesar US$ 710 per ton, di atas subsidi elpiji pada kesetaraan DME saat ini yang senilai US$ 474 per ton. Dengan demikian, PTBA melihat ada risiko kenaikan subsidi Rp 41 triliun per tahun. "Jadi, berdasarkan data dari konsultan, subsidinya malah bertambah jika harga DME US$ 900-an per ton," tutur Arsal.
Harga menjadi persoalan karena niat awal proyek ini adalah menghemat subsidi elpiji. Belum lagi secara teknis ada masalah dalam jalur distribusi dari pabrik di Muara Enim ke fasilitas Pertamina yang jaraknya sekitar 172 kilometer.
Masalah ini menjadi perhatian beberapa lembaga riset. Institute for Energy Economics and Financial Analysis pada 2020, misalnya, mengungkapkan bahwa proyek gasifikasi batu bara di Indonesia akan merugi US$ 377 juta dari biaya operasional dan biaya finansial. Kerugian itu jauh lebih besar ketimbang hasil penghematan elpiji US$ 19 juta. Saat kajian itu dirilis, harga elpiji senilai US$ 365 per ton, sementara biaya produksi DME diperkirakan US$ 470 per ton.
Toh, pemerintah tetap ingin mewujudkan proyek ini. Sekretaris Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Ahmad Erani Yustika mengatakan masih mengkaji teknologi, proses pengolahan, hingga lokasi kilang. "Ada opsi empat-enam lokasi," ucapnya. Lokasi tersebut berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan sebagai daerah penghasil batu bara. Kajian Satgas Percepatan Hilirisasi nantinya dilaporkan kepada pemerintah dan Danantara.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan adanya risiko jika Danantara tetap dipaksakan masuk ke proyek DME. Dia juga khawatir aset bank di bawah Danantara ikut terseret ke dalam proyek berisiko tinggi. Apalagi di antara aset bank tersebut terdapat dana publik. "Begitu Danantara dipaksa membiayai DME, persepsi deposan terhadap bank milik negara akan negatif, khawatir uang mereka jadi agunan Danantara."
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Published at
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Bloomberg Technoz
Published at
Ada Donald Trump di Balik Kenaikan Harga Batu Bara
Kontan
Published at