Bisnis Indonesia
Published at
December 29, 2025 at 12:00 AM
Restitusi PPN Batu Bara Bikin Boncos, Tembus Rp42,9 Triliun hingga November 2025
Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat pengembalian pembayaran atau restitusi pajak dari sektor batu bara menembus angka Rp42,9 triliun hingga November 2025.
Peningkatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) itu dipicu penetapan batu bara ke dalam kategori barang kena pajak (BKP) pasca pengesahan UU Cipta Kerja. Implementasi omnibus law yang disahkan 2020 itu mengubah aturan dalam UU PPN, di mana sebelumnya batu bara bukan merupakan BKP.
Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu mencatat bahwa restitusi PPN sektor batu bara sejak 2021 sampai 2025 terus meningkat. Pada 2021, restitusi PPN batu bara tercatat sebesar Rp5,7 triliun.
Kemudian, nilainya meningkat ke Rp11,3 triliun (2022), Rp20,2 triliun (2023) dan Rp25,2 triliun (2024).
"Sementara itu, hingga November 2025, nilai restitusi PPN sektor batu bara telah mencapai Rp42,9 triliun," terang Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rosmauli kepada Bisnis, Rabu (24/12/2025).
Untuk diketahui, batu bara resmi menjadi barang kena pajak (BKP) dengan implementasi omnibus law tersebut, sebagaimana tercantum dalam pasal 4A UU PPN setelah berlakunya UU Cipta Kerja.
Sebelumnya, secara umum ada empat barang tidak menjadi objek PPN yaitu: (1) barang tambang yang diambil dari sumbernya; (2) barang kebutuhan pokok; (3) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya; dan (4) uang, emas batangan dan surat berharga.
Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, batu bara dikeluarkan dari kategori barang tidak kena PPN. Dengan status BKP, maka wajib pajak atau pengusaha kena pajak (PHK) berhak untuk mengkreditkan pajak masukan yang terkait dengan eksportasi batu bara.
Untuk itu, mereka bisa memeroleh restitusi atau pengembalian pendahuluan yang kini mekanismenya telah dipercepat, jika status pajak masukannya lebih besar dari pajak pengeluaran (penjualan).
Namun karena tarif yang berlaku 0%, sedangkan PKP tetap membayar PPN selama produksi maupun proses eksportasi, maka otomatis akan terjadi lebih bayar karena pajak masukan lebih besar dibandingkan pajak keluaran.
Hal ini berarti pengusaha dan para taipan batu bara secara otomatis berhak untuk memeroleh restitusi atau pengembalian pendahuluan.
Bakal Dievaluasi
Saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (23/12/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengatakan bahwa restitusi merupakan hak dari wajib pajak (WP).
Namun, dia mengaku tidak menutup mata terhadap dampak UU Cipta Kerja terhadap penerimaan pajak dari batu bara. Hal itu menjadi alasan kementeriannya mengenakan bea keluar untuk batu bara mulai ekspor tahun depan.
Kemenkeu menargetkan bea keluar batu bara dalam satu tahun bisa menyumbang Rp25 triliun ke kas negara. Sementara itu, bea keluar emas yang juga bakal diterapkan tahun depan ditargetkan bisa menyumbang setoran Rp3 triliun.
"Kami melihat dalam beberapa tahun terakhir sejak Undang-Undang Cipta Kerja itu, ternyata konsekuensinya untuk sisi pajaknya menjadi cukup berat. Bahwa masih ada PPh betul, ada PBB, ada PPN betul, tetapi karena ada restitusinya itu membuat penerimaan pajaknya jadi relatif terbatas. Nah ini yang kami evaluasi kebijakannya," terang Febrio, dikutip Rabu (24/12/2025).
Secara umum sampai dengan November 2025, restitusi pajak tercatat sebesar Rp351 triliun. Hal ini kendati terdapat pertumbuhan positif sedikit pada penerimaan PPN dan PPnBM secara bruto.
Sampai dengan akhir November 2025, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.634,4 triliun atau 78,7% dari outlook laporan semester I/2025 yakni Rp2.067,9 triliun. Realisasi itu lebih rendah dari penerimaan bruto Rp1.985,4 triliun, sehingga tercatat selisih atau restitusinya mencapai Rp351 triliun.
Angka restitusi ini lebih tinggi dari penerimaan pajak sampai akhir Oktober 2025 yakni Rp340,5 triliun. Saat itu, penerimaan bruto tercatat Rp1.799,5 triliun dan neto sebesar Rp1.459 triliun.
Tingginya restitusi ini membuat penerimaan pajak neto, atau yang riil masuk ke kas negara menjadi lebih sedikit. Akhirnya, pertumbuhannya tercatat negatif seperti yang terjadi pada pajak penghasilan (PPh) badan serta pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM).
Misalnya, PPN dan PPnBM. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut secara bruto PPN dan PPnBM yang tumbuh positif. Kendati hanya tumbuh positif 0,1% (yoy) pada November 2025 menjadi Rp907,93 triliun, dia menilai hal tersebut mengindikasikan perbaikan kondisi ekonomi.
"PPN dan PPnBM adalah denyut nadi perekonomian karena pajak pertambahan nilai dibayarkan kalau ada transaksi. Kalau enggak ada transaksi tidak ada PPN-nya, jadi kalau PPN-nya sudah tumbuh positif berarti transaksi sudah tumbuh positif," terang Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025, Kamis (18/12/2025).
Source:
Other Article
Liputan 6
Published at
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Published at
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Published at