Bisnis Indonesia
Published at
November 7, 2025 at 12:00 AM
Rapor Kinerja TOBA, INDY dan ADRO setelah Tinggalkan Batu Bara, Bisnis Hijau Tumbuh?
Bisnis.com, JAKARTA — Upaya sejumlah emiten untuk mengurangi eksposur bisnis batu bara berlanjut. Hal ini tecermin dari berkurangnya kontribusi emas hitam dalam kinerja keuangan korporasi besar seperti PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO), PT Indika Energi Tbk. (INDY) dan PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) sampai pengujung September 2025.
Berdasarkan laporan keuangan per akhir kuartal III/2025 yang dihimpun Bisnis, ketiga emiten ini kompak membukukan penurunan pendapatan. Turunnya kinerja tak lepas dari tren harga jual rata-rata batu bara yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu, selain karena porsinya pada keseluruhan bisnis yang berkurang.
Makin lemahnya magnet tambang batu bara bagi emiten sejalan dengan janji Presiden Prabowo Subianto untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Setahun lalu dalam KTT G20 di Brasil, Prabowo berjanji akan memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam jangka 15 tahun, sekaligus mencapai target netral karbon pada 2060. Lantas bagaimana perkembangan kinerja emiten-emiten ini sepanjang periode sembilan bulan 2025?
PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO)
Emiten yang dahulu bernama PT Adaro Energy Indonesia Tbk. tersebut resmi mengalihkan fokus dari emas hitam dengan memisahkan atau spin-off lini bisnis batu bara termal ke PT Adaro Andalan Indonesia (AADI).
ADRO pun menyatakan tengah mengupayakan ekspansi strategis dan diversifikasi di segmen nonpertambangan batu bara. Hal ini bertujuan untuk menciptakan portofolio bisnis yang lebih seimbang dan mencapai target untuk menghasilkan sekitar 50% pendapatan dari nonbatu bara termal paling lambat pada 2030.
Buntut dari langkah ini adalah pendapatan dan laba bersih yang tergerus selama periode Januari–September 2025 dibandingkan dengan kurun yang sama tahun sebelumnya. ADRO tercatat membukukan laba bersih US$301,5 juta atau setara dengan Rp5,03 triliun (kurs Jisdor BI 30 September 2025 Rp16.692 per dolar AS) sampai akhir September 2025. Laba bersih ini mencerminkan koreksi sebesar 74,5% secara tahunan, dari US$1,18 miliar pada Januari–September 2024.
Dalam laporan keuangannya, manajemen ADRO menjelaskan bahwa penurunan laba bersih disebabkan oleh penjualan bisnis batu bara termal PT Adaro Andalan Indonesia Tbk. (AADI) melalui penawaran umum pemegang saham (PUPS).
ADRO masih mengkonsolidasikan laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lainnya dari AADI sampai akhir September tahun lalu. Dari sisi pendapatan, ADRO mengantongi pemasukan sebesar US$1,34 miliar sepanjang Januari–September 2025. Angka tersebut merefleksikan koreksi sebesar 12,97% secara tahunan dibandingkan dengan US$1,54 miliar yang diperoleh pada periode yang sama pada 2024. Pendapatan ini dikontribusi oleh penjualan hasil tambang domestik ke pihak ketiga sebesar US$223,4 juta, dan penjualan ekspor hasil tambang ke pihak ketiga senilai US$127,7 juta.
Berdasarkan segmennya, segmen pertambangan dan jasa pertambangan masih mendominasi sumber pemasukan ADRO, masing-masing dengan nilai US$672,03 juta dan US$742,53 juta.
Sementara itu, segmen lain-lain hanya berkontribusi sebesar US$33,72 juta, atau turun daripada Januari–September 2024 yang mencapai US$63,49 juta.
PT Indika Energi Tbk. (INDY)
Sebagaimana ADRO, Indika turut melaporkan penyusutan pundi-pundi pendapatan dan laba selama Januari–September 2025. INDY membukukan penurunan pendapatan hingga 19,1% year-on-year (YoY) dari sebelumnya US$1,78 miliar, menjadi US$1,44 miliar per September 2025. Sebagian besar pendapatan ini disumbang oleh Kideco, dengan nilai US$1,15 miliar.
Sementara itu, lini bisnis INDY lainnya yaitu Indika Resources mencetak pendapatan sebesar US$47,2 juta, Tripatra sebesar US$176,2 juta, Interport sebesar US$93,1 juta, dan pendapatan lain-lain sebesar US$59,5 juta. Adapun, turunnya pendapatan ini menurut manajemen INDY disebabkan terutama oleh penurunan kontribusi dari Kideco karena penurunan harga jual rata-rata dan dari Indika Resources karena penurunan volume perdagangan.
INDY menjelaskan untuk Kideco, dari sisi tujuan pasar, pada 9 bulan 2025 Kideco menjual 9,6 juta ton batu bara atau 43% dari total volume penjualan ke pasar domestik, dan 12,6 juta ton atau 57% ke pasar ekspor. Harga jual rata-rata (average selling price) batu bara turun 14,7% secara tahunan.
Sementara itu, manajemen INDY menjelaskan pendapatan Indika Resources jeblok 66,0% YoY menjadi US$47,2 juta pada 9 bulan 2025. Pendapatan dari perdagangan batu bara merosot dari US$138,9 juta dengan volume 2,7 juta ton pada 9 bulan 2024 menjadi US$28,7 juta dengan volume 500.000 ton pada 9 bulan 2025, disebabkan oleh melemahnya permintaan di pasar ekspor. Jika ditilik berdasarkan segmennya, bisnis sumber daya energi dan jasa energi masih menjadi kontributor pendapatan terbesar bagi INDY, masing-masing dengan nilai US$1,18 miliar dan US$165,48 juta.
Meski demikian, segmen bisnis hijau INDY tercatat tumbuh 5,99% YoY, dari US$38,03 juta pada Januari–September 2024 menjadi US$40,31 juta per September 2025. Belum lama ini, INDY melalui anak usahanya juga merampungkan akuisisi proyek sewa daya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang memasok ke PT PLN Indonesia Geothermal senilai Rp31 miliar.
Adi Pramono, Sekretaris Perusahaan INDY, menyampaikan transaksi itu dilakukan oleh anak usaha perseroan PT Indika Empat Mitra Surya (IEMS) sebagai pihak pembeli dan PT Tripatra Multi Energi (TIME) sebagai pihak penjual. Adapun, pembelian itu bernilai Rp31 miliar dengan IEMS dan TIME telah memenuhi syarat penyelesaian yang ditetapkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada 30 Oktober 2025.
PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA)
Bisnis pengelolaan sampah menjadi penopang kinerja PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) hingga pengujung kuartal III/2025, bahkan ketika perseroan membukukan kerugian. Segmen ini tercatat melesat di atas 1.000% dalam kurun Januari–September 2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Berdasarkan Laporan Keuangan periode Januari–September 2025, TOBA membukukan rugi bersih sebesar US$127,38 juta, berbalik dari laba bersih sebesar US$34,84 juta pada periode yang sama pada 2024.
Kinerja negatif bottom line ini merefleksikan performa total pendapatan TOBA yang sepanjang Januari–September 2025 susut 14,40% YoY dari US$336,65 juta menjadi US$288,17 juta. Namun, pendapatan TOBA dari segmen waste management atau pengelolaan limbah melejit 1.047%, dari US$9,75 juta per September 2024 menjadi US$111,92 juta pada akhir kuartal III/2025.
Kontribusi lini bisnis ini terhadap total pendapatan juga melesat dari hanya 2,89% menjadi 38,84%. Sebaliknya, pendapatan dari segmen penjualan batu bara per September 2025 susut 44,43% YoY dari US$271,04 juta menjadi US$150,62 juta.
Kontribusi segmen penjualan batu bara terhadap total pendapatan juga turun dari 80,51% pada akhir kuartal III/2024 menjadi 52,26% tahun ini. Data-data keuangan tersebut menjadi pertanda bahwa transisi emiten batu bara ini ke bisnis hijau berada di jalur yang tepat. Apalagi, perseroan menargetkan bisnis batu bara sepenuhnya ditinggalkan pada 2030, atau bisa lebih cepat dari itu.
"Jadi pure waste [pendapatan didominasi dari manajemen limbah], dalam dua tahun ke depan itu mulai sudah tidak ada elemen batu baranya," ujar SVP Corporate Finance and Investor Relations TOBA Mirza Rinaldy Hippy dalam paparan kinerja kuartal III/2025, di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Mirza menjelaskan inisiasi bisnis pengelolaan limbah TBS Energi telah dimulai sejak 2018 dan menunjukkan hasil kinerja yang nyata sejak perseroan melakukan ekspansi bisnis ke pasar Asia Tenggara pada 2023 dengan mengakuisisi Asia Medical Enviro Services (AMES), disusul CORA Environment pada 2025.
CORA Environment sebelumnya bernama SembWaste dan Sembcorp Environment, yang diakuisisi TOBA pada awal tahun ini. Sembcorp Environment Pte Ltd merupakan perusahaan regional Asia Tenggara berbasis di Singapura yang fokus pada bisnis ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah.
Untuk mempersiapkan CORA Environment menjadi salah satu motor bisnis utama pengganti batu bara, telah disiapkan investasi lebih dari 200 juta dolar Singapura (SGD) atau sekitar Rp2,56 triliun (kurs Rp12.821 per SGD) dalam lima tahun mendatang. Dana tersebut akan digunakan untuk memperkuat jaringan pengelolaan limbah, termasuk pembangunan infrastruktur daur ulang (recycling) yang ditargetkan rampung pada 2026.
Saat ini, CORA memiliki 700 karyawan dan 300 armada operasional, menjalankan layanan pengumpulan, daur ulang, insinerasi, serta pemulihan sumber daya berbasis digital untuk meningkatkan efisiensi dan kepatuhan lingkungan. "Saat ini, TBS sedang menjajaki peluang investasi dan akuisisi bisnis hijau di pasar regional, seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand," katanya.
Source:
Other Article
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
Kontan
Published at
190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman
CNBC Indonesia
Published at
190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya
CNBC Indonesia
Published at