KONTAN
Published at
December 29, 2025 at 12:00 AM
Prospek Batubara 2026 Menantang, Indonesia di Posisi Maju Kena Mundur Juga Kena
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri batubara Indonesia bersiap menghadapi "badai" lanjutan di tahun 2026. Di tengah tren global yang makin agresif beralih ke energi hijau, dua raksasa konsumen-Tiongkok dan India-terus menekan pedal gas energi terbarukan. Akibatnya, permintaan emas hitam dari pasar ekspor tradisional ini diproyeksi menyusut.
Merespons sinyal tersebut, Pemerintah Indonesia tak mau ambil risiko oversupply. Produksi batubara nasional tahun depan diproyeksikan bakal ditekan hingga di bawah level psikologis 700 juta ton.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno menegaskan, pemangkasan ini merupakan langkah strategis. Pemerintah kini memangkas masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari 3 tahun menjadi 1 tahun demi kontrol yang lebih ketat.
"Target produksi batubara nasional pada 2026 kemungkinan berada di bawah level 700 juta ton. Ini supaya pemerintah memiliki kendali lebih besar atas tingkat produksi dan mendukung harga komoditas," ujar Tri belum lama ini.
Sebagai perbandingan, International Energy Agency (IEA) memproyeksikan produksi batubara Indonesia di 2025 saja sudah turun
10% menjadi 755 juta ton. Jika di 2026 ditekan lagi ke bawah 700 juta ton, artinya kontraksi suplai akan makin dalam.
Harga Masih Tertekan
Laporan Commodity Market Outlook Bank Dunia (Oktober 2025) memberikan gambaran suram. Harga batubara Australia, yang menjadi acuan global, diproyeksikan lanjut melemah 7% pada 2026 setelah anjlok 21% di 2025. Pemulihan baru diprediksi terjadi pada 2027.
Pemicunya jelas: pertumbuhan ekonomi global yang lesu dan pasokan yang melimpah. Meski permintaan listrik di Tiongkok, India, dan AS meningkat karena ledakan pusat data (data center) dan kendaraan listrik (EV), hal ini diimbangi oleh lonjakan kapasitas pembangkit energi terbarukan.
Di sisi lain, perdagangan batubara internasional diperkirakan menurun seiring berkurangnya impor Asia. Ini menjadi lampu kuning bagi Indonesia dan Australia sebagai eksportir utama.
Namun, Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI-ICMA) masih melihat secercah harapan. Permintaan ekspor diproyeksikan tumbuh moderat 0,5% menjadi 1,069 miliar ton pada 2026, ditopang oleh pasar Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina.
Strategi Indonesia: Genjot DMO atau Diversifikasi?
Menghadapi tekanan ekspor, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melempar wacana untuk menaikkan kewajiban pasokan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) menjadi lebih dari 25%. Langkah ini diambil untuk menambal ketimpangan pasokan DMO yang selama ini lebih banyak dipikul oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Namun, kebijakan ini bak buah simalakama bagi emiten. Kenaikan porsi DMO berpotensi menggerus margin laba, mengingat harga jual DMO dipatok jauh lebih murah dibanding harga pasar ekspor.
Opsi lain adalah mengalihkan pasar ke ASEAN. Namun, laporan Energy Shift Institute (ESI) menilai strategi ini hanya solusi sementara (stop-gap measure). Pasar ASEAN dinilai terlalu kecil untuk menggantikan "lubang" yang ditinggalkan tiongkok
Data semester I-2025 menunjukkan, penurunan impor Tiongkok dari Indonesia sebesar 23 juta ton setara dengan 43% total ekspor Indonesia ke empat negara ASEAN (Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam).
"Skala konsumsi batu bara Tiongkok tidak tertandingi. Tanpa diversifikasi ekonomi yang lebih dalam, pendapatan dari penurunan ekspor ini berpotensi terus menyusut," peringat Hazel Ilango, Pemimpin Transisi Batu Bara ESI.
Tantangan Produksi
Di lapangan, produksi batubara Indonesia sepanjang 2025 sejatinya sudah terganggu cuaca ekstrem. Data Kementerian ESDM mencatat realisasi produksi Januari-Agustus 2025 menyusut 8% year on year (YoY) menjadi 509 juta ton.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Erindra Krisnawan mengaitkan hal ini dengan curah hujan di atas normal. Meski ada potensi perbaikan produksi di akhir 2025 seiring normalisasi cuaca, BRI Danareksa tetap mempertahankan rating netral untuk sektor batubara.
"Risiko penurunan harga masih condong ke sisi permintaan di tengah tingginya persediaan di Tiongkok. Meskipun demikian, masih ada potensi kenaikan harga jangka pendek dari pengisian kembali (restocking) musiman," jelas Erindra.
Bagi investor, tahun 2026 akan menjadi periode wait and see. Kuncinya ada pada disiplin suplai pemerintah dan seberapa cepat ekonomi China pulih untuk menyerap kelebihan stok global.
Source:
Other Article
Liputan 6
Published at
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Published at
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Published at