Bloomberg Technoz

Published at

December 11, 2025 at 12:00 AM

Pensiun Dini PLTU Stagnan, Dominasi Batu Bara di Asia Makin Kuat

Bloomberg, Prospek batu bara di Asia makin cerah, karena upaya kawasan dengan konsumsi terbesar itu untuk beralih ke energi bersih menghadapi serangkaian hambatan.

Indonesia telah membatalkan proyek unggulan yang selama ini menjadi contoh utama dalam rencana penghentian dini PLTU.

India sedang mempertimbangkan untuk memperluas armada pembangkit batu baranya hingga pertengahan abad, bukan hanya sampai 2035.

Sementara itu, China berada di jalur untuk mencatatkan rekor produksi tambang batu bara satu tahun lagi, didorong oleh permintaan dari sektor kimia, meskipun pembangunan energi terbarukan terus berkembang.

Benang merah dari semuanya adalah kekhawatiran soal keamanan pasokan energi dan biaya yang kembali mengalahkan agenda iklim di ekonomi Asia yang tumbuh pesat dan punya tingkat polusi tinggi.

Permintaan listrik melonjak untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pendingin ruangan hingga pusat data kecerdasan buatan (AI), dan pemerintah yang ingin menghindari pemadaman tampak lebih mudah memberikan persetujuan pembangunan PLTU baru.

“Pada akhirnya kembali ke isu keamanan pasokan dan biaya,” kata Jom Madan, analis utama di Wood Mackenzie Ltd.

“Meski pembangunan pembangkit angin dan surya mencatat rekor, tambahan kapasitas baru tetap tidak mampu mengejar lonjakan besar permintaan listrik akibat pertumbuhan penduduk, kenaikan pendapatan, dan kini dorongan dari kapasitas pusat data,” ujarnya.

Kekurangan itu diisi oleh bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas.

Dorongan Asia terhadap batu bara mencerminkan realitas global. Pada KTT Iklim COP30 di bawah naungan PBB pada November, hampir 200 negara menandatangani kesepakatan yang menghindari penyebutan secara eksplisit tentang transisi dari bahan bakar fosil, karena negara berkembang menekankan kebutuhan untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi dengan semua sumber energi.

China yang menambang dan membakar lebih dari separuh batu bara dunia telah mengukuhkan dukungannya terhadap komoditas yang disebut sebagai “batu pemberat” setelah serangkaian krisis listrik pada 2021 dan 2022. Sejak saat itu, produksi, impor, dan konsumsi batu baranya melonjak ke rekor tertinggi.

Negara itu diperkirakan akan menambah 80 gigawatt kapasitas batu bara baru pada 2025, tertinggi dalam satu dekade, dengan jumlah serupa akan beroperasi pada 2026 dan 2027, menurut Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA).

Perusahaan-perusahaan China juga menginvestasikan puluhan miliar dolar untuk membangun pabrik batu bara-ke-kimia untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan plastik.

Kapasitas PLTU India bisa naik 87% hingga mencapai 420 gigawatt pada 2047, menurut sumber yang mengetahui rencana tersebut — jauh melampaui proyeksi saat ini yang menargetkan puncak pembangunan pada 2035.

Di Indonesia, eksportir batu bara termal terbesar dunia, kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara lebih dari dua kali lipat selama satu dekade hingga 2024.

Pembangunan itu diperkirakan akan berlanjut di bawah Presiden Prabowo Subianto, meski ia menargetkan transisi penuh ke energi terbarukan pada 2035.

Secara bersama-sama, ketiga negara ini bertanggung jawab atas peningkatan terbesar emisi karbon dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sejak Perjanjian Paris 2015, menurut CREA. Tanpa ketiganya, emisi sektor energi global kemungkinan sudah mulai menurun sebelum 2020, kata lembaga riset tersebut.

Asia masih kesulitan melepaskan diri dari bahan bakar fosil yang tetap kompetitif dari sisi biaya sebagai sumber listrik stabil, berkat ketersediaannya yang melimpah serta kebutuhan memadukan energi terbarukan dengan baterai dan jaringan listrik yang kuat.

Armada PLTU di kawasan—sebanyak 2.000 unit—juga berusia jauh lebih muda dibandingkan Eropa dan AS, sehingga penghentian dini memerlukan dukungan finansial untuk mengakhiri perjanjian pembelian listrik.

“Tingkat pragmatisme dan realisme saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan, katakanlah, 10 tahun lalu,” ujar Leslie Maasdorp, CEO British International Investment Plc, lembaga pembiayaan pembangunan milik Inggris yang tidak berinvestasi di proyek bahan bakar fosil.

“Ini bukan perkara sederhana menutup batu bara dan membangun energi terbarukan,” katanya dalam sebuah pengarahan di Singapura pada Selasa, sembari menambahkan bahwa pemerintah kini menelaah detail teknis yang lebih rumit.

Negara-negara seperti Indonesia sebelumnya berharap inisiatif seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai $20 miliar dapat membantu mengurangi ketergantungan pada batu bara.

Namun, hingga kini kesepakatan yang didanai negara-negara G7 itu baru menghasilkan $3 miliar, dan usulan untuk menutup PLTU unggulan Cirebon-1 di Jawa Barat tujuh tahun lebih awal dibatalkan pekan lalu.

Pejabat mengatakan keputusan itu diambil karena usia operasional PLTU yang masih panjang, dan Indonesia akan mencari pembangkit lain untuk dipensiunkan lebih cepat.

Pembatalan itu juga terjadi setelah AS menarik diri dari program bantuan iklim di bawah Presiden Donald Trump yang kembali mengedepankan bahan bakar fosil.

Sementara itu, skema “kredit transisi” yang didukung Singapura belum berhasil menarik komitmen pemerintah atau perusahaan untuk membiayai penutupan dini PLTU di Filipina yang kemudian mereka gunakan untuk mengimbangi polusi mereka sendiri.

Kekhawatiran utamanya mencakup bukti pengurangan emisi yang nyata, kehilangan pekerjaan, dan kemampuan skema tersebut untuk diterapkan pada skala besar.

Meski begitu, “menutup transaksi percontohan batu bara-ke-bersih pertama pada 2026 tetap menjadi tujuan inti,” kata Joseph Curtin, wakil presiden transisi energi di The Rockefeller Foundation, salah satu pihak yang memimpin upaya tersebut.

Dominasi batu bara di sektor listrik Asia tidak dijamin berlangsung selamanya, terutama di tengah pemasangan energi terbarukan yang cepat dan biaya penyimpanan yang terus turun di Tiongkok dan India.

Walaupun China menambah PLTU baru, total pembangkitan listrik dari batu bara tahun ini justru turun. Jika India dan Indonesia menepati target energi terbarukan mereka, emisi sektor listrik di kedua negara itu dapat mencapai puncak pada akhir dekade ini, menurut CREA.

“Ketika biaya energi terbarukan dan penyimpanan mencapai rekor terendah, investasi di batu bara baru akan semakin sulit untuk dibenarkan,” kata Lauri Myllyvirta, salah satu pendiri CREA.

Untuk saat ini, Asia—rumah bagi beberapa populasi terbesar dan ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia—tetap enggan melepaskan batu bara karena khawatir kekurangan listrik yang dapat menghambat pembangunan dan menurunkan dukungan publik.

“Memensiunkan pembangkit lebih awal bukanlah sesuatu yang realistis” di pasar yang sensitif terhadap harga, kata Madan dari Wood Mackenzie.

Source:

Liputan 6

Published at

December 11, 2025 at 12:00 AM

12/11/25

1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam

Bisnis Indonesia

Published at

December 11, 2025 at 12:00 AM

12/11/25

10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi

IDX Channel.com

Published at

December 11, 2025 at 12:00 AM

12/11/25

10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?

METRO

Published at

December 11, 2025 at 12:00 AM

12/11/25

10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia

CNBC Indonesia

Published at

December 11, 2025 at 12:00 AM

12/11/25

10 Perusahaan Tambang RI Paling Tajir Melintir, Cuannya Gak Masuk Akal

Secretariat's Address.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Secretariat's Email.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Website created by

Secretariat's Address.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Secretariat's Email.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Website created by

Secretariat's Address.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Secretariat's Email.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Website created by