Kontan
Published at
May 27, 2025 at 12:00 AM
Pemerintah Tambah Kapasitas 69,5 GW di RUPTL 2025-2034, PLTU Batubara Jadi Sorotan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 69,5 gigawatt (GW) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Sebanyak 42,6 GW atau 61% dialokasikan untuk pembangkit EBT.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah mendorong energi terbarukan sebagai transisi energi.
"Kita membutuhkan 69,5 GW yang mulai dari tahun 2025 sampai dengan 2034," kata Bahlil dalam Konferensi Pers di Kantor Kementerian ESDM, Senin (26/5).
Berdasarkan pemaparannya, secara rinci dari total target penambahan kapasitas listrik sebanyak 69,5 GW, sebanyak 42,6 GW atau 61% dialokasikan untuk pembangkit EBT. Sementara itu, pembangkit berbasis fosil menyumbang 16,6 GW (24%) dan sistem penyimpanan energi (storage) sebesar 10,3 GW (15%).
Lebih detail, pemerintah menargetkan bauran kapasitas EBT yang signifikan, termasuk PLTS sebesar 17,1 GW, PLTA 11,7 GW, PLTB 7,2 GW, PLTP 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan pembangkit nuklir sebesar 0,5 GW. Dari sisi penyimpanan, akan dibangun pumped storage 4,3 GW dan baterai 6 GW.
Adapun, penambahan kapasitas pembangkit ini akan dilaksanakan dalam dua fase: 27,9 GW pada periode 2025–2029 dan 41,6 GW pada periode 2030–2034. Dalam lima tahun pertama, proporsi pembangkit EBT dan fosil hampir seimbang. Namun pada lima tahun kedua, dominasi EBT semakin kuat dengan porsi 73% dari total penambahan kapasitas.
"Jadi ini harus berkelanjutan, harus dua periode," jelas Bahlil.
Secara regional, penambahan pembangkit tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jawa-Madura-Bali menjadi wilayah dengan penambahan kapasitas terbesar, yakni 33,5 GW. Di susul Sumatera 15,1 GW, Sulawesi 10,4 GW, Kalimantan 5,8 GW, serta Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara sebesar 4,7 GW.
Pemerintah memperkirakan pelaksanaan RUPTL 2025–2034 akan membuka peluang investasi hingga Rp 2.967 triliun, dengan sekitar Rp 2.133 triliun di antaranya untuk sektor pembangkitan, di mana 73% ditujukan bagi partisipasi swasta atau independent power producer (IPP).
"Peluang investasi dari 2024-20234 sebesar Rp 2.967,4 triliun," kata Bahlil, Senin (26/5).
Adapun, investasi yang dialokasikan untuk IPP mencapai Rp 1.566,1 triliun. Perinciannya, investasi untuk pembangkit energi baru terbarukan (EBT) senilai Rp 1.341,8 triliun dan non-EBT Rp 224,3 triliun.
Sementara itu, investasi yang dialokasikan untuk PLN mencapai Rp 567,6 triliun. Perinciannya, investasi untuk pembangkit EBT sebesar Rp 340,6 triliun dan non-EBT Rp 227 triliun.
Selain itu, kata Bahlil, pelaksanaan RUPTL ini diperkirakan menyerap lebih dari 1,7 juta tenaga kerja dari sektor konstruksi, manufaktur, hingga operasi dan pemeliharaan pembangkit dan jaringan listrik.
Sementara itu, 881.132 tenaga kerja mencakup kebutuhan industri manufaktur, konstruksi, operasi dan pemeliharaan untuk transmisi, dan gardu induk serta distribusi.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyambut baik pengesahan RUPTL 2025-2034. Pasalnya, RUPTL tersebut sudah dinantikan oleh para pelaku usaha di sektor kelistrikan.
"Positif. Ini memang sudah ditunggu pelaku usaha," kata Arthur kepada Kontan, Senin (26/5).
Adapun, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Mada Ayu Habsari menyambut baik terutama rencana penambahan jaringan transmisi. Dengan adanya penambahan transmisi akan memudahkan PLTS untuk bisa menambah ukuran yang bisa masuk ke dalam jaringan.
"Dan memungkinkan untuk meletakan pembangkit di lahan-lahan yang idle dan di integrasikan kepada jaringan terdekat," ujarnya kepada Kontan, Senin (26/5).
Tuai protes
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, RUPTL masih mendorong pembangunan pembangkit batubara 6,3 GW dan gas 10,3 GW, setara 24% dari total tambahan kapasitas pembangkit.
"Investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi," kata Bhima kepada Kontan, Senin (26/5).
Bhima menjelaskan, jika investor mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi batubara dan teknologi yang mahal. Padahal, RUPTL merupakan dokumen resmi negara yang kerap jadi referensi investor dalam pengambilan keputusan investasi.
"Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal," jelas Bhima.
Bhima menambahkan, RUPTL baru ini justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan dalam beberapa tahun ke depan.
"Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil," tandasnya.
Senada, Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH menuturkan, penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik bukan merupakan langkah yang tepat.
"Jika PLTU terus ditambah, maka pemerintah daerah–terutama yang selama ini ekonominya bergantung pada batu bara–semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak," pungkasnya.
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Published at
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Bloomberg Technoz
Published at
Ada Donald Trump di Balik Kenaikan Harga Batu Bara
Kontan
Published at