Mongabay
Published at
October 2, 2025 at 12:00 AM
Pembekuan 190 Izin Tambang Sisakan Tanda Tanya
Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menghentikan sementara izin usaha pertambangan (IUP) 190 perusahaan tersebaru di 20 provinsi pada 18 September 2025. Mayoritas perusahaan batubara dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Peneliti Celios menilai, puluhan IUP nikel yang disanksi kemungkinan merupakan pemasok kunci bagi Proyek Strategis Nasional (PSN) hilirisasi. Pelanggaran RKAB yang meluas menciptakan kelebihan pasokan bijih nikel ilegal, yang mendorong anjloknya harga nikel global.
Salah satu organisasi lokal di Konawe Utara menemukan kejanggalan, karena beberapa IUP yang dihentikan adalah perusahaan yang sudah lama tidak beroperasi atau non-aktif. Sebaliknya, IUP yang masih aktif beroperasi dan diduga kuat melanggar aturan reklamasi di blok-blok krusial justru lolos dari sanksi.
Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jatam melihat pencabutan izin ini sebagai konsolidasi lahan oleh konglomerat besar, yang kemudian akan dialihkan ke korporasi yang lebih kuat secara politik atau modal. Dia menduga ada upaya untuk mengalihkan lahan-lahan tersebut kepada perusahaan-perusahaan lain
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) hentikan sementara izin usaha pertambangan (IUP) 190 perusahaan di 20 provinsi dengan komoditas utama batubara dan mineral. Keputusan itu setelah KESDM mengevaluasi perusahaan yang lakukan pelanggaran administratif maupun lingkungan.
Dari ratusan izin itu, 66% berada di lima provinsi, yakni, Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan izin batubara; Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan produk nikel, dan Bangka Belitung (Babel) dengan izin timah.
Sektor batubara menjadi perusahaan dengan jumlah paling banyak, mencapai 90 perusahaan. Sisanya dari mineral lain.
Melalui surat bernomor: T-1533/MB.07/DJB.T/2025 tertanggal 18 September, KESDM meminta perusahaan segera mengajukan permohonan penetapan dokumen rencana reklamasi.
Sanksi pemberhentian sementara akan dicabut setelah perusahaan mendapat surat penetapan dan menempatkan jaminan reklamasi sampai dengan tahun 2025. Selama sanksi berlaku, pemegang IUP tetap wajib melakukan pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, dan pemantauan pertambangan.

Dorong moratorium
Jaya Darmawan, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan, ekstraksi berlebih menjadikan industri pertambangan dan smelter nikel tak prospektif. Alih-alih, harga nikel di pasar global justru anjlok.
“Karena pasokan berlebihan akibat ekstraksi yang berlebih menyebabkan penurunan harga yang sangat drastis,” katanya.
Jaya mendata dari 190 perusahaan yang terkena sanksi, sebagian besar terindikasi sebagai pemasok kunci yang terafiliasi dengan proyek strategis nasional (PSN) terkait hilirisasi. Sebanyak 28 IUP nikel memiliki total luas konsesi 70.500 hektar lebih, meski belum ada data resmi mengenai jumlah total produksinya.
Menurut dia, ketidakpatuhan perusahaan pertambangan terhadap regulasi sejatinya jamak terjadi. Masalahnya, pemerintah acapkali tak pernah merespon atau mengawasi serius.
“Sudah terjadi berkali-kali…ini sudah cukup umum di situasi pencatatan RKAB pertambangan.”
Lemahnya pengawasan memperparah situasi ini. Jumlah pengawas, kata Jaya, tidak sebanding dengan jumlah tambang di Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Utara (Sulut), Sulteng, dan Maluku Utara (Malut).
Selain sanksi, pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan guna mereduksi berbagai pelanggaran sektor tambang. Terutama pada tambang-tambang yang tak berizin (ilegal). Langkah itu penting karena penambangan ilegal dapat menyebabkan kerusakan yang lebih masif karena tidak tercatat.
Jaya katakan, trend harga nikel dalam satu tahun terakhir menunjukkan penurunan cukup signifikan. Harga nikel saat ini sekitar US$15.000 per ton, dibandingkan awal 2024 yang sempat lebih US$18.000 per ton.
Dia pun mendorong pemerintah melakukan pembatasan atau setop sementara (moratorium) terhadap operasi produksi nikel. Terlebih, banyak masyarakat menderita terkena daya rusak antara lain karena krisis air akibat pencemaran, gangguan kesehatan, dan konflik sosial maupun agraria.
Parlin Hidayat, Ketua Pengurus Komisariat PT DSI Federasi Serikat Buruh NIKEUBA di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulteng, meminta, pemerintah tak gegabah dalam menertibkan IUP pertambangan. Poin paling penting, katanya, pemerintah melihat situasi dan kondisi pekerja di balik IUP-IUP itu.
Sementara Jefri, Ketua Persatuan Pemerhati Daerah Konawe Utara (P3D Konut), melihat ada kejanggalan dalam penghentian IUP perusahaan-perusahaan yang berada di Konut – kabupaten dengan jumlah IUP nikel terbanyak di Sultra.
Menurut dia, beberapa IUP yang KESDM hentikan itu memang tidak pernah beroperasi atau sudah lama berhenti beraktivitas. Dia pun merasa heran mengapa hentikan IUP yang sudah tidak aktif , sementara IUP aktif dan diduga melanggar aturan reklamasi tidak mendapatkan tindakan serupa.
Jefri contohkan, beberapa perusahaan seperti PT Cipta Jaya Selaras Mining (CDS), PT Rizki Biokas Pratama, dan PT Putra Kendari Sejahtera (PKS) belum beroperasi sama sekali.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa tidak ada surat pemberhentian keluar kepada IUP-IUP lain yang masih aktif beroperasi di wilayah Blok Mandiodo, Langgikima, Morombo, dan Wiwirano. Padahal, masyarakat di wilayah tambang tersebut paling merasakan dampaknya.
Dia menyerukan agar kegiatan penertiban lebih menyasar IUP aktif yang melanggar aturan, bukan IUP yang sudah berhenti beraktivitas. Terlebih, tidak ada upaya pemulihan yang menjadi tindakan lanjutan dari penertiban ini.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menganggap penghentian sementara izin pertambangan 190 perusahaan sebagai “gimik” karena tindakan ini tidak secara otomatis menghentikan kerusakan lingkungan atau menyelesaikan konflik yang telah ditinggalkan. Banyak bekas tambang masih menyisakan lubang menganga di desa-desa yang hancur, dan janji reklamasi sampai saat ini tidak ditepati.
Jatam mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap pemulihan ekologis ini? Diduga kuat ada motif politik dan ekonomi di balik keputusan pemerintah ini.
Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jatam melihat pencabutan izin ini sebagai konsolidasi lahan oleh konglomerat besar, yang kemudian akan dialihkan ke korporasi lebih kuat secara politik atau modal.
“Ini bukan tentang menghentikan perusahaan, melainkan tentang siapa yang berkuasa atas sumber daya mineral itu sendiri,” kata Kasman.
Dia menduga ada upaya mengalihkan lahan-lahan itu kepada perusahaan-perusahaan lain. “Kemungkinan besar adalah mereka-mereka yang hari ini bersembunyi di belakang kekuasaan.”
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
2 Kabar Baik Hari ini: Harga Batu bara Naik, China Balik ke RI Lagi
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Bloomberg Technoz
Published at
5 Proyek Hilirisasi Bukit Asam (PTBA), Tak Cuma DME Batu Bara
Detik Kalimantan
Published at