The Conversation
Published at
August 18, 2025 at 12:00 AM
Paradoks ekspor biomassa: Hutan hilang, batu bara bertahan, karbon tak berkurang
Implementasi co-firing biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, yang digadang-gadang sebagai solusi pengurangan karbon di sektor listrik dalam negeri, menuai pertanyaan.
“Mengoplos” batu bara dengan biomassa seperti pelet kayu tidak cukup signifikan mengurangi emisi karbon. Sebab, PLTU masih bergantung pada pembakaran batu bara. Selain itu, proses produksi biomassa justru memicu deforestasi masif dan kerusakan lingkungan.
Apalagi, dalam praktiknya, temuan CELIOS menemukan pasokan biomassa justru lebih banyak diekspor, terutama ke negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka berani membayar dengan harga yang tinggi.
Pada akhirnya, biomassa menjadi komoditas ekspor yang mengorbankan hutan.
Biomassa butuh lahan luas
Tantangan utama teknologi co-firing adalah ketersediaan bahan baku biomassa. Kebutuhannya sangat besar hingga mencapai 10,1 juta ton pada 2030 dan rata-rata 10,7 juta ton pada tahun selanjutnya.
Sementara itu, suplai biomassa dari limbah pertanian, perkebunan, industri, dan rumah tangga saat ini hanya sekitar 17,44% dari total kebutuhan.
Dalam rangka menutup kekurangan itu, pemerintah membuat kebijakan yang mendukung tersedianya pasokan berbasis hutan. Untuk itu diperlukan pembukaan lahan baru untuk kebun energi—lahan yang ditanami pohon cepat tumbuh dan diolah menjadi wood chips (kayu giling) atau wood pellet (pelet kayu).
Hal ini menciptakan tekanan baru pada lahan dan hutan Indonesia. Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa pembangunan kebun energi sejauh ini sudah mengakibatkan hilangnya hutan alam seluas 55 ribu hektar.
Menurut data yang sama, sebanyak 31 izin lahan yang sudah dialokasikan pemerintah untuk pembangunan kebun energi berpotensi mengancam 420 ribu hektare hutan alam—nyaris seluas Pulau Bali.
Tak hanya berhenti di situ. Peralihan lahan pertanian warga menjadi kebun energi juga mengancam kelangsungan pangan masyarakat dan memicu potensi konflik lahan, terutama dengan masyarakat adat.
Apalagi, kebun yang dinamai pemerintah sebagai hutan tanaman energi (HTE) ini masuk kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).
PSN memungkinkan pengecualian sejumlah ketentuan dalam beragam tahapan, proses, dan kriteria umum seperti penataan batas kawasan hutan. Artinya, pelepasan kawasan hutan bisa berjalan mudah dan mulus atas nama “kepentingan nasional.”
Lagi-lagi sentralisasi kebijakan terjadi. Sebab, terdapat klausul yang menetapkan bahwa perubahan fungsi kawasan hutan sepenuhnya ditetapkan pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah atau warga sekitar.
Di lain pihak, rancangan undang-undang masyarakat adat yang tak kunjung disahkan membuat posisi kelompok adat semakin rentan karena tidak ada legalitas hukum yang melindungi dan mengakui posisi mereka.
Co-firing dan mitos pengurangan batu bara
Co-firing digadang-gadang bakal mengurangi ketergantungan pada batu bara. Namun riset CELIOS, menunjukkan hal sebaliknya.
Sejak co-firing berjalan pada 2019, produksi batu bara di Indonesia tetap naik—dari 1,9 juta MBOE (Million Barrels of Oil Equivalent) atau setara dengan energi yang dihasilkan dari jutaan barel minyak mentah pada 2020 menjadi 2,4 juta MBOE pada 2022, atau meningkat sekitar 21%.
Dalam catatan CELIOS, biomassa pun lebih banyak diarahkan untuk memenuhi permintaan ekspor. Dalam rentang 2013-2023, ekspor pelet kayu dari Indonesia ke Jepang melonjak hingga 254,275%. Sementara kayu giling naik lebih dari 4 ribu kali lipat, tepatnya 4.377,5%.
Fakta ini mematahkan klaim bahwa co-firing akan mengurangi ketergantungan pada batu bara. Kenyataannya, pencampuran biomassa dalam boiler di PLTU hanya memperpanjang usia industri batu bara, yang menyumbang 50,6% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.
Mematahkan klaim netral karbon
Dalam rencana kelistrikan 2025–2034, PLN menargetkan pengurangan emisi 151 juta ton pada 2030 melalui skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED). Co-firing masuk dalam rencana ini, dengan target pencampuran 10% biomassa.
Akan tetapi, studi Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan dengan target skenario pencampuran 10% biomassa saat ini, pengurangan emisi yang bisa dicapai tidak lebih dari 9% partikel halus (PM) dan pengurangan tingkat gas-gas berbahaya juga sedikit, hanya sekitar 7% (nitrogen dioksida) dan 10% SO₂ (sulfur dioksida)
Secara total, skema co-firing hanya akan mengurangi sekitar 1,5-2,4% saja dari total emisi PLTU batu bara.
Namun, itu belum termasuk hitungan emisi yang dikeluarkan dari rantai pasok; mulai dari pembukaan lahan, proses penanaman dan pemeliharaan, panen, pengolahan, hingga transportasi.
Kalkulasi tersebut mematahkan klaim netral karbon—bahwa pohon yang ditebang selama proses tumbuhnya sudah menyerap CO₂. Klaim tersebut selama ini selalu disematkan dalam program co-firing.
Lebih problematis lagi, emisi pembakaran biomassa tidak dimasukkan ke sektor pembangkitan listrik, melainkan ke sektor kehutanan. Perpindahan catatan ini seperti “akrobat statistik” yang mengaburkan peran nyata sektor listrik sebagai penyumbang emisi terbesar di Indonesia, sekaligus mengurangi tekanan bagi PLN dan operator PLTU untuk beralih ke energi bersih.
Krisis iklim adalah persoalan lintas sektor. Menyiasatinya dengan memindahkan beban emisi antarpos hanya kabur dari tanggung jawab.
Kebijakan pengurangan emisi tidak bisa dijalankan dalam logika parsial seperti itu. Co-firing yang dijalankan tanpa perhitungan menyeluruh berisiko menjadi sekadar kemasan hijau (greenwashing) yang menjauhkan Indonesia dari cita-cita dekarbonisasi yang sesungguhnya.
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Bloomberg Technoz
Published at
5 Proyek Hilirisasi Bukit Asam (PTBA), Tak Cuma DME Batu Bara
Detik Kalimantan
Published at
7 Provinsi Penghasil Batu Bara Indonesia, Terbesar di Kalimantan
Tribun Kaltim
Published at