Katadata
Published at
November 5, 2025 at 12:00 AM
Membuka Keran Baru Pendanaan Transisi Energi dari Timur Tengah
Salah satu isu yang menjadi fokus utama di Tanah Air adalah mengenai lanskap transisi energi Indonesia yang diperkirakan akan terus dikembangkan hingga beberapa dekade ke depan. Presiden Prabowo Subianto berkeyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai target net-zero pada 2060 atau lebih cepat di 2050.
Tentu, selain komitmen, dibutuhkan realisasi transisi energi untuk mendukung komitmen iklim. Saat ini realisasi bauran energi terbarukan baru kisaran 15% jauh di bawah target 23% pada 2025. Salah satu tantangan terletak pada sisi pendanaan. Tidak hanya perencanaan yang panjang dan matang, Indonesia memerlukan juga pendanaan yang stabil dan berkelanjutan.
Upaya yang mampu dilakukan oleh pemerintah agar target NDC dapat terwujud sesuai dengan garis waktu yang telah ditentukan adalah dengan mendorong terwujudnya pensiun dini PLTU batu bara atau coal retirement plan. Hal ini sebab pembangkit listrik batubara menjadi penghasil emisi karbon dioksida (CO2) terbesar.
Meski sudah dibahas sejak pemerintahan Joko Widodo, tetapi nyatanya masih ada alibi yang menjadi faktor penghambat terwujudnya rencana pensiun dini PLTU batu bara. Alasan terbesar penundaan pemensiunan dini tersebut adalah tidak cukupnya pendanaan untuk proyek tersebut.
Tidak hanya itu, apabila menilik Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025-2034, maka akan ada penambahan kapasitas PLTU batubara sebesar 6,3 GW. Artinya, pengoperasian PLTU batubara di Indonesia akan terus dilanggengkan, alih-alih disuntik mati. Beberapa PLTU bahkan mencoba eksperimen mencampur dengan biomassa, yang sebenarnya lebih mahal ketimbang melakukan pemensiunan.
Selain itu, CELIOS menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2021-2025, lima bank dalam negeri, yaitu Mandiri, BRI, BNI, BCA, dan Permata telah menyuntikkan dana pinjaman dengan nilai total US$5.6 miliar pada berbagai perusahaan batu bara di Indonesia.
Ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengupayakan tercapainya target net zero 2060 dan masih mementingkan keberlanjutan PLTU batu bara di dalam negeri. Padahal biaya kesehatan yang muncul secara ekonomi cukup besar. Makin tua PLTU beroperasi, emisi makin besar sekaligus polutan pencemarnya juga tinggi.
Studi dari CREA menemukan bahwa suntik mati PLTU batu bara Cirebon-1 mampu menghapus kerugian kesehatan akibat polusi udara yang dialami oleh masyarakat yang hidup di sekitar site dengan beban ekonomi mencapai US$4,4 miliar yang mampu dimitigasi dalam jangka waktu 2036-2042. Perlu diingat bahwa angka ini hanya berasal dari satu site, belum mencakup PLTU batubara yang tersebar di seluruh Indonesia.
Posisi MENA sebagai Mitra Baru Indonesia
Di sinilah kehadiran negara-negara MENA (Middle East and North Africa) bisa menjadi angin segar bagi perkembangan transisi energi di Indonesia, terutama pada pemensiunan dini PLTU batubara.
Meski dikenal bertumpu pada penghasilan minyak bumi, namun kini negara-negara MENA, terutama GCC (Gulf Cooperation Council) mulai melakukan transisi energi ke arah yang lebih bersih dan terbarukan. Tak hanya itu, negara di region MENA juga dikenal dengan entitas sovereign wealth fund (SWF) yang tak main-main, dengan porsi nilai aset sebesar 40% dari total SWF global.
Misalnya saja, SWF asal Uni Emirat Arab, Abu Dhabi International Authority (ADIA)—entitas sovereign wealth fund yang tercatat menjajaki posisi ke-8 sebagai SWF terbesar di dunia dengan AUM (asset under management) sebesar US$1.110 miliar.
Ada pula SWF asal Arab Saudi, Public Investment Fund (PIF), yang memiliki AUM sebesar US$930 miliar yang menjadi pemeran utama untuk tercapainya Saudi’s Vision 2030 yang salah satu pilarnya adalah percepatan transisi energi.
Atau yang kini sedang banyak menjadi perbincangan di ranah domestik, Qatar Investment Authority (QIA), yang dikabarkan akan melakukan investasi bersama atau joint investment dengan SWF Indonesia, Daya Anagata Nusantara (Danantara). Dicatatkan memiliki AUM sebesar US$524 miliar atau setara dengan Rp8.683 triliun, QIA akan membentuk joint investment dengan Danantara dengan nilai investasi mencapai US$4 miliar atau setara dengan Rp 66 triliun.
Kabar baiknya, negara-negara MENA ketimbang membangun PLTU, lebih banyak melakukan proyek bersama pada energi terbarukan di Indonesia.
Kesempatan Emas Indonesia
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh International Energy Agency (IEA), beberapa negara di region MENA telah memiliki target net zero emission. Uni Emirat Arab dan Oman menetapkan target net zero emission di 2050 kelak. Sementara itu, Arab Saudi, Kuwait, serta Bahrain menetapkan taget mereka pada 2060.
Komitmen negara-negara MENA terhadap transisi energi juga tercermin dari total investasi sebesar US$175 miliar di sektor energi, dengan sekitar 15% dialokasikan untuk pengembangan fasilitas energi terbarukan.
Dengan hadirnya entitas-entitas SWF raksasa asal MENA, diharapkan mampu mengusut permasalahan pendanaan yang selama ini menjadi momok besar bagi peta jalan transisi energi di Indonesia.
Berbagai alat pendanaan bisa dioptimalkan untuk menarik negara-negara MENA, terutama yang berbasis hukum syariah, seperti melalui penerbitan sukuk hijau.
Selain bentuk pendanaan langsung yang bisa diberikan oleh negara-negara MENA, skema pendanaan menggunakan debt swap atau pertukaran utang juga bisa menjadi solusi untuk memensiunkan PLTU batu bara di Indonesia. CELIOS menjelaskan bahwa debt swap akan mampu merealisasikan pensiun dini PLTU batubara tanpa banyak mengganggu APBN, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pemerintah selama ini. Dalam skema ini, pihak kreditur, dalam hal ini negara MENA, membatalkan utang negara debitur, yaitu Indonesia, dan dana tersebut kemudian digunakan untuk memensiunkan PLTU batu bara.
Dengan mendorong skema pendanaan ini, maka tidak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk menunda pensiun dini PLTU batubara.
Kerangka yang Dibutuhkan
Untuk menjaring pendanaan yang dibutuhkan bagi pemensiunan dini PLTU batu bara Indonesia dari negara-negara MENA, maka perlu ekosistem investasi yang menguntungkan tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga investor asing. Tapi lebih dari itu, Indonesia perlu mulai menyelesaikan berbagai bottleneck yang menghambat terciptanya ekosistem investasi yang baik tersebut.
Pertama, diperlukan kepastian hukum dan regulasi domestik. Investor membutuhkan adanya kejelasan regulasi yang berlaku di negara tujuan, seperti tarif dan pajak, serta sistem izin usaha. Ketidakjelasan payung hukum akan membuat investor merasa ragu untuk menjalankan pemensiunan dini.
Kedua, model kerja sama harus memiliki sistem birokrasi yang terstruktur dan tidak rumit. Sistem yang tumpang tindih, bertele-tele, dan berantakan akan merugikan tidak hanya investor asing, tetapi juga domestik yang akan berpotensi semakin mengulur waktu realisasi pemensiunan PLTU batubara.
Terakhir, Indonesia harus memaksimalkan hubungan diplomatik dalam mengatur strategi pendanaan. Investasi yang dilakukan dalam mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara harus dipastikan berada di atas kerangka government-to-government dengan pengawasan yang ketat dari kedua belah pihak dan minim akan kepentingan politik.
Kehadiran pemerintah dalam memastikan terlaksananya pensiun dini PLTU batu bara menjadi signifikan bagi keberlangsungan target NDC. Semakin cepat suntik mati PLTU batubara dilakukan, artinya semakin cepat pula Indonesia melakukan transisi energi yang lebih bersih dan berkeadilan.
Source:
Other Article
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
Kontan
Published at
190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman
CNBC Indonesia
Published at
190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya
CNBC Indonesia
Published at