KONTAN
Published at
November 20, 2025 at 12:00 AM
Korea Selatan Putuskan Gabung PPCA, Bagaimana Nasib Pasar Batubara Indonesia?
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Korea Selatan menyatakan resmi bergabung dengan Powering Past Coal Alliance (PPCA) -sebuah aliansi global yang berupaya memajukan transisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menuju energi bersih- yang dideklarasikan pada KTT Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brazil.
Komitmen Korea Selatan dalam aksi iklim ini akan menempatkan negara tersebut pada jalur untuk menghentikan operasional 41,2 gigawatt (GW) kapasitas PLTU batu bara, yang selama ini menyumbang sekitar 60% emisi sektor ketenagalistrikannya atau setara dengan 156 MtCO2e.
Negara tersebut menargetkan kenaikan porsi energi surya dan angin sebesar 21,6% pada tahun 2030. Korea Selatan menjanjikan untuk menghentikan operasional 40 dari 62 unit PLTU paling lambat pada 2040.
Sementara 22 unit sisanya ditentukan ekonomi dan diskusi publik, dengan rencana yang baru akan dijadwalkan tahun 2026.
“Sebagai kekuatan industri utama di Asia, meningkatnya komitmen Korea Selatan memberikan sinyal yang jelas bagi kawasan ini. Dengan peningkatan pembangkitan energi bersih sebesar 8% dan penurunan output listrik batu bara, pemasok batu bara seperti Indonesia dan Australia -yang sudah menghadapi impor batu bara China yang menurun- harus mempertimbangkan dengan matang ketergantungan mereka pada komoditas tersebut seiring dengan percepatan transisi energi,” kata Putra Adhiguna, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute (ESI) dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (19/11/2025).
Korea Selatan tercatat sebagai negara dengan kapasitas PLTU batu bara terbesar ke-7 di dunia. Sebagian besar kebutuhan batu bara untuk pembangkit Korea Selatan dipenuhi dari impor.
Bagi Indonesia, Korea Selatan masuk dalam lima besar negara tujuan ekspor batu bara. Bahkan Indonesia menjadi pemasok utama batu bara thermal ke Negeri Gingseng itu.
Keanggotaan Korea Selatan di PPCA diproyeksi akan menurunkan permintaan terhadap batu bara thermal sebesar 25 juta ton. Mengutip data Kpler, Korea Selatan diperkirakan akan mengimpor batu bara mencapai lebih dari 22 juta ton dan nilai sebesar USD 1,7 miliar per tahun.
Penurunan permintaan batu bara dari Korea Selatan tidak hanya menggerus pendapatan eksportir, namun juga menekan daerah-daerah penghasil batu bara yang selama ini menjadikan komoditas tersebut sebagai sumber pendapatan utama.
Selain itu, keputusan Korea Selatan juga akan menciptakan tekanan tambahan bagi industri batu bara di tanah air yang selama ini bergantung pada pasar ekspor. Penurunan permintaan jangka panjang dari negara maju -termasuk Korea Selatan- mengubah peta risiko bisnis perusahaan batu bara domestik.
Disisi lain, menurut Dwi Wulan Ramadani, Policy Strategist Coordinator CERAH, bergabungnya Korea Selatan dengan PPCA menjadi sinyal kuat bahwa era batu bara global mulai memasuki fase akhir, hal ini akan menjadi titik balik bagi arah bisnis batu bara Indonesia.
Asal tahu saja, Korea merupakan konsumen batu bara terbesar ke-7 dunia sekaligus pasar ekspor utama Indonesia selain China dan India.
"Ketika negara seperti Korea Selatan mulai menargetkan penghentian PLTU batu bara, perusahaan batu bara nasional harus bersiap menghadapi penurunan permintaan struktural dari pasar internasional,” ujar Dwi Wulan.
Tidak hanya Indonesia, langkah Korea Selatan juga berpotensi mengancam tatanan regional di negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Filipina. Negara-negara ini masih bergantung kepada batu bara serta impor teknologi, peralatan, dan pembiayaan dari Korea Selatan untuk PLTU.
Tekanan finansial dan diplomatik akan terjadi, investor Korea diperkirakan akan menarik diri dari proyek-proyek batu bara baru dan mengalihkan investasinya ke energi terbarukan.
Namun Ben McCarron, Pendiri & Direktur Pelaksana, Asia Research & Engagement (ARE) beranggapan, keputusan Korea Selatan menjadi momentum penting dalam menentukan masa depan energi Asia.
Korea Selatan merupakan negara dengan ekonomi besar kedua di Asia yang bergabung, setelah Singapura. Sehingga langkah ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang kapan batu bara akan berakhir di kawasan ini.
“Hal ini juga menunjukkan kekuatan koalisi karena delapan yurisdiksi sub-nasional di Korea Selatan telah menjadi bagian dari Aliansi. Ini bukan sekadar janji iklim, ini adalah sinyal ekonomi. Korea Selatan menunjukkan bahwa penghentian penggunaan batu bara secara bertahap merupakan bagian dari upaya untuk tetap kompetitif, dan hal ini meningkatkan standar bagi pemerintah Asia lainnya untuk mengikutinya,” kata McCarron.
Untuk Indonesia, penurunan konsumsi batu bara negara maju bisa menjadi peluang untuk mengakselerasi transisi energi dan pensiun dini PLTU batu bara, melalui mekanisme pembiayaan transisi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Sekaligus menarik investasi energi bersih seperti PLTS skala besar dan infrastruktur transmisi hijau. Tekanan pasar dari negara mitra dagang juga memperkuat urgensi diversifikasi ekonomi daerah tambang dan penguatan kebijakan energi bersih.” Dwi menambahkan.
Source:
Other Article
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
Kontan
Published at
190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman
CNBC Indonesia
Published at
190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya
CNBC Indonesia
Published at