KOMPAS
Published at
December 30, 2025 at 12:00 AM
Industri Batubara Diprediksi Masih Tertekan hingga 2026
JAKARTA, KOMPAS.com – Industri pertambangan batu bara nasional diperkirakan masih menghadapi tantangan besar pada 2026. Tekanan datang dari dinamika ekonomi global, arah kebijakan energi, serta meningkatnya beban biaya operasional.
Meski demikian, permintaan batu bara Indonesia dinilai masih bertahan, terutama dari negara-negara Asia yang mengandalkan batubara untuk menjaga ketahanan energi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengatakan, prospek industri batu bara pada 2026 sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global dan kebijakan energi negara konsumen.
Dari sisi permintaan, batu bara Indonesia masih dibutuhkan meskipun pertumbuhannya terbatas.
“Berdasarkan data yang kami miliki, permintaan impor batu bara global saat ini cenderung stagnan dan hanya mengalami peningkatan terbatas di kisaran 0,5 persen,” ujar Gita, dikutip dari Kontan.co.id, Senin (29/12/2025).
Dari sisi harga, pergerakan harga batu bara dinilai masih sulit diprediksi karena volatilitas yang tinggi dan pengaruh berbagai faktor eksternal.
Dengan kondisi tersebut, tren harga batu bara pada 2026 diperkirakan tidak jauh berbeda dengan 2025, meskipun pelaku usaha berharap perbaikan harga agar memberi ruang yang lebih positif bagi industri.
Tekanan juga datang dari transisi energi global. Namun, dalam jangka menengah, batu bara masih menjadi sumber energi penting bagi banyak negara berkembang karena keandalan pasokan dan keterjangkauan harga.
Pasar utama ekspor batu bara Indonesia hingga kini masih berasal dari kawasan Asia, seperti China, India, Korea Selatan, serta negara-negara Asia Tenggara. Namun, pola permintaan dari negara-negara tersebut kian selektif.
Dari sisi kebijakan domestik, Gita menyebut kebijakan domestic market obligation (DMO), royalti, dan perizinan merupakan bagian dari upaya pemerintah menjaga ketahanan energi nasional dan penerimaan negara.
“Kewajiban tersebut pada prinsipnya telah menjadi komitmen pelaku usaha dan dari tren yang ada, realisasi DMO batu bara selama ini dapat dipenuhi dengan baik,” ujarnya.
Namun, tantangan utama industri terletak pada kebijakan harga jual batu bara untuk kelistrikan sebesar 70 dollar AS per ton yang berlaku sejak 2018, sementara tekanan biaya produksi terus meningkat.
Selain itu, pelaku usaha juga mencermati adanya selisih antara harga batu bara acuan (HBA) yang digunakan sebagai dasar perhitungan kewajiban dengan harga jual aktual, yang dinilai memengaruhi kinerja keuangan perusahaan.
Tantangan industri kian kompleks pada 2025 dan diperkirakan berlanjut ke 2026. Dari sisi teknis, penerapan kebijakan biodiesel B40 meningkatkan biaya produksi secara signifikan serta berdampak pada operasional alat berat dan biaya pemeliharaan.
Dari sisi nonteknis, muncul berbagai wacana kebijakan, seperti target penurunan produksi, penerapan bea keluar batu bara, perubahan kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) menjadi 50 persen, hingga larangan penggunaan jalan umum di Sumatera Selatan per 1 Januari 2026.
Kebijakan tersebut berpotensi menghambat operasional sejumlah pemegang izin usaha pertambangan (IUP).
“Berbagai wacana kebijakan tersebut tentu memengaruhi kepastian berusaha, terutama di tengah kondisi margin keuntungan perusahaan yang hingga kuartal III tahun ini rata-rata hanya berada di kisaran 12 persen,” kata Gita.
Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia. Ia menilai pasar batu bara global masih berada dalam kondisi kelebihan pasokan sehingga harga komoditas tertekan.
“Kondisi pasar masih oversupply sehingga harga komoditas tertekan. Margin perusahaan tergerus dengan semakin naiknya beban biaya operasional terutama dari penerapan bea keluar di 2026,” ujar Hendra.
Selain bea keluar, Hendra menyebut aturan baru DHE turut menambah beban biaya bunga. Rencana penerapan biodiesel B50 pada 2026 juga diperkirakan akan menambah tekanan biaya.
Transisi energi global turut berdampak pada pelemahan permintaan impor. Meski begitu, pasar utama ekspor batu bara Indonesia masih bertumpu pada Tiongkok, India, serta negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara.
Dari sisi regulasi, Hendra menyoroti semakin banyak perubahan aturan yang berpotensi membebani pelaku usaha. Ia juga menyinggung rendahnya serapan DMO serta harga jual batubara ke sektor kelistrikan yang masih bertahan di level 70 dollar AS per ton.
“Sementara itu, hilirisasi masih terkendala faktor keekonomian dan juga pembiayaan,” imbuhnya.
Ke depan, pelaku usaha batubara diperkirakan lebih fokus pada efisiensi dan menjaga keberlangsungan usaha dibandingkan melakukan ekspansi agresif.
Source:
Other Article
Liputan 6
Published at
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Published at
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Published at