KOMPAS
Published at
November 27, 2025 at 12:00 AM
Gita Mahyarani APBI: Konsistensi Regulasi, Kunci Terjaganya Daya Saing Batubara
Komoditas batubara hingga kini masih menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional, terutama terkait dengan kelistrikan melalui pembangkit listrik tenaga uap. Selain dengan cadangan dan sumber daya yang terbilang melimpah, batubara juga masih menjadi sumber energi murah saat ini.
Namun, sektor strategis ini tengah berada di persimpangan penting. Pelaku usaha menghadapi berbagai tekanan, mulai dari dinamika biaya produksi, tuntutan transisi energi yang menguat, hingga perubahan regulasi. Di sisi lain, harga batubara pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk kelistrikan sebesar 70 dollar AS per ton juga sudah tak relevan di mata pengusaha.
Di saat yang sama, kewajiban DMO kini diatur lebih jelas dan rinci melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kondisi ini membuat pelaku usaha menilai bahwa kepastian dan konsistensi regulasi menjadi faktor kunci agar industri batubara tetap berdaya saing di tengah perubahan lanskap energi nasional dan global.
Untuk mengetahui pandangan tentang tantangan dan peluang industri batubara Indonesia, tim Kompas Pro Harian Kompas mewawancarai Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani secara daring pada Senin (24/11/2025). Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana APBI melihat tantangan industri batubara di tengah dinamika harga serta tren global saat ini?
Setiap perusahaan memiliki cara yang berbeda merespons tantangan. Namun, secara umum, paling tidak perusahaan harus terus meningkatkan efisiensi. Di sisi lain, perusahaan membutuhkan kepastian regulasi agar daya saing terjaga dan mampu adaptif terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Saya melihat industri batubara Indonesia tetap menunjukkan ketahanan yang baik karena menjadi tulang punggung ketahanan energi dan salah satu kontributor penting penerimaan negara. Dalam jangka pendek dan menengah, kami melihat permintaan domestik dan global masih memberi ruang bagi industri untuk tetap berkontribusi.
Tantangan itu beragam, tetapi regulasi di tingkat domestik perlu konsisten guna menciptakan iklim investasi yang kondusif. Lalu, di tengah era transisi energi, di bawah tekanan global, kami tidak lagi bisa menutup mata bahwa industri dituntut beradaptasi dan berinovasi.
Secara operasional, industri batubara juga terus berhadapan dengan tantangan logistik dan biaya produksi. Seperti sudah kita ketahui, dampak penggunaan B40 sudah sangat terasa, apalagi nanti akan meningkat ke B50. Ini juga pasti akan berdampak langsung terhadap biaya operasional secara keseluruhan.
Rencana B50 ini masih abu-abu. Namun, menurut kami, lebih baik dikaji dulu dari apa yang sudah diimplementasikan di B40 saat ini. Dengan begitu, apa yang dialami industri hendaknya menjadi salah satu pertimbangan sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
Bagaimanapun, industrinya tetap harus hidup. Kami harapkan dipertimbangkan lagi, terutama bagi sektor terutama non-public service obligation (PSO) yang notabene tidak mendapatkan subsidi.
Dari berbagai tantangan itu, bagaimana pengaruhnya pada daya saing industri batubara Indonesia?
Kita bisa melihat dari berbagai sisi. Dengan komposisi biaya yang lebih mahal, tentu saja untuk perusahaan akan menjadi sulit memproduksi batubara. Akhirnya bisa terjadi penurunan produksi.
Berkait dengan ekspor, terlihat dari harga batubara acuan (HBA) yang menjadi harga patokan ekspor tahun ini (aturan kemudian dicabut). Negara-negara lain melihat Indonesia terlalu banyak tantangannya sehingga (negara-negara itu) mulai melirik pasar lain.
Sejauh mana diskusi antara asosiasi dengan pemerintah mengenai berbagai tantangan industri pertambangan batubara saat ini?
Di tingkat asosiasi, kami melakukan berbagai cara dalam menyuarakan aspirasi anggota. APBI menyuarakan aspirasi ke pemerintah dengan berbagai cara, bisa melalui diskusi, mengirim surat, dan juga pertemuan langsung. Kami juga meminta audiensi.
Misalnya, terkait penerapan devisa hasil ekspor (DHE) atau mewajibkan eksportir menempatkan devisa hasil ekspor dalam sistem keuangan nasional. Kalau DHE 100 persen, akan sangat sulit bagi industri tetap bertahan dengan DHE itu.
Dengan membawa data, kami mengemukakan dampak yang akan dirasakan industri jika peraturan ini tetap diterapkan. Kami juga berkolaborasi dengan berbagai cara untuk menyampaikannya kepada pemerintah.
Anggota APBI bervariasi. Bukan hanya yang berskala besar, melainkan juga ada skala menengah dan kecil. Begitu juga terkait penerapan B40, bagaimana konsekuensi penambahan biaya. Itu kami sampaikan dalam matriks usulan.
Ada isu besar yang dihadapi bersama, seperti penerapan B40. Namun, tantangan yang spesifik di setiap daerah juga ada.
Kalimantan Timur, misalnya, yang beberapa waktu lalu menghadapi rencana peningkatan kontribusi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Itu menjadi isu hangat di sana. Kemudian di Kalimantan Tengah ada permasalahan logistik karena tidak semua kapal bisa masuk ketika terjadi pendangkalan sungai.
Rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) kerap menjadi isu penting pada pertambangan nasional. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Pemerintah sebenarnya terus berinovasi, terutama untuk digitalisasi. Dulu juga ada penyederhanaan proses agar perusahaan lebih mudah untuk mengirim data.
Jadi, saya rasa ada perbaikan dari tahun ke tahun dan kini sudah semakin komprehensif. Kami mengapresiasi upaya-upaya itu. Kami juga berharap dengan sistem digital terintegrasi, yaitu Minerba One, semua berjalan secara bertahap.
Persetujuan RKAB menjadi per tiga tahun, tetapi kini diubah kembali menjadi per tahun. Bagaimana tanggapan APBI?
Skema RKAB tiga tahunan sebetulnya sudah lebih terencana secara investasi. Dari sisi perencanaan kalau tiga tahun justru jauh lebih jelas.
Namun, kalau per tahun pun kami akan mencoba beradaptasi dengan skema itu. Ini kan kembali ke yang lama. Pemerintah pasti sudah ada pertimbangan terkait itu.
DMO batubara juga menjadi isu yang terus bergulir, terlebih dengan terbitnya regulasi baru. Apakah ini menjadi masalah serius?
Kami melihat DMO sebagai regulasi yang harus dipenuhi. Ini mandat. Apa yang ada di regulasi baru, yaitu PP No 39/2025, sebenarnya ini bukan hal baru, melainkan hanya memperjelas saja.
Bagaimanapun, DMO menjadi prioritas bagi para anggota APBI. Dalam dua tahun terakhir, jika dilihat realisasi DMO nasional, kan, konsisten melampaui batas (minimal) 25 persen. Pada 2023 dan 2024, DMO sebesar 27 persen dari total produksi. Jadi, untuk kebutuhan domestik, terutama untuk energi kelistrikan, sudah bisa terpenuhi dengan baik.
Kami mendengar dari media, pada 2026 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana penerapan DMO sebesar 30 persen. Namun, dari berapa produksinya, kan, masih teka-teki. Namun, dari data yang kami miliki, kebutuhan batubara dalam negeri untuk 2026 itu sebanyak 257 juta ton. Khusus untuk kebutuhan kelistrikan sebanyak 138 juta ton atau hampir 60 persen.
Yang perlu dipahami, tantangan pemenuhan DMO tidak hanya terkait volume, tetapi juga karakteristik batubara nasional yang beragam. Contohnya, pembangkit listrik membutuhkan spesifikasi batubara tertentu. Jadi, tidak semua batubara dari petambang di Indonesia bisa diterima PLN. Belum lagi persebaran lokasi tambang dan perbedaan biaya logistik. Dengan begitu, pemenuhan DMO tidak bisa dibebankan secara merata di setiap perusahaan. Perlu koordinasi perencanaan antara PLN, pemerintah, dan para pemangku kepentingan.
Berapa harga batubara DMO yang ideal menurut Anda?
Sulit menjawabnya. Harga batubara DMO untuk kelistrikan sebesar 70 dollar AS per ton, kan, sudah sejak 2018. Saya pikir, perlu dikaji ulang (review). Saya pikir bisa menyesuaikan saja, misal dengan harga batubara DMO untuk pupuk dan semen.
(Perlu ditinjau ulang) Karena biaya produksi industri batubara terus meningkat dengan berbagai dinamikanya. Secara logika, harus sudah ada penyesuaian harga batubara DMO. Namun, diperlukan riset mendalam menentukan penyesuaian harganya, terutama untuk pemenuhan kelistrikan. Belum lagi, tidak semua batubara bisa diserap PLN. Jadi ketika ada perusahaan batubara tidak bisa menyuplai ke PLN, bagaimana nasibnya? Itu juga harus jadi pertimbangan.
Kementerian ESDM mendorong digitalisasi dan integrasi sistem melalui Minerba One. Apakah ini mengarah ke tata kelola yang lebih baik?
Kami melihat inisiatif itu positif untuk integrasi sistem dengan sistem digital. Langkah ini juga sejalan untuk menciptakan suatu kepastian, transparansi, dan efisiensi. Efisiensi itu terutama dalam perizinan dan pelaporan. Kami berharap integrasi sistem ini bisa berjalan. Sebab, dengan sistem itu, pelaku usaha hanya perlu satu kali memasukkan data untuk semua keperluan perizinan ataupun pelaporan. Ini akan sangat memangkas rantai birokrasi.
Ini penting karena kita sudah berada di era digital. Birokrasi saat ini sebenarnya sudah lebih baik (dari sebelumnya), tetapi terkadang ada kendala seperti tumpang tindih data. Semoga integrasi sistem bisa membenahi kendala itu.
Seberapa penting perbaikan tata kelola pertambangan nasional bagi masa depan industri batubara?
Dalam tata kelola tambang, kepastian hukum dibutuhkan demi keberlanjutan operasional di seluruh wilayah. Untuk tata kelola lingkungan, saya pikir sudah berjalan cukup baik saat ini. Perihal logistik justru yang hingga kini masih menantang.
Bagaimanapun, tata kelola pertambangan merupakan fondasi keberlanjutan industri. Dari sisi pengelolaan cadangan dan produksi, optimalisasi tambang perlu dilakukan. Salah satunya dengan meningkatkan tingkat perolehan (recovery rate) sambil meningkatkan digitalisasi.
Dari aspek hukum, kami terus mendorong pemberantasan tambang ilegal. Sejauh ini kami menghargai upaya penegak hukum yang bergerak cepat. Pertambangan ilegal jelas merusak citra industri dan penindakannya diperlukan demi terciptanya pasar yang sehat.
Praktik pertambangan yang baik (good mining practice) dan pemberdayaan masyarakat juga harus tetap menjadi standar operasional ke depan. Mengintegrasikan seluruh aspek itu menjadi hal utama.
Bagaimana Anda melihat proyeksi bisnis batubara dalam dua hingga tiga tahun mendatang?
Dinamika di beberapa negara beragam. Namun, tren global menunjukkan pertumbuhan yang masih moderat, yaitu 0,5 persen pada 2026. China tetap menjadi tujuan ekspor Indonesia.
Penurunan ekspor ke China saya pikir tidak begitu signifikan. Prediksi kami masih sekitar 325 juta ton pada 2026 dan menurun lagi pada 2027 karena peningkatan produksi dalam negeri mereka dan transisi energi di setiap negara.
Sementara permintaan dari India justru diperkirakan meningkat pada 2026 dan 2027. Ada kebutuhan untuk industri di sana. Belum lagi ada pasar Asia Tenggara yang masih menjadi tujuan ekspor batubara Indonesia. Pengembangan masih terbuka.
Source:
Other Article
Liputan 6
Published at
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Published at
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Published at