TEMPO
Published at
December 22, 2025 at 12:00 AM
Disinsentif Batu Bara untuk Mengatasi Krisis Iklim
Krisis iklim dan fiskal sesungguhnya merupakan dua hal yang saling terkait. Negara yang bergantung pada industri fosil, khususnya batu bara, memanjakan perusahaan ekstraktif dengan kebijakan. Padahal praktik bisnis mereka merusak lingkungan. Dalam situasi ini, kebijakan disinsentif terhadap industri batu bara dan sektor ekstraktif lain tak bisa ditunda.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan kerugian negara mencapai Rp 25 triliun akibat restitusi pajak. Hal ini semestinya menjadi alarm bagi kesehatan fiskal Indonesia karena restitusi ini sebagian besar dinikmati perusahaan besar, termasuk industri berbasis sumber daya alam yang merusak lingkungan dan menyumbang emisi gas rumah kaca.
Ironisnya, ketika negara menghadapi tekanan fiskal akibat bencana iklim, penerimaan justru bocor melalui berbagai insentif dan kemudahan fiskal yang diberikan kepada industri yang paling merusak. Industri batu bara adalah contoh paling nyata dari paradoks ini.
Perusahaan batu bara diuntungkan oleh berbagai regulasi, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Penyederhanaan perizinan, relaksasi kewajiban lingkungan, serta berbagai fasilitas fiskal dan nonfiskal telah membuat biaya produksi batu bara makin murah dan risiko bisnisnya makin kecil.
Di sisi lain, negara justru menanggung beban besar berupa kerusakan lingkungan, hilangnya potensi penerimaan, serta biaya pemulihan akibat bencana ekologis yang dipicu oleh aktivitas ekstraktif tersebut. Pemerintah buntung, sementara segelintir pengusaha panen keuntungan.
Laporan Trend Asia bersama organisasi masyarakat sipil berjudul “Omnibus Law: Kitab Hukum Oligarki” mengungkap Undang-Undang Cipta Kerja sarat dengan konflik kepentingan. Proses penyusunannya tidak hanya minim partisipasi publik, tetapi juga disusupi oleh kepentingan industri batu bara dan sektor ekstraktif lain. Dari penghapusan atau pelonggaran sanksi lingkungan, perpanjangan izin usaha pertambangan, hingga pengaburan kewajiban reklamasi. Semua menunjukkan keberpihakan pada industri yang terang-benderang.
Undang-Undang Cipta Kerja bukan sekadar instrumen penciptaan lapangan kerja, melainkan juga alat untuk mengamankan kepentingan industri fosil dalam jangka panjang, bahkan ketika dunia bergerak menjauhi batu bara. Elite politik berada dalam pusaran bisnis batu bara.
Dampak dari kebijakan yang pro terhadap industri ekstraktif kini berada di depan mata. Bencana hidrometeorologi yang melanda Sumatera—banjir besar, tanah longsor, hingga krisis ekologis yang berulang—menjadi bukti nyata bahwa kerusakan lingkungan telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Pembukaan lahan skala besar, pertambangan di kawasan hulu, serta lemahnya perlindungan ekosistem telah memperparah dampak perubahan iklim. Dalam konteks ini, publik jadi mempertanyakan mengapa negara masih ragu memberlakukan disinsentif terhadap sektor-sektor yang jelas-jelas memperbesar risiko bencana.
Krisis iklim diproyeksikan akan makin intens, bertumpuk dengan kesulitan fiskal yang sedang dialami Indonesia. Fenomena itu seharusnya cukup menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan berupa disinsentif yang mudah diterapkan secara fiskal. Laporan Center of Economic and Law Studies (Celios) yang dirilis pada Agustus 2025 menyatakan bahwa peningkatan pungutan produksi batu bara berpotensi memberikan tambahan penerimaan negara hingga Rp 34-66 triliun per tahun.
Negara pun dapat menerapkan pajak windfall profit atau pajak tambahan yang dikenakan atas keuntungan bagi perusahaan atau akibat lonjakan harga pasar yang tidak disebabkan oleh upaya kinerja sendiri, melainkan faktor eksternal atau dinamika pasar. Pajak windfall profit selama ini memang tak dianggap strategis karena berlaku temporer dan sangat bergantung pada keuntungan tak terduga. Namun penerapan pajak windfall profit dalam pengendalian komoditas batu bara dapat meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp 49,97 triliun. Anggaran ini dapat dialokasikan untuk kompensasi sosial, subsidi energi ramah lingkungan, dan penguatan fiskal di daerah penghasil sumber daya.
Angka-angka itu bukan sekadar proyeksi di atas kertas, melainkan cerminan dari besarnya nilai ekonomi yang selama ini diambil dari alam tanpa pengembalian yang setimpal kepada negara dan masyarakat. Di tengah tekanan fiskal, potensi ini seharusnya menjadi opsi kebijakan yang rasional, bukan tabu.
Disinsentif juga merupakan instrumen keadilan. Prinsip “pencemar membayar” harus menjadi fondasi kebijakan ekonomi dan lingkungan Indonesia. Industri yang menghasilkan emisi, merusak ekosistem, serta meningkatkan kerentanan bencana semestinya menanggung biaya sosial dan ekologis dari aktivitasnya. Selama prinsip ini diabaikan, beban kerusakan akan terus dipikul oleh masyarakat, terutama kelompok rentan, sementara keuntungan tetap terkonsentrasi pada segelintir elite pengusaha.
Pendapatan tambahan dari disinsentif tersebut seharusnya diarahkan secara jelas untuk upaya pemulihan dan adaptasi. Dana tersebut dapat digunakan untuk rehabilitasi daerah aliran sungai, pemulihan kawasan hutan, penguatan sistem peringatan dini bencana, hingga perlindungan sosial bagi korban bencana hidrometeorologi yang makin sering terjadi akibat krisis iklim. Dengan demikian, kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi sebagai alat pungutan, tapi juga sebagai mekanisme koreksi terhadap ketimpangan ekologis yang selama ini diciptakan.
Mitigasi krisis iklim dan krisis fiskal menuntut keberanian politik untuk keluar dari jebakan batu bara. Selama industri ekstraktif terus dimanjakan, negara kehilangan banyak hal, dari penerimaan hingga dukungan lingkungan. Disinsentif terhadap industri esktraktif yang merusak merupakan bagian dari transisi menuju keadilan fiskal dan ekologis.
Source:
Other Article
Liputan 6
Published at
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Published at
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Published at