Bisnis Indonesia
Published at
December 19, 2025 at 12:00 AM
Beban Dunia Usaha Kala Pemerintah Getol Tarik Penerimaan dari Minerba
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah makin getol mencari tambahan penerimaan negara salah satunya dari industri pertambangan mineral dan batu bara. Mulai dari kebijakan kenaikan tarif royalti hingga pengenaan bea keluar untuk mendongkrak penerimaan.
Untuk diketahui pada tahun ini, pemerintah mengerek tarif royalti batu bara, nikel, tembaga, emas, hingga bauksit. Sementara itu, pada 2026, pemerintah juga berencana mengenakan tarif bea keluar terhadap batu bara dan emas.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Watch Ferdy Hasiman mengatakan, kebijakan-kebijakan tersebut memang efektif dan potensial untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Namun, implementasi kebijakan tersebut dipertanyakan karena dinilai tidak disusun secara sistematis.
Menurut Ferdy, pola kebijakan yang ditempuh pemerintah cenderung reaktif. Ketika penerimaan negara menurun, pemerintah langsung menaikkan berbagai pungutan tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh.
"Dari sudut pandang korporasi, kebijakan seperti ini menjadi tidak menarik dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan," kata Ferdy kepada Bisnis, dikutip Kamis (18/12/2025).
Apalagi selama ini perusahaan-perusahaan tambang sudah menanggung beban royalti yang cukup besar, ditambah lagi dengan pajak-pajak lain di luar royalti.
Di sisi lain, pemerintah juga mewajibkan perusahaan untuk membangun smelter, seperti pada komoditas tembaga, yang nilai investasinya bisa mencapai puluhan hingga lebih dari Rp60 triliun. Menurutnya, secara ekonomi pembangunan smelter tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya layak. Namun, tetap dijalankan karena merupakan kewajiban undang-undang.
Padahal, pembangunan smelter memiliki dampak berganda (multiplier effect) yang besar, mulai dari peningkatan nilai tambah, pertumbuhan ekonomi lokal, hingga berkembangnya industri turunan.
Namun, Ferdy menilai setelah kewajiban pembangunan smelter dipenuhi, seharusnya pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan agar manfaat ekonomi tersebut dapat terus diperluas.
"Kalau kewajiban sudah dijalankan, mestinya pemerintah kasih insentif. Jangan justru bebannya terus ditambah. Kalau bebannya makin berat, ini jadi tidak menarik bagi perusahaan," tuturnya.
Lebih lanjut, dia mendorong pemerintah untuk segera menyusun desain industrialisasi pertambangan yang lebih komprehensif. Menurut Ferdy, saat ini smelter yang dibangun sebagian besar masih menghasilkan produk antara, sementara industri hilir lanjutan belum siap.
"Jika diarahkan dengan benar, hilirisasi lanjutan justru bisa meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan," jelasnya.
Ferdy menilai, sebagai jalan tengah, kenaikan royalti atau bea keluar seharusnya dilakukan secara proporsional dan melalui dialog dengan para produsen.
Dengan begitu, pemerintah dapat menentukan titik yang adil sehingga ketika perusahaan memperoleh keuntungan, penerimaan negara juga meningkat, tanpa mendorong perusahaan ke risiko kerugian atau kebangkrutan yang berujung pada berkurangnya lapangan kerja.
“Perusahaan-perusahaan yang sudah menjalankan hilirisasi mestinya diberi insentif agar bisa masuk lebih jauh ke industri hilir. Dampak ekonominya besar, tapi ini sering tidak terlihat oleh pemerintah," pungkasnya.
Ferdy menegaskan bahwa kebijakan peningkatan penerimaan negara melalui kenaikan royalti memang memiliki tujuan baik. Namun, tanpa desain yang matang dan berimbang, kebijakan tersebut berisiko menekan dunia usaha dan justru melemahkan fondasi ekonomi jangka panjang.
Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bakhtiar mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menarik penerimaan negara dari perusahaan tambang kontras dengan upaya mengendalikan produksi.
"Pengendalian produksi bertujuan menjaga harga, keberlanjutan SDA [sumber daya alam], dan stabilitas pasar, sementara monetisasi agresif tersebut berorientasi pada optimalisasi penerimaan jangka pendek," terangnya, dihubungi terpisah.
Oleh karena itu, Bisman menilai perlu rancangan kebijakan terpadu selaras dan tidak kontradiktif. Sebab, jika produksi ditekan, tetapi biaya usaha dinaikkan maka margin pelaku usaha berkurang sehingga akan pengaruh pada investasi.
Dalam jangka pendek, menurut dia, kebijakan ini relatif efektif menambah penerimaan negara, khususnya saat harga komoditas tinggi dan terdapat stockpile besar. Namun secara struktural, kontribusinya tidak berkelanjutan.
"Potensi penerimaan bisa signifikan, tetapi sangat bergantung pada harga global, volume produksi, dan kepatuhan pelaku usaha. Tetapi sebaliknya jika beban keuangan pelaku usaha terlalu berat, justru berisiko menurunkan produksi," tambahnya.
Alih-alih mengejar penerimaan negara dari monetisasi komoditas minerba, Bisman menyarankan pemerintah sebaiknya fokus pada perbaikan tata kelola dan pengawasan, seperti menekan kebocoran penerimaan, transfer pricing, dan tambang ilegal.
"Selain itu peningkatan nilai tambah hilirisasi dan pengembangan industri turunannya atau bisa juga menerapkan skema fiskal adaptif atau royalti progresif berbasis harga, artinya besarnya persentase royalti fluktuatif mengikuti harga komoditas. Ini akan lebih fair dan proporsional," pungkasnya.
Source:
Other Article
Liputan 6
Published at
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Published at
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Published at