ELAEIS

Published at

November 18, 2025 at 12:00 AM

B50 Dinilai Terlalu Ngebut, Pasar Sawit Bisa Keteteran!

Nusa Dua, elaeis.co - Rencana pemerintah mempercepat penerapan biodiesel B50 dari minyak sawit kembali bikin heboh pasar global. Alih-alih disambut sebagai langkah gagah kemandirian energi, analis internasional justru menilai Indonesia sedang bermain api.

Peringatan paling tegas datang dari Julian Conway McGill, Managing Director Glenauk Economics, saat tampil di IPOC 2025 di Nusa Dua, Bali.

Menurutnya, percepatan dari B30 ke B40 kemudian B50 telah menciptakan ekspektasi yang tidak sehat di pasar minyak nabati dunia.

“Program biodiesel Indonesia terlalu berhasil,” kata McGill. Alias, pasar sudah terlanjur percaya konsumsi sawit bakal melonjak, bahkan sebelum mandatory jalan. Dampaknya, harga CPO tetap tinggi.

Masalahnya, harga solar global lagi rendah. Akibatnya selisih harga atau spread antara CPO dan solar kian melebar seperti jurang.

Spread harga CPO–solar adalah komponen biaya terbesar dalam produksi biodiesel. Ketika selisihnya makin melebar, beban pembiayaan untuk program B40 saja sudah terasa berat, apalagi jika pemerintah memaksakan B50.

Dalam kondisi seperti ini, McGill menilai kenaikan pungutan ekspor atau levy hampir tak terhindarkan. Namun dampaknya bukan kabar baik bagi industri. Begitu levy naik, ekspor sawit otomatis jadi makin sulit bersaing di pasar internasional.

Petani juga berpotensi menerima harga yang lebih rendah karena rantai pasok ikut terdampak tekanan biaya. Industri hulu, yang seharusnya menjadi motor peningkatan produksi, justru kehilangan insentif untuk berinvestasi dan melakukan penanaman baru.

Pada akhirnya, percepatan B50 bukan hanya menambah beban fiskal, tetapi juga membuka risiko stagnasi jangka panjang bagi sektor sawit nasional.

Belum berhenti sampai di situ, McGill juga membeberkan fakta yang membuat banyak peserta forum ikut mengernyit. Ia menyebut produktivitas sawit Indonesia tidak menunjukkan adanya peningkatan struktural.

Masalah klasik seperti legalitas lahan yang belum tuntas, tingginya pungutan, hingga minimnya penanaman baru membuat produksi cenderung stagnan.

Ketika produksi tidak bertambah tetapi konsumsi biodiesel terus digenjot, siklus berat langsung tercipta yaitu ekspor bisa merosot, pendapatan levy ikut turun, lalu pemerintah terdorong menaikkan pungutan lagi. Situasi ini berpotensi berubah menjadi bola salju yang makin mengkhawatirkan bagi industri.

Kondisi tersebut semakin rumit ketika melihat reaksi pasar global. India dan Pakistan, dua pembeli sawit terbesar Indonesia sangat sensitif dengan perubahan harga.

Begitu CPO terlalu mahal, mereka tidak ragu berpindah ke minyak nabati lain. Di sisi lain, pasar Tiongkok kini lebih nyaman pada pasokan kedelai yang murah, sementara Eropa memberlakukan regulasi yang semakin ketat.

Kombinasi situasi ini membuat sawit Indonesia makin tersisih di dua pasar raksasa tersebut. Dengan kata lain, percepatan menuju B50 justru berpotensi mempercepat hilangnya pasar ekspor, bukan hanya mempercepat pencampuran biodiesel.

Dari sisi industri, McGill menegaskan bahwa kapasitas produksi biodiesel nasional pun belum siap digenjot seagresif itu. Ia menyebutkan bahwa sebelum B50 benar-benar diterapkan, Indonesia membutuhkan investasi kapasitas yang sangat besar.

Artinya, persoalan ini bukan sekadar urusan naik-turun campuran, melainkan kesiapan infrastruktur industri yang belum sepenuhnya kokoh untuk diajak berlari sprint.

Karena itulah McGill menawarkan jalan tengah yaitu menggunakan pendekatan mandatory yang fleksibel, mirip kebijakan gula–etanol di Brasil.

Pemerintah, menurutnya, bisa menyesuaikan volume biodiesel berdasarkan pergerakan harga. Ketika CPO mahal, serapan biodiesel dikurangi, namun ketika harga turun, serapan diperbesar.

Dengan cara ini, Indonesia bisa mendapatkan biodiesel empat kali lebih banyak dengan biaya yang sama asalkan waktunya tepat. Bagi McGill, ini jauh lebih efisien dibanding memaksakan B50 ketika pasar sedang tidak bersahabat.

Secara teknis, Indonesia memang telah membuktikan diri. Dulu B10 dianggap mustahil, kini B40 meluncur tanpa drama berarti. Namun McGill mengingatkan bahwa kecepatan bukanlah ukuran keberhasilan.

Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah sekarang waktu yang tepat untuk melaju lebih jauh. Dalam kondisi harga global yang labil, produksi sawit stagnan, pasar ekspor semakin sensitif, dan kapasitas industri belum matang, percepatan B50 terlihat seperti mengambil risiko besar hanya demi mengejar angka campuran.

Jika B50 dipaksakan dalam situasi sekarang, risiko yang muncul terlalu besar untuk diabaikan. Alih-alih membawa sawit naik kelas, kebijakan ini justru bisa menjerumuskan industri ke fase pasar yang bergejolak, ekspor yang melemah, dan beban fiskal yang menganga pelan-pelan.

Indonesia perlu menghitung ulang dengan kepala dingin sebelum benar-benar menekan pedal gas menuju B50.

Source:

Bisnis Indonesia

Published at

November 18, 2025 at 12:00 AM

11/18/25

10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi

IDX Channel.com

Published at

November 18, 2025 at 12:00 AM

11/18/25

10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?

Kontan

Published at

November 18, 2025 at 12:00 AM

11/18/25

190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman

CNBC Indonesia

Published at

November 18, 2025 at 12:00 AM

11/18/25

190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya

CNBC Indonesia

Published at

November 18, 2025 at 12:00 AM

11/18/25

2 Kabar Baik Hari ini: Harga Batu bara Naik, China Balik ke RI Lagi

Secretariat's Address.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Secretariat's Email.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Website created by

Secretariat's Address.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Secretariat's Email.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Website created by

Secretariat's Address.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Secretariat's Email.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Website created by