BISNIS
Published at
October 22, 2025 at 12:00 AM
Ancang-ancang PTBA Lanjutkan Proyek DME, Lepas dari AS Berlabuh ke China
Bisnis.com, JAKARTA - PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tengah bersiap untuk melanjutkan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) pada tahun depan.
Proyek yang diharapkan dapat menjadi subtitusi liquefied petroleum gas (LPG) itu mandek usai ditinggal investor utamanya dari Amerika Serikat (AS), Air Products & Chemical Inc. Kini, PTBA memberi sinyal akan melanjutkan proyek tersebut bersama mitra dari China.
Direktur Hilirisasi dan Diversifikasi Produk PTBA Turino Yulianto mengungkapkan bahwa Perseroan telah melakukan berbagai persiapan, termasuk menyiapkan partner teknologi baru untuk mengerjakan proyek DME.
Dia bercerita pihaknya telah mengunjungi pabrik-pabrik gasifikasi di China yang mengubah batu bara menjadi produk kimia, termasuk DME, methanol, hingga polypropylene. Di China, kata Turino, proyek gasifikasi menjadi zat kimia telah berjalan 20-30 tahun. Hal tersebut dinilai menjadi salah satu kunci industri di Negeri Tirai Bambu itu sangat kompetitif.
Meski demikian, dia belum dapat memastikan siapa mitra baru yang akan bergabung dalam proyek DME. Dia hanya memberi sinyal ada investor China yang telah kompeten di bidang tersebut lebih dari 20 tahun.
"Jadi teknologinya sudah berkembang dan mereka masih membesarkan kapasitas. Jadi mereka macam-macam. Satu produk dari batu bara bikinnya nggak hanya tunggal DME. Bikin ini, bikin ini. Ada satu pabrik yang punya 50 produk," ujar Turino, Senin (20/10/2025).
Berdasarkan catatan Bisnis, PTBA telah menjajaki sejumlah calon mitra baru proyek DME, yaitu CNCEC, CCESCC, Huayi, Wanhua, Baotailong, Shuangyashan, dan ECEC. Dalam hal ini, hanya ECEC (East China Engineering Science and Technology Co.) yang berminat sebagai mitra investor.
Merujuk paparan PTBA dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, Senin (5/5/2025), ECEC yang telah menyampaikan proposal awal (preliminary proposal) coal to DME pada November 2024, mengusulkan processing service fee (PSF) indikatif senilai US$412 hingga US$488 per ton. Angka tersebut lebih besar dibanding ekspektasi Kementerian ESDM, yakni senilai US$310 per ton.
Selain mitra, PTBA juga telah menyiapkan cadangan batu bara sebanyak 800 juta ton untuk proyek hilirisasi, termasuk DME. Turino mengatakan, proyek DME membutuhkan batu bara sekitar 5-6 juta ton per tahun atau 100-120 juta ton untuk 20 tahun. Cadangan tersebut diamankan guna meyakinkan investor yang akan mengoperasikan pabrik pengolahan batu bara menjadi DME.
"Investor itu mau tahu, 'kamu punya enggak sih batu bara 100 juta ton? Makanya kami lock 800 juta ton itu di Sumatra Selatan dan di Riau, ini khusus hilirisasi jadi dari sisi suplai bahan baku sudah ready," jelasnya.
PTBA juga telah mempersiapkan kawasan industri di Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE), Tanjung Enim, Sumatra Selatan seluas 600 hektare untuk proyek DME.
Tak hanya itu, produk DME yang dihasilkan juga telah mendapat kepastian offtaker, yakni PT Pertamina Patra Niaga. Oleh karena itu, PTBA juga masih terus berdiskusi dengan Pertamina terkait harga dan lainnya.
"Insyaallah, kalau semua lancar ya. Kami sudah agak mengerucut nih. Cadangan sudah ready, tempat sudah ready, teknologi kami sudah ready. Terus kemudian tinggal keekonomian sedikit lagi. Lagi berembuk dengan Danantara," jelasnya.
Turino tak memungkiri nilai keekonomian produk DME masih menjadi tantangan. Perseroan pun tengah berdiskusi masalah keekonomian yang mencakup harga batu bara, capex investasi, dan harga jual DME, dengan Danantara.
Namun, pihaknya belum dapat memastikan masuknya Danantara ke proyek tersebut.
"Belum tahu kalau itu [bantuan investasi Danantara]. Yang penting kami dari PTBA sudah menyiapkan cadangan, partner teknologi kita siapkan, kawasan industri kita siapkan," jelasnya.
Bila tak ada aral melintang, PTBA menargetkan proyek DME dapat mulai dieksekusi pada tahun depan. Untuk membangun satu pabrik pengolahan batu bara DME, Turino menyebut, kebutuhan investasi diperkirakan mencapai US$2,5 miliar atau sekitar Rp40 triliun.
Tambahan Insentif
Pemerintah membuka potensi pemberian insentif non-fiskal sebagai stimulus tambahan untuk proyek DME. Hingga saat ini, pemerintah baru memberikan insentif royalti batu bara 0% untuk mendorong nilai keekonomian proyek DME tersebut sebagai upaya menekan impor LPG.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Siti Sumilah Rita Susilawati mengatakan, insentif tambahan untuk menggenjot proyek DME masih dalam tahap pengkajian.
"Sampai saat ini, belum ada aturan baru yang secara spesifik mengatur tambahan insentif untuk proyek DME, selain yang sudah ditetapkan sebelumnya berupa royalti batu bara 0% untuk volume yang digunakan dalam produksi DME," kata Rita kepada Bisnis, Senin (20/10/2025).
Adapun, dia menyebut terdapat kemungkinan pemberian insentif non-fiskal melalui penetapan kawasan ekonomi khusus (KEK). Menurut Rita, stimulus tersebut diharapkan dapat membuat proyek DME menjadi lebih menarik secara investasi.
Namun, dia menegaskan aturan tersebut masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian. Pihaknya pun berharap proyek DME bisa terlaksana sehingga dapat menjadi substitusi impor LPG.
"Proyek DME memang diharapkan menjadi salah satu solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan impor LPG," tuturnya.
Sementara itu, Indonesia Mining Association (IMA) menilai bahwa proyek hilirisasi batu bara, termasuk pengembangan DME masih menghadapi tantangan besar dari sisi keekonomian dan kepastian regulasi.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengatakan bahwa hingga saat ini, banyak faktor yang memengaruhi kelayakan ekonomi proyek-proyek hilirisasi batu bara.
“Proyek hilirisasi batu bara masih terkendala aspek keekonomian yang mana banyak faktor yang memengaruhi seperti antara lain teknologi yang mahal, kerja sama dengan off-taker, harga jual produk hilirisasi batubara, financing, dan lain-lain,” kata Hendra kepada Bisnis, Senin (20/10/2025).
Hendra menambahkan bahwa kepastian regulasi menjadi kunci untuk menarik investasi jangka panjang di sektor tersebut. Selain itu, kepastian dan jaminan regulasi yang stabil juga dinilai penting mendukung investasi jangka panjang.
Meski demikian, dia mengapresiasi langkah pemerintah yang telah memberikan insentif fiskal guna mempercepat hilirisasi batu bara, seperti royalti 0% untuk proyek DME.
“Pemerintah telah menerbitkan beberapa insentif yang perlu diapresiasi. Namun, kembali ke poin pertama, aspek keekonomian itu banyak faktor terkait. Pemerintah tentu telah memahami isu ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hendra menyoroti rencana pemerintah yang tengah menyiapkan insentif nonfiskal melalui penetapan KEK untuk menarik lebih banyak investor di sektor hilirisasi.
“Insentif berupa KEK tentu patut diapresiasi karena dinilai bisa menarik investasi proyek-proyek yang bisa menyerap hasil pengolahan batu bara tersebut dan mendorong proyek hilirisasi batu bara,” jelasnya.
Namun demikian, dia menekankan bahwa keberhasilan proyek DME maupun bentuk hilirisasi lainnya tidak hanya bergantung pada insentif, tetapi juga koordinasi lintas sektor dan dukungan kebijakan yang konsisten.
“Tapi tentu banyak faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya,” pungkasnya.
Source:
Other Article
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
Kontan
Published at
190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman
CNBC Indonesia
Published at
190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya
CNBC Indonesia
Published at