NEW YORK, Dec 26 (Reuters) - New York state will fine fossil fuel companies a total of $75 billion over the next 25 years to pay for damage caused to the climate under a bill Governor Kathy Hochul signed into law on Thursday.

The law is intended to shift some of the recovery and adaptation costs of climate change from individual taxpayers to oil, gas and coal companies that the law says are liable. The money raised will be spent on mitigating the impacts of climate change, including adapting roads, transit, water and sewage systems, buildings and other infrastructure.

"New York has fired a shot that will be heard round the world: The companies most responsible for the climate crisis will be held accountable," New York Senator Liz Krueger, a Democrat who co-sponsored the bill, said in a statement.

Fossil fuel companies will be fined based on the amount of greenhouse gases they released into the atmosphere between 2000 and 2018, to be paid into a Climate Superfund beginning in 2028. It will apply to any company that the New York Department of Environmental Conservation determines is responsible for more than 1 billion tons of global greenhouse gas emissions.

New York becomes the second state to pass such a law after Vermont passed its own version this summer. The laws are modeled after existing state and federal superfund laws that require polluters to pay to clean up toxic waste.

Repairing damage and adapting for extreme weather caused by climate change will cost New York more than $500 billion by 2050, Krueger said in her statement. Major oil companies made more than $1 trillion in profits since January 2021 and have known since at least the 1970s that the extraction and burning of fossil fuels contribute to climate change, she said.

Energy companies are expected to file legal challenges to the new law, arguing that it is preempted by federal law regulating energy companies and polluters.

Renewable energy made up 24.5% of EU energy use last year, a new record, but still far from the target set for 2030.

Spain is the only country among the bloc's four largest economies to stand above EU average.

Among EU countries, Sweden used the most energy coming from renewables. Its main sources were solid biofuels, hydropower and wind.

Neighbouring Finland is second, with 50.8% of its energy coming from renewables, followed by another nordic country, Denmark, with 44.9%

Albania stands out as the EU candidate country with the highest rate at over 46%.

The lowest shares were recorded in Luxembourg (11.6%), Belgium (14.7%) and Malta (15.1%).

Where in Europe is renewable energy use growing fastest?

On the other hand, the Mediterranean island nation is one of the few European countries that raised their renewable energy use by over 10% in the past decade.

The others are Denmark (+15.61%), Sweden (+15.24%), Estonia (+14.82%), Albania (14.77%), Cyprus (+11.07%) and Bosnia-Herzegovina (+11.69%).

Croatia (0.23%), Romania (0.92%) and North Macedonia (0.65%) reported the lowest growth rates, while renewable use went down in Kosovo (-0.76%), Moldova (-3.17%) and Montenegro (-3.13%).

The 2023 result is a new EU record, up 7% compared to 10 years ago - but it remains 18 points shy of the 42.5% target set for 2030.

Reaching that goal requires an annual growth of 2.6%, while the average year-on-year increase in the last decade has only been 0.79%.

India — which relies on coal to meet about three-quarters of electricity demand — kept installations of new capacity near a five-year high to try to meet surging power usage.

Almost 4 gigawatts of coal-fired capacity was added this year, about the same as in 2023, according to the Central Electricity Authority. While that’s the most since 2019 — when the nation added 7.4 gigawatts — it falls short of state targets for what’s needed by 2032.

India’s dependence on the dirtiest fossil fuel will likely continue for years, despite plans for the rapid deployment of clean power capacity. On a global level, thanks to growing demand in China and India, coal use is expected to hit records through 2027, according to the International Energy Agency.

India’s power ministry unveiled a plan last year to add almost 90 gigawatts of coal-fired capacity through 2032, increasing an earlier target by more than 60%. That would require adding at least 9 gigawatts of plants every year.

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat produksi batu bara di dalam negeri tembus 802,31 juta ton per Kamis (26/12/2024). Mengutip data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, realisasi tersebut telah mencapai 113?ri target target produksi 2024 yang sebesar 710 juta ton. "Tahun 2024 realisasi produksi sebanyak 802,31 juta ton," demikian tulis data MODI Kementerian ESDM, dikutip Jumat (26/12/2024). Lebih terperinci, dari total produksi emas hitam itu, penyerapan untuk domestik tercatat mencapai 361,48  juta ton. Sementara, realisasi untuk ekspor sebesar 412,5 juta ton. Adapun realisasi untuk domestic market obligation (DMO) mencapai 162,03 juta ton. produksi batu bara yang melebihi target ini seiring dengan realitas bahwa komoditas tersebut masih mendominasi bauran energi di Indonesia. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengungkapkan bauran energi didominasi oleh sumber energi batu bara yang mencapai 39,48% per semester I/2024. “Bauran energi tahun 2024 sampai dengan Juni 2024 didominasi oleh batu bara sebesar 39,48%,” ucap Yuliot dalam acara Hilir Migas Conference, Expo, & Awards 2024 di Jakarta, Kamis (12/12/2024).  Selain itu, pemanfaatan minyak mencapai 29,9?lam bauran energi nasional, sedangkan untuk gas masih mencapai 16,69%. Sementara itu, pemanfaatan EBT baru mencapai 13,93%.

Batu Bara Jadi Primadona Di sisi lain, laporan terbaru Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memperkirakan permintaan batu bara global akan terus meningkat dan mencapai rekor baru setiap tahunnya sampai 2027. Kondisi tersebut dapat mempersulit target penurunan emisi karbon dunia.  Estimasi terbaru IEA sekaligus berseberangan dengan proyeksi awal yang menyebutkan bahwa permintaan batu bara telah mencapai puncaknya pada 2023. Permintaan batu bara pada 2027 diestimasi menembus 8,9 miliar ton atau sekitar 1% lebih tinggi daripada level 2024.  IEA menyebutkan estimasi ini cukup realistis, mengingat realisasi permintaan batu bara dalam beberapa tahun terakhir selalu berada di atas perkiraan. "Hasil pemodelan kami menunjukkan permintaan global terhadap batu bara akan stagnan hingga 2027, meskipun konsumsi listrik meningkat tajam," kata Keisuke Sadamori, Direktur Pasar Energi dan Keamanan IEA dalam pernyataan yang dikutip Bloomberg, Rabu (18/12/2024).

KOMPAS.com - Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) memprediksi permintaan batu bara global mencapai titik jenuh hingga 2027. Perkiraan tersebut disampaikan IEA dalam laporan market batu bara terbarunya, Coal 2024 yang dirilis baru-baru ini. Konsumsi batu bara global sendiri bangkit kembali dengan kuat setelah anjlok pada puncak pandemi. Pada 2024, permintaan batu bara sempat mencapai titik tertinggi yakni 8,77 miliar ton.

Menurut laporan tersebut, permintaan batu bara akan berkisar di angka tersebut hingga tahun 2027. Pada 2027, permintaan batu bara global diperkirakan mencapai titik puncaknya yakni sekitar 8,87 miliar ton.

Salah satu faktor dari jenuhnya permintaan batu bara global adalah tingginya penetrasi pembangkit energi terbarukan di China. Untuk diketahui, sektor ketenagalistrikan di China sangat penting bagi pasar batu bara global. Satu dari setiap tiga ton batu bara yang dikonsumsi di seluruh dunia dibakar di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di negara tersebut.  Pada 2024, China terus mendiversifikasi sektor ketenagalistrikannya dengan memajukan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan mempercepat perluasan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangit listrik tenaga bayu (PLTB).

Di sisi lain, IEA juga meskipun juga menyoroti sejumlah ketidakpastian utama dalam analisisnya. Pasalnya, konsumsi listrik di sejumlah negara tumbuh pesat karena kombinasi berbagai faktor seperti elektrifikasi transportasi dan pemanas serta meningkatnya perkembangan teknologi seperti pusat data.  Selain itu, pola cuaca dapat mendorong fluktuasi konsumsi batu bara dalam jangka pendek.  Menurut laporan IEA, permintaan batu bara di China pada 2027 dapat mencapai 140 juta ton lebih tinggi atau lebih rendah dari perkiraan karena intermitensi pembangkit energi terbarukan. Direktur Pasar dan Keamanan Energi IEA Keisuke Sadamori mengatakan, permodelan yang dilakukan menunjukkan permintaan global untuk batu bara akan mencapai titik jenuh hingga tahun 2027 meskipun konsumsi listrik meningkat tajam.

"Namun, faktor cuaca akan berdampak besar pada tren jangka pendek untuk permintaan batu bara. Kecepatan pertumbuhan permintaan listrik juga akan sangat penting dalam jangka menengah," kata Sadamori, dikutip dari siaran pers, Rabu (18/12/2024). Di sebagian besar negara maju, permintaan batu bara telah mencapai puncaknya dan diperkirakan akan terus menurun hingga 2027.  Sementara itu, permintaan batu bara masih meningkat di beberapa negara berkembang di mana permintaan listrik meningkat tajam seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi. Contohnya seperti India, Indonesia, dan Vietnam.