Kompas
Published at
May 8, 2025 at 12:00 AM
Pertambangan Ramah Lingkungan Bukan Sekadar Angan-angan
Bagi sebagian kalangan, masih cukup sulit membayangkan pertambangan yang ramah lingkungan. Kerusakan memang tak bisa dihindari, tetapi pertambangan ramah lingkungan berarti memitigasi dampaknya, termasuk mereklamasi lahan bekas tambang dengan lapisan tanah agar pepohonan bisa hidup subur. Pertambangan ramah lingkungan tak sekadar angan-angan, tapi sudah menjadi kebutuhan.
Sejauh ini, sektor pertambangan masih sangat memengaruhi perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada 2024 sektor pertambangan masuk ke dalam salah satu lima lapangan usaha dengan kontribusi terbesar terhadap perekonomian Indonesia setelah industri pengolahan, perdagangan, pertanian, dan konstruksi.
Tak sampai di situ, investasi sektor pertambangan dan pengolahan meningkat dan melahirkan efek pengganda terhadap perekonomian nasional juga lokal. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, pada 2024, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba mencapai Rp 269,6 triliun, atau 115 persen dari target 2024 sebesar Rp 234,2 triliun.
Meskipun demikian, kontribusi pertambangan tak sekadar nilai rupiah. Ia juga turut menyumbang kerusakan lingkungan karena aktivitasnya. Seperti yang diungkapkan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), organisasi advokasi berbasis penelitian, ada ancaman krisis biodiversitas dan iklim dalam era transisi energi dengan studi kasus di Kalimantan Timur (Kaltim).
Koordinator AEER Pius Ginting menjelaskan, pertambangan memang menjadi salah satu sektor yang mengembangkan perekonomian Kaltim menjadi seperti sekarang, khususnya dari batubara. Menurut data AEER, 38 persen cadangan batubara nasional ada di Kaltim dan telah memproduksi 339 juta ton batubara pada 2023.
Berdasarkan data Januari 2025, setidaknya terdapat 310 konsesi pertambangan di Kaltim dengan total luas lahan mencapai 1,5 juta hektar, atau sama dengan 2,6 kali luas pulau Bali. Semua perizinan itu baru bakal berakhir dari 2030 hingga 2055. Pius melanjutkan, 29 persen atau 448.556 hektar tutupan hutan di Kaltim terbebani konsesi tambang. Sebanyak 55.561 hektar hutan primer masuk dalam tutupan hutan yang terbebani konsesi tersebut.
“Hutan primer seharusnya dilindungi dan tidak dibebani izin industri ekstraktif karena perlindungan keanekaragaman hayati juga ancaman dampak ke kehidupan masyarakat di sekitarnya,” kata Pius dalam Diskusi Publik dengan tajuk “Krisis Biodiversitas dan iklim di Era Transisi Energi: Studi Kasus Tambang Batubara di Kalimantan Timur” yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Dalam diskusi itu, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Ade Tri Ajikusuma menjelaskan, yang bisa dilakukan pihaknya adalah menjaga kawasan hutan terutama yang memiliki fungsi konservasi. Ia meyakinkan bahwa tidak ada kawasan konservasi yang dibebani izin pertambangan.
Jika ada tumpang tindih izin di kawasan hutan konservasi, kata Ade, bukan merupakan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Tanpa PPKH, perusahaan tidak boleh menjalankan aktivitasnya.
“Hanya pemegang PPKH yang bisa menjalankan aktivitas pertambangannya, itu pun ada kewajibannya, seperti melaksanakan reklamasi di kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka waktu PPKH,” ungkapnya.
Bukan mimpi
Meski ada catatan kerusakan lingkungan namun pertambangan ramah lingkungan merupakan tujuan yang harus jadi kenyataan. Pelaksana tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengungkapkan, upaya untuk memenuhi tanggung jawab lingkungan dari perusahaan tambang batubara merupakan kewajiban. Aturan pemerintah terkait tata kelola lingkungan pun sangat ketat dan terpantau.
“Dalam konteks pertambangan ramah lingkungan sebenarnya terus dilakukan dengan berbagai cara seperti upaya pengurangan emisi yang terukur. Namun untuk dalam skala besar seperti penggunaan carbon captured storage (CCS) biayanya juga masih relatif mahal. Ini tidak berarti tidak ada upaya,” ungkap Gita.
Pertambangan ramah lingkungan, lanjut Gita, juga perlu dilihat dari aktivitas pasca tambang. Jika mengacu pada data dari MODI, tambah Gita, capaian rehabilitasi tahun 2024 mencapai 26.538 ha atau 373 persen dari target reklamasi seluas 7.100 ha per tahun. Sementara untuk reklamasi tahun 2025 ditargetkan seluas 7.135 ha.
“Persoalan seperti isu tumpang tindih penetapan fungsi dan peruntukan kawasan (PPKH dan HGU) juga masih ditemui,” ungkap Gita.
"Pertambangan secara inheren melibatkan ekstraksi sumber daya dari alam sehingga dampak ekologisnya hampir tidak bisa dihindari sepenuhnya. Paling meminimalkan dampaknya."
Hal serupa juga disampaikan dosen manajemen eksplorasi dan eksplorasi batubara Universitas Sriwijaya, Palembang, Stevanus Nalendra Jati. Menurutnya, secara teori, pertambangan ramah lingkungan sangat mungkin dilakukan. Secara prinsip, pertambangan ramah lingkungan berarti minim kerusakan ekosistem, reklamasi, dan rehabilitasi lahan pascatambang. Pengelolaan limbah dan air juga baik, dilengkapi penggunaan energi bersih dan keterlibatan masyarakat sekitar serta transparansi.
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan, menurut Nalendra, disebabkan lantaran fluktuasi harga global, ketergantungan ekspor bahan mentah, serta kurangnya transparansi dan pengawasan lingkungan di lapangan. Perusahaan pun mengejar target produksi dengan ekspansi lahan.
Jika melihat laporan Global Carbon Project yang dirilis pada Desember 2023, jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3 persen pada 2022 menjadi 728,9 metrik ton. Sektor industri menyumbang 238,1 juta ton karbon dengan pertambangan menyumbang lebih kurang 10 persen dari total sektor industri itu.
“Jika melihat laporan itu, artinya sumbangan karbon pertambangan tidak besar, akan tetapi memang tren deforestasi meningkat dari 0,8 juta hektar menjadi 1,6 juta hektar karena pertambangan,” ungkap Nalendra.
Nalendra mencontohkan pertambangan di Australia yang dijalankan dengan teknologi canggih bahkan sebagian besar auto-pilot. Hal itu membuat Australia, juga Kanada, jadi dua wilayah pertambangan yang disebut-sebut paling “hijau” di dunia. Sayangnya, Indonesia belum bisa sepenuhnya mencontoh mereka lantaran akan berdampak pada serapan tenaga kerja.
“Pertambangan secara inheren melibatkan ekstraksi sumber daya dari alam sehingga dampak ekologisnya hampir tidak bisa dihindari sepenuhnya. Paling meminimalkan dampaknya,” ungkap Nalendra, Sabtu (3/5/2025).
Salah satu upaya baik yang sudah dijalankan selama ini, menurut Nalendra, adanya jaminan reklamasi sesuai regulasi pemerintah. Regulasi itu membuat perusahaan menyetorkan sejumlah uang, sesuai ketentuan pada proses awal eksplorasi sebagai syarat izin produksi sehingga jika proses pertambangan gagal reklamasi masih bisa dijalankan.
Menurut Nalendra, ada empat poin yang harus dijalankan semua pihak agar melahirkan pertambangan yang ramah lingkungan, antara lain memperkuat penegakan hukum lingkungan, mewajibkan sertifikasi ESG (environmental, social, and governance) dan audit independen, mendorong hilirisasi dan teknologi bersih.
“Terakhir, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan tambang,” katanya.
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Published at
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Kontan
Published at
Ada Rencana Pemberian Insentif Hilirisasi, Emiten Batubara Berpotensi Diuntungkan
Reuters
Published at