Kaltimpost
Published at
July 14, 2025 at 12:00 AM
Ormas Atau Koperasi Minggir Dulu, Gubernur Kaltim Lebih Sreg Perusda yang Kelola Tambang Batu Bara
KALTIMPOST.ID, SAMARINDA-Kebijakan Kementerian ESDM yang membuka jalan bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dalam mengelola tambang batu bara dinilai berpotensi menimbulkan persoalan baru. Kekhawatiran itu diungkapkan Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud.
Politikus Golkar itu pun mengusulkan eks Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) agar dikelola badan usaha milik daerah (BUMD), bukan ormas atau koperasi. Seperti diketahui, regulasi mengenai negara yang memberikan karpet merah untuk badan usaha ormas keagamaan dalam mengelola tambang termaktub di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024.
Aturan ini merupakan perubahan dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, yang secara khusus memberikan prioritas kepada ormas keagamaan untuk mengelola wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Rudy menyatakan, penciutan izin konsesi tambang, hutan, maupun kebun, semestinya tidak serta-merta diberikan kepada ormas atau koperasi. Dia menilai, model ini kurang tepat. Bisa menimbulkan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam.
“Ormas ini ‘kan banyak, tidak hanya satu. Sama halnya dengan koperasi. Di Kalimantan Timur saja koperasinya ada 1.038 kooperasi. Jadi yang benar ini, hemat saya adalah melalui perusda. Nanti mereka disitu diakomodir untuk daerah-daerah yang terpapar," ungkapnya dalam rapat koordinasi Sinergi Daerah Penghasil Sumber Daya Alam untuk Menggali Potensi Dana Bagi Hasil Sektor Pertambangan dan Kehutanan Guna Penguatan Fisikal Daerah di Hotel Novotel Balikpapan, Rabu (9/7) lalu.
Rudy melanjutkan, pembagian wilayah pengelolaan tidak bisa dipukul rata tanpa mempertimbangkan lokasi dan dampak sosial ekonomi di sekitarnya. "Kan lucu ini, misalkan areanya ada di barat, sementara yang dikasi di bagian utara. Enggak ketemu saya rasa ini konsep ini. Maka konsep ini kita harus sama-sama sepakat, penciutan-penciutan, apakah itu IUP tambang, IUP kebun, ataupun IUP hutan, itu diberikan kepada perusahaan atau BUMD provinsi," tegasnya.
Dengan begitu, sebut dia, skema pengelolaan melalui perusda akan lebih terkoordinasi. Perusahaan daerah, dapat menyalurkan manfaat secara lebih merata, termasuk kepada koperasi maupun komunitas lokal yang terdampak langsung kegiatan pertambangan.
Lebih lanjut, gubernur juga menyampaikan kekhawatiran terhadap potensi konflik yang mungkin muncul apabila WIUPK diberikan kepada berbagai ormas. “Agama saja yang diakui negara ada enam, dan di bawahnya ada banyak cabang dan ormas. Belum lagi ormas kemasyarakatan, kepemudaan, dan kedaerahan. Ini bisa menjadi bom waktu,” imbuhnya.
Di forum itu, Rudy berharap pemerintah pusat mempertimbangkan ulang kebijakan yang telah ditetapkan. Menurutnya, pemberdayaan sumber daya alam harus dijalankan dengan sistem yang adil, terukur, dan berbasis pada kepentingan daerah.
“Saya kira ini harus menjadi catatan penting saat kebijakan ini dibahas lebih lanjut, baik di tingkat nasional maupun saat disampaikan kepada presiden,” katanya. Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Aji Sofyan Effendi mengungkapkan, ide pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan tidak tepat dan cenderung berisiko tinggi, baik dari sisi hukum maupun tata kelola.
"Saya sepakat seribu persen dengan pandangan pak gubernur. Dalam berbagai kesempatan, saya juga pernah menyampaikan kekhawatiran yang sama, termasuk saat muncul wacana pemberian izin tambang kepada kampus," ucapnya, Minggu (13/7).
Baik kampus maupun ormas keagamaan, lanjut dia, sejatinya tidak memiliki pengalaman dalam industri pertambangan. Ketidaksiapan ini dikhawatirkan akan menjadikan mereka sekadar perantara. Sementara operasional lapangan akan dijalankan oleh pihak ketiga yang berpotensi bermasalah.
"Akhirnya, ormas atau institusi tersebut hanya menjadi stempel formal. Konsesi tambang bisa saja jatuh ke tangan pemain lama yang bekerja di wilayah abu-abu, bahkan bisa menjadi pintu masuk bagi praktik-praktik mafia tambang," lanjutnya.
Aji menilai, industri batu bara memiliki risiko hukum yang tinggi dan tingkat resistensi sosial yang besar. Karena itu, keterlibatan pihak yang tidak memiliki kompetensi hanya akan memperbesar potensi pelanggaran dan kerugian.
Lebih lanjut, Aji menyoroti kiprah Bara Kaltim Sejahtera (BKS), perusda milik Pemprov Kaltim itu. Menurutnya, badan usaha itu hingga kini belum memiliki konsesi tambang yang dikelola secara mandiri. Sebaliknya, justru lebih banyak bergantung pada fee dari kerja sama dengan pihak ketiga.
“Padahal BKS bisa menjadi aktor utama dalam pengelolaan sumber daya tambang. Tapi selama ini peran mereka hanya sebatas penerima fee,” katanya.
Aji mendorong agar paradigma pengelolaan tambang oleh perusda diubah menjadi lebih profesional. Lebih afdal jika BKS dibekali dengan konsesi langsung dan ditopang oleh rencana bisnis yang matang agar dapat beroperasi secara mandiri.
“Dengan kapasitas yang dibangun secara serius, BKS bisa mengelola tambang sendiri, bukan hanya jadi mitra pasif. Ini juga akan berdampak langsung pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),” ucapnya.
Dalam konteks penerimaan daerah, Aji menyinggung persoalan Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor batu bara yang kerap tidak optimal. Apabila, perusahaan-perusahaan besar yang aktif beroperasi di sektor batu bara bisa bermitra langsung dengan perusda, maka dia menilai kontribusi terhadap daerah akan jauh lebih besar.
“Jangan hanya diberikan tambang-tambang yang sudah tidak produktif. Perusda harus dilibatkan dalam tambang aktif yang menguntungkan agar daerah benar-benar merasakan manfaat dari sumber daya yang dimilikinya,” tegasnya.
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Detik Kalimantan
Published at
7 Provinsi Penghasil Batu Bara Indonesia, Terbesar di Kalimantan
Tribun Kaltim
Published at
70 Persen Sumber Energi Indonesia Dipasok dari Kalimantan, Ekonomi dan Lingkungan Harus Seimbang
CNBC Indonesia
Published at