Business Insight
Published at
April 15, 2025 at 12:00 AM
Efisiensi Energi hingga Perang Dagang Membuat Ekspor Batubara RI ke China Menyusut
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah efisiensi energi China pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) termalnya, ditambah dengan sentimen lainnya akan berdampak langsung pada ekspor batubara dari Indonesia tahun ini. Padahal posisi China sangat strategis buat Indonesia lantaran menjadi pembeli batubara RI terbesar kedua setelah India.
China menerapkan standard baru pada pembangkit termal yang tujuannya mempromosikan penggunakan PLTU yang lebih hemat. Kebijakan ini, nyatanya sudah disampaikan sejak beberapa tahun lalu dan resmi diberlakukan pada 1 April 2025.
"Standar yang baru itu memang membuat konsumsi batubara turun dari yang rata-rata 300 gram per KWh, sekarang standar yang baru 250 gram per KWh," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa kepada KONTAN, akhir pekan lalu (11/4/2025).
Sebagai pembanding, di Indonesia, untuk menghasilkan 1 KWh rata-rata dbutuhkan 900 gram per KWh. Jika memakai kalau teknologi baru ultra super critical butuh 500 gram hingga 600 gram per KWh. Tentu kalau dibandingkan teknologi baru yang wajib diterapkan China perbedaannya cukup signifikan.
Seiring peraturan efisiensi energi di China tersebut, PLTU baru yang boleh dibangun oleh China harus memenuhi standard tersebut, yakni teknologi PLTU super critical dengan efisiensi mencapai 49%. Level efisien ini di atas PLTU super critical yang lain dengan tingkat efisiensi 45%-46%.
Implikasinya tentu besar. China merupakan konsumen batubara terbesar di dunia, sekaligus pemilik PLTU terbanyak di dunia. Terlebih, di sepanjang 2023-2024 jumlah PLTU di China terus bertambah.
Berdasarkan laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Tiongkok menyetujui 66,7 gigawatt (GW) kapasitas listrik baru berbahan bakar batubara pada 2024. Pada saat yang sama, 94,5 GW proyek listrik tenaga batubara baru mulai dibangun dan 3,3 GW proyek yang ditangguhkan melanjutkan pembangunan pada 2024.
Total PLTU batubara yang dibangun Tiongkok merupakan level tertinggi sejak 2015. Ini menandakan sejumlah besar pembangkit baru akan beroperasi dalam dua tahun hingga tiga tahun ke depan, yang semakin memperkuat peran batubara dalam sistem kelistrikan di sana.
Ditambah pula, China kini lebih agresif menambah pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Pada 2024, Tiongkok menambahkan kapasitas tenaga angin dan surya sebesar 356 GW atau 4,5 kali lipat dari penambahan Uni Eropa dan hampir setara dengan total kapasitas tenaga angin dan surya yang terpasang di AS pada akhir tahun.
"Jadi meski jumlah PLTU batubara naik, rasio pasokan listrik batubara di sistem pembangkit dan kelistrikannya turun," kata Fabby.
Bertepatan dengan efisiensi energi ini, ada hal lain yang akan memberatkan sentimen industri batubara dunia sepanjang 2025.
Pertama, China akan merasakan perubahan cuaca, yakni El Nino akan digantikan oleh La Nina. Alhasil akan lebih banyak hujan daripada cuaca kering. Tentu permintaan batubara di PLTU akan turun karena pemanfaatan energi hidro akan lebih besar.
Kedua, di tahun ini China punya target bauran EBT lebih tinggi dari sebelumnya sehingga pemanfaatan PLTU dibuat lebih fleksibel. Maksud dari fleksibel ini, China tetap mengedepankan pemanfaatan EBT, namun jika bermasalah PLTU akan digunakan kembali untuk menyeimbangkan pasokan listrik yang dibutuhkan.
Ketiga, perang dagang berimplikasi pada aktivitas industri atau bisnis sehingga bisa membuat ekonomi China tidak sekencang tahun-tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, kebutuhan energi tidak sebesar 2023 atau 2024.
Sentimen ketiga ini yang berimplikasi besar pada harga energi primer yang anjlok sejak awal tahun, tidak hanya batubara tetapi juga minyak.
"Trennya harga energi primer turun sehingga berdampak pada harga kontrak batubara yang sejak akhir tahun lalu mulai landai, yang saat ini sudah di bawah US$ 90 per ton," jelasnya.
Dari sekian banyak sentimen itu, ditambah juga dengan perang tarif antara Amerika dan China, Fabby mengakui akan ada kontraksi ekspor batubara dari Indonesia ke Tiongkok di sepanjang tahun ini.
IESR menyatakan, ekspor batubara Indonesia ke China akan menghadapi ketidakpastian dalam jangka panjang. Namun melihat periode waktu yang lebih sempit, di 2025 saja misalnya, jika situasi perdagangan memburuk ekspor batubara ke China bisa terpangkas 20%-30%.
Pelaku usaha juga melihat akan ada penurunan ekspor batubara ke China di tahun ini. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif APBI Gita Mahyarani menyatakan, sejauh ini untuk penurunan ekspor ke China memang sudah diprediksi.
"Tetapi kami belum dapat memprediksi apakah sampai ke 30% penurunannya. Jika dilihat di tiga bulan awal tahun ini ada penurunan ekspor ke China, tapi angka penurunanya tidak sampai 6%," ujarnya saat dihubungi terpisah.
Sampai saat ini untuk batubara yang sudah terkontrak, jual beli masih berjalan. Namun, kondisi makro ekonomi di China sedang sangat dinamis karena perang tarif. Semakin lama situasi ini berlanjut, akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi China juga.
Namun sejauh ini berdasarkan prediksi awal, kebutuhan ekspor batubara dari Indonesia ke China diestimasi sekitar 330 juta ton di sepanjang tahun 2025.
Permintaan global stagnan
Laporan terbaru International Energy Agency (IEA), setelah mencapai konsumsi batubara tertinggi di 2024, permintaan global terhadap komoditas ini diperkirakan stabil dalam beberapa tahun mendatang karena lonjakan pemanfaatan energi terbarukan di seluruh dunia.
Direktur Pasar Energi dan Keamanan IEA Keisuke Sadamori menyatakan, penerapan teknologi energi bersih yang pesat tengah membentuk kembali sektor kelistrikan global. Sebagai catatan, penggunaan batubara saat ini menyumbang dua pertiga dari total sumber energi kelistrikan global.
"Akibatnya, model kami menunjukkan permintaan global terhadap batubara akan mencapai titik jenuh hingga tahun 2027 meskipun konsumsi listrik meningkat tajam," ujarnya dalam laporan tersebut.
Di sebagian besar negara maju, permintaan batubara telah mencapai puncaknya dan diperkirakan akan terus menurun hingga 2027. Laju penurunan akan terus bergantung pada penerapan kebijakan yang kuat, seperti yang diterapkan di Uni Eropa, ketersediaan sumber daya energi alternatif, termasuk gas alam murah di Amerika Serikat dan Kanada.
Sementara itu, permintaan batubara masih meningkat di beberapa negara berkembang yang permintaan listriknya meningkat tajam seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi, seperti India, Indonesia, dan Vietnam.
Perdagangan batubara internasional berdasarkan volume telah mencapai rekor pada 2024. Jika melihat ke depan, volume perdagangan global akan menyusut, dengan batu bara termal mengalami penurunan terbesar.
Menurut laporan tersebut, Asia tetap menjadi pusat perdagangan batubara internasional, dengan semua negara pengimpor terbesar di kawasan tersebut, termasuk Tiongkok, India, Jepang, Korea, dan Vietnam, sementara eksportir terbesar termasuk Indonesia dan Australia.
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Published at
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Reuters
Published at
Adani Enterprises fourth-quarter profit drops on coal trading weakness
Ekonomi
Published at