Kompas
Published at
May 28, 2025 at 12:00 AM
Bisakah Hilirisasi Batubara Digendong Danantara?
Iming-iming insentif yang diiberikan pemerintah belum membuat program peningkatan nilai tambah atau hilirisasi batubara berjalan. Keterbatasan teknologi dan belum tercapainya keekonomian menjadi tantangan utama. Kini, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara coba diandalkan untuk mendanai proyek itu. Mampukah?
Berhasilnya hilirisasi pada nikel, meskipun baru level intermediate, mendorong pemerintah menggenjot upaya sama pada komoditas lain, termasuk batubara. Di antara sejumlah produk turunan batubara, dimetil eter (DME), yang membawa harapan besar. Pasalnya, DME bisa berfungsi layaknya elpiji, yang sebagian besar masih diperoleh dari impor.
Namun, nyatanya proyek hilirisasi, berupa gasifikasi batubara menjadi DME, belum berwujud. Proyek kerja sama PT Bukit Asam Tbk, PT Pertamina (Persero), dan perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products, itu sempat menjadi harapan. Namun, pada awal 2023, Air Products menyatakan mundur dan hingga kini belum muncul tanda-tanda penggantinya.
Di sisi lain, pemerintah telah memberi iming-iming insentif berupa royalti nol persen kepada pelaku usaha batubara, tetapi belum membuahkan hasil. Pada akhirnya, pemerintah membuka peluang dilanjutkannya program DME. Salah satu sumber modalnya ialah BPI Danantara.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo, mengatakan, jika ingin berjalan, faktor kemauan politik guna mendukung kemandirian energi mesti kuat. Ia menganalogikan pengeboran eksplorasi minyak dan gas bumi. Apabila tak didapat cadangan migas (dry hole), tak dianggap sebagai kerugian.
”Dari kaca mata riset, dry hole tidak rugi. Sebab, dari situ, bisa tracing ke sisi-sisi lain (untuk dieksplorasi). Konsep itu bisa dipakai (untuk DME) sebagai modal untuk kemandirian energi. Ibarat dana riset,” kata Singgih dalam Energi Mineral Forum 2025 yang digelar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan B-Universe, di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Sebaliknya, jika diletakkan hanya pada aspek keekonomian, proyek DME akan berat dijalankan oleh perusahaan-perusahaan batubara. Pendanaan dari pemerintah, menggunakan uang negara, juga tak mudah. Sebab, jika rugi, akan ada keharusan pertanggungjawaban yang melibatkan lembaga negara lain.
Menurut Singgih, Danantara pun akan hati-hati dalam mendanai proyek DME. ”Pada akhirnya, keekonomian akan dikalkulasi. Danantara akan memperhitungkan pendapatan yang relatif cepat, dengan risiko kecil,” katanya.
Ia menilai, yang saat ini krusial justru pengendalian produksi batubara. Penghitungan sumber daya dan cadangan batubara mesti berdasarkan klasifikasi kalori: rendah, menengah, atau tinggi. Dengan demikian, ada perincian kondisi ketersediaan batubara yang berkait dengan kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Menurut data Kementerian ESDM, pada 2023, produksi batubara mencapai 775,2 juta ton atau melebihi target yang sebanyak 694,5 juta ton. Sementara produksi pada 2024 ialah 836 juta ton pada 2024 atau di atas target yang 710 juta ton.
Mengacu data Badan Geologi, sumber daya batubara Indonesia menurun drastis dari 151,4 miliar ton pada 2018 menjadi 97,3 miliar ton pada 2023 atau turun 35 persen dalam 5 tahun terakhir. Itu disebabkan pengerukan batubara yang masif yang didorong permintaan dan relatif terjaganya harga batubara di global.
Perlu dimotori BUMN
Ketua Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menambahkan, di antara para pelaku usaha pertambangan batubara sepakat bahwa hilirisasi diperlukan. Namun, selain teknologi, diperlukan juga proyek percontohan yang berjalan sehingga dapat dilihat oleh swasta.
”Harus dicari pilot project yang berjalan. Kalau sekarang, kan, belum ada yang berjalan. Pemerintah bisa mengevaluasi. Untuk bisnis-bisnis belum ekonomis, perlu peran BUMN. Jadi, risiko turut ditanggung negara. Kalau sudah ekonomis, ya, oleh swasta,” ujarnya.
Ia menambahkan, ketahanan energi menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Namun, tambang perlu belajar dari industri migas Indonesia, yang sempat menjadi eksportir, tetapi kemudian berbalik bergantung pada impor. Oleh karena itu, segalanya mesti dipersiapkan dengan matang.
Hal itu penting guna menyikapi situasi pasar batubara terbaru. Saat ini, China dan India, sebagai dua negara utama importir batubara Indonesia, justru meningkatkan produksi dalam negeri masing-masing. Hal tersebut juga yang membuat harga batubara sudah mentok atau stagnan.
”Mereka (negara pengimpor batubara Indonesia) sudah berusaha untuk memproduksi di dalam negeri. Kini, momentum masih ada untuk optimalisasi (masa depan industri batubara Indonesia) sehingga diperlukan kerja keras dan kerja cerdas,” ujarnya.
Evaluasi proyek
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno menuturkan, pihaknya ”mengulik” potensi hilirisasi batubara lebih dalam. Dalam rapat dengan tim percepatan hilirisasi, diketahui ada dua proyek DME dengan tingkat pengembalian investasi (IRR) cukup baik.
Bahkan, ada perusahaan yang menawarkan dengan dana sendiri, tanpa perlu suntikan dana Danantara. ”Sedang dievaluasi tim hilirisasi. Mudah-mudahan tahun ini ada proyek yang masuk untuk hilirisasi batubara,” kata Tri, tanpa menyebut dua proyek DME potensial yang dimaksud.
Sementara itu, mengenai peluang Danantara turut mendanai proyek gasifikasi batubara menjadi DME, Tri tidak berkomentar banyak. ”Bagaimanapun, keekonomian menjadi hal penting,” ucapnya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, saat membuka Energi Mineral Forum 2025, menyatakan optimistis proyek batubara menjadi DME dapat diwujudkan. Supaya ekonomis, harga DME, dari batubara kalori rendah, dibuat lebih murah 10 persen dari harga acuan gas Saudi Aramco.
”Kita bikin ekonomis. Semua harus mendapat bagian, supaya pengusaha tambang dapat profit, negara bisa melakukan penyesuaian pengurangan subsidi (elpiji). Namun, isu kedaulatan energinya pun kita dapat (manfaat),” kata Bahlil.
DME dinilai perlu sebagai salah satu jalan pengurangan impor elpiji. Menurut data Kementerian ESDM, pada 2024, produksi elpiji nasional sebanyak 1,97 juta ton. Jumlah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional, sehingga diperlukan impor elpiji sebanyak 6,91 juta ton.
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Published at
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Bloomberg Technoz
Published at
Ada Donald Trump di Balik Kenaikan Harga Batu Bara
Kontan
Published at