Bloomberg Technoz
Published at
July 17, 2025 at 12:00 AM
Batu Bara RI Bisa Tak Kompetitif Jika Bea Keluar Dibuat Fleksibel
Bloomberg Technoz, Jakarta – Analis komoditas menilai tarif bea keluar (BK)—yang rencananya akan mulai dikenakan terhadap batu bara dan emas per 2026 dengan skema fleksibel — akan membuat harga jual batu bara Indonesia menjadi kurang kompetitif dari negara pesaing.
Walhasil, daya saing Indonesia di pasar global terancam saat harga batu bara sedang tinggi. Seharusnya, padahal, penambang bisa mendapat margin ekspor secara optimal.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia menjelaskan ketika harga batu bara tinggi dan dikenai BK, potensi alih pembeli ke negara lain meningkat, terutama untuk pasar yang sensitif terhadap harga batu bara seperti India, China, dan negara berkembang.
“Sehingga harga jual menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara pesaing seperti Australia, China, Afrika Selatan, Rusia, atau Kanada,” kata Liza dalam keterangannya, dikutip Rabu (16/7/2025).
Sebaliknya, ketika harga batu bara anjlok dan tidak dikenakan BK, maka perusahaan dapat bersaing secara harga. Sayangnya, saat harga batu bara di tingkat global rendah, permintaan akan cenderung melemah.
Liza menjelaskan kondisi tersebut juga dapat menekan volume ekspor dan mengurangi pangsa pasar Indonesia secara global.
Dia berpandangan batu bara global saat ini dalam kondisi kelebihan pasokan atau oversupply, saat dunia makin intensif beralih ke energi hijau.
Sementara itu, batu bara Indonesia yang di dominasi jenis termal kalor rendah bakal semakin kehilangan pasarnya.
Dia mencontohkan China dan India selaku pasar utama tujuan ekspor batu bara Indonesia telah memutuskan untuk mengurangi impor batu bara RI dan beralih ke batu bara berkadar energi tinggi dari Australia, Mongolia, Afrika Selatan, dan Tanzania demi seimbangkan suplai dan menjaga emisi.
Sentimen Negatif
Liza menilai perusahaan tambang seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO), hingga PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) yang mengandalkan ekspor hingga 70%—100% dari total penjualan akan terkena beban margin tambahan saat harga tinggi, karena bea keluar dikenakan.
“Daya saing global juga terganggu, sehingga ada risiko penurunan volume ekspor dan laba bersih,” ujarnya.
Sementara itu, untuk perusahaan yang fokus pada domestik dan hilirisasi seperti PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) akan minim berdampak karena PTBA memiliki porsi domestic market obligation (DMO) sebesar 53% dari total penjualan tahun 2024, dan 47% ekspor.
“Saat harga tinggi ekspor PTBA tetap terdampak bea keluar, tetapi ketika harga rendah, pengaruhnya netral karena bea dibebaskan,” imbuhnya.
Saat dimintai konfirmasi, ITMG menyebut masih akan mencermati kebijakan bea keluar tersebut.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan besaran tarif bea keluar akan dibuat secara “fleksibel”.
Artinya, jelas Bahlil, saat harga batu bara dan emas sedang tinggi, pemerintah bakal mengenakan bea keluar. Sebaliknya, jika harga komoditas tambang itu sedang anjlok, bea keluarnya akan dibebaskan.
“Kalau harganya lagi bagus, boleh dong sharing dengan pendapatan ke negara. Akan tetapi, kalau harganya belum ekonomis, ya jangan juga kita susahkan pengusaha,” kata Bahlil ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (14/7/2025).
Bahlil mengatakan bakal membuat aturan turunan hingga mengkaji harga keekonomian di pasar global sebelum mengajukan tarif bea keluar bagi komoditas tersebut.
“Itu nanti peraturan Menteri ESDM yang akan buat nanti,” ujarnya.
Panitia Kerja (Panja) Penerimaan di Komisi XI DPR RI pekan lalu mengusulkan agar batu bara dan emas mulai dikenakan bea keluar untuk menambah pundi-pundi negara dari lini kepabeanan.
Usulan tersebut termaktub di dalam Laporan Panitia Kerja Penerimaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024—2025 tertanggal 7 Juli 2025.
Di dalam bagian (d) poin ke-3 laporan tersebut dituliskan mengenai kebijakan untuk mendukung penerimaan negara yang optimal, salah satunya dengan “perluasan basis penerimaan bea keluar, di antaranya terhadap produk emas dan batu bara di mana pengaturan teknisnya mengacu pada peraturan Kementerian ESDM."
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menjelaskan laporan Panja Penerimaan tersebut mengalami sedikit perubahan soal target pendapatan negara dari yang sebelumnya disampaikan di dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026.
“[Hal] yang berubah hanya di [target] pendapatan negara, yaitu penerimaan perpajakan dalam segmen B, yaitu kepabeanan dan cukai dari batas bawah 1,18% [terhadap PDB] dan batas atasnya 1,21%, menjadi batas bawah tetap, batas atasnya berubah 1,30%. Selebihnya ini akan memengaruhi batas atas dari penerimaan negara secara total, yaitu 12,31%,” terangnya di dalam rapat kerja bersama Kementerian Keuangan di Komisi XI, Senin (7/7/2025).
Dengan perubahan target penerimaan negara dalam RAPBN 2026 sesuai usulan Panja tersebut, Misbakhun menjelaskan target batas atas penerimaan dari kepabeanan dan cukai naik sebesar 0,9%.
Komisi XI DPR menyatakan besaran tarif BK tersebut nantinya akan ditentukan oleh Kementerian ESDM sebelum diusulkan ke Kementerian Keuangan untuk ditetapkan ke dalam PMK. Hal ini karena ESDM lebih paham mengenai industri komoditas tersebut.
Batu bara selama ini hanya dikenai tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/2025 tentang Perubahan atas PP No. 15/2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
(mfd/wdh)
Source:
Other Article
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Published at
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Detik Kalimantan
Published at
7 Provinsi Penghasil Batu Bara Indonesia, Terbesar di Kalimantan
Tribun Kaltim
Published at
70 Persen Sumber Energi Indonesia Dipasok dari Kalimantan, Ekonomi dan Lingkungan Harus Seimbang
CNBC Indonesia
Published at