Berkah cadangan melimpah, batubara menjadi salah satu komoditas perdagangan strategis Indonesia di samping sebagai penopang ketahanan energi. Namun, dalam hal peningkatan nilai tambah atau hilirisasi, implementasinya masih jauh panggang dari api. Produk hilirisasi batubara yang ekonomis belum berwujud.
Asa sebenarnya muncul pada proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME) di Sumatera Selatan. Proyek kerja sama PT Bukit Asam Tbk, PT Pertamina (Persero), dan perusahaan asal Amerika Serikat Air Products itu guna menyubstitusi elpiji. Peletakan batu pertama proyek itu bahkan dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2022.
Namun, pada awal 2023, Air Products menyatakan mundur, baik pada proyek batubara ke DME di Sumsel maupun batubara ke metanol di Kalimantan Timur. Kemudian, sempat muncul kabar ketertarikan investor asal China untuk menggantikan Air Products, tetapi hingga saat ini tidak juga ada kejelasan.
Di sisi lain, pemerintah telah memberi iming-iming insentif berupa royalti nol persen kepada pelaku usaha batubara. Insentif itu dikenakan pada volume batubara yang digunakan dalam kegiatan hiliirisasi batubara. Namun, nyatanya batubara masih ”nyaman” untuk dijual mentah, terlebih harga batubara relatif terjaga baik dalam empat tahun terakhir.
Pada Senin (3/3/2025), setelah rapat tertutup di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pemerintah membuka kembali peluang dilanjutkannya proyek gasifikasi batubara menjadi DME. Kali ini, menurut rencana, salah satu sumber modalnya ialah Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Pertambangan memang menjadi salah satu sektor prioritas dalam program hilirisasi.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai, proyek DME dari batubara cukup berat untuk dilakukan. Sebab, pengembangan DME bukan sebatas belanja modal (capital expenditure). Bukan juga masalah teknologi semata, yang bisa saja dijawab melalui kolaborasi dengan China atau negara lain.
”Dalam DME, kita harus memperhitungkan beberapa hal dari hulu sampai hilir, di antaranya kemudahan fiskal dan nonfiskal tambang batubara, harga batubara meskipun dalam UU Cipta Kerja diberikan nol persen royalti, fluktuasi impor elpiji, dan teknologi DME yang masih dikuasai negara lain,” kata Singgih, Selasa (11/3/2025).
Berkaca pada kompleksitas itu, Singgih berpendapat kurang pas jika proyek DME harus dibiayai oleh Danantara, apalagi jika harus memastikan dapat keuntungan besar. Apabila harga batubara dinilai sesuai harga pasar atau bahkan di level biaya pertambangan, masih ada risiko. Bisa saja kelak harga impor elpiji lebih rendah dari biaya produksi DME.
Menurut dia, jika proyek DME tetap bakal diupayakan, seharusnya diletakkan sebagai langkah membangun kemandirian energi Indonesia ke depan. ”Pembiayaan riset memang harus dari pemerintah, bukan Danantara,” ujarnya.
Proyek strategis
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi Bahlil Lahadalia, di Jakarta, Senin (3/3/2025), menyebut, ada sekitar 21 proyek strategis terkait hilirisasi yang akan dipercepat, di antaranya pembangunan storage minyak mentah, kilang, dan pabrik DME.
Menurut rencana, pabrik DME disiapkan di 3-4 provinsi secara paralel. Adapun sejumlah wilayah yang disasar menjadi lokasi antara lain Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan (Kompas.id, Selasa, 4/3/2025).
”Sekarang kita tidak butuh investor. Negara lewat kebijakan Bapak Presiden memanfaatkan sumber daya dalam negeri. Yang kita butuh dari mereka adalah teknologinya. Jadi, hari ini teknologi yang kita butuh. Uangnya, belanja modal dari pemerintah dan swasta nasional. Kemudian, bahan bakunya dari kita, penampungnya pun dari kita. Jadi, saya pikir, kali ini enggak ada ketergantungan kepada pihak lain,” tutur Bahlil.
Pengembangan DME ditujukan untuk menggantikan elpiji. Sebab, tren impor elpiji terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2023, produksi elpiji di Indonesia hanya 1,98 juta ton atau jauh di bawah kebutuhan nasional yang 8,8 juta ton. Kondisi defisit itu harus ditutupi dengan impor elpiji, yang meningkat dari tahun ke tahun. Dari 5,57 juta ton pada 2018 menjadi 6,9 juta ton pada 2023.
DME dan metanol (gasifikasi) sebenarnya bukan satu-satunya produk peningkatan nilai tambah batubara. Hilirisasi batubara juga dapat dilakukan untuk sejumlah produk akhir lain. Proses underground coal gasification, misalnya, dapat menghasilkan amonia. Kemudian, cokes making menghasilkan semikokas dan coal tar. Di samping itu, ada pula pemrosesan batubara menjadi briket.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengatakan, perusahaan batubara masih dalam tahap studi kelayakan dalam proyek hilirisasi. Hilirisasi batubara pun terbagi dalam beberapa jenis. Terpenting, agar peningkatan nilai tambah berjalan, proyek perlu disesuaikan dengan nilai keekonomisan.
”Implementasinya juga harus tetap mempertimbangkan aspek keekonomian agar berkelanjutan,” ujar Gita.
Sementara mengenai gasifikasi batubara menjadi DME, kata Gita, masih menantang. ”Hingga kini belum ada contoh keberhasilan industri DME yang terbukti secara keekonomisan. Jadi, perlu juga kajian lebih lanjut,” lanjutnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan, keekonomian setiap jenis mineral berbeda, begitu juga pada batubara sehingga tak bisa disamaratakan. Bicara ekonomis tidak bisa hanya untuk 1-2 tahun, tetapi jangka panjang sehingga penting untuk memastikan harga jual yang kompetitif.
”Tidak hanya Indonesia, negara-negara produsen batubara lain pun belum menganggap (DME) ekonomis. Yang sudah lumayan menggunakan itu China, tetapi tak bisa langsung jadi barometer. Sebab, beberapa hal berbeda, termasuk dalam hal insentif. Kalau Australia, India, atau produsen lain, teknologinya belum ke sana,” ujarnya (Kompas.id, 25/11/2024).
Bahan baku baterai
PT Bukit Asam (PTBA) justru tengah mengembangkan peningkatan nilai tambah di luar DME, yakni menjadi artificial graphite dan anode sheet. Keduanya sebagai bahan baku baterai, terutama baterai lithium ion. Peluncuran perdana proyek percontohan telah dilakukan di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 15 Juli 2024.
”Produk hilir batubara lain yang juga sedang dikembangkan PTBA adalah asam humat. Penelitian dan pengembangan batubara kalori rendah menjadi asam humat dilakukan PTBA bersama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM),” ujar Sekretaris Perusahaan PTBA Niko Chandra melalui wawancara tertulis.
Peluncuran prototipe asam humat, yang mampu meningkatkan kesuburan tanah bagi tumbuhan, telah dilakukan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) Peranap, Indragiri Hulu, Riau, 12 Desember 2024. Saat ini prototipe tersebut akan dikembangkan lebih lanjut untuk menuju pilot project.
Relatif terjaganya harga membuat produksi batubara Indonesia—negara eksportir terbesar—meroket dan terus mencatatkan rektor dan selalu di atas target. Pada 2023, produksi batubara mencapai 775,2 juta ton atau melebihi target 694,5 juta ton. Sementara produksi pada 2024 ialah 836 juta ton pada 2024 atau di atas target yang 710 juta ton.
Mengacu data Badan Geologi, sumber daya batubara Indonesia menurun cukup drastis dari 151,4 miliar ton pada 2018 menjadi 97,3 miliar ton pada 2023 atau turun 35 persen dalam 5 tahun terakhir. Kondisi itu disebabkan pengerukan batubara yang masif yang didorong permintaan dan relatif terjaganya harga batubara di pasar global.
Sementara itu, cadangan batubara Indonesia pada 2023 sebanyak 31,7 miliar ton, lebih rendah dari posisi pada 2018 yang 39,9 miliar ton.
Sumber daya batubara mencakup total batubara yang mengendap atau berada di perut bumi. Sementara cadangan berarti bagian dari sumber daya batubara yang dapat ditambang secara ekonomis.
Bagaimanapun, peningkatan nilai tambah batubara perlu terus diupayakan disertai kajian yang komprehensif dan matang. Di sisi lain juga mesti berkelanjutan. Di samping kepastian pasar, perbaikan iklim investasi juga menjadi aspek penting yang tak boleh terlupakan. Semua itu guna mendukung perekonomian sekaligus kemandirian energi nasional.