Tayang pada
25 Juli 2025 pukul 00.00
Koordinasi Kebijakan Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia menghadiri Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersama sejumlah perusahaan tambang batubara. Forum ini merupakan bagian dari upaya memperkuat koordinasi lintas kementerian dan sinergi dengan pelaku usaha dalam menyukseskan agenda hilirisasi dan efisiensi tata niaga batubara nasional.
Asisten Deputi Pengembangan Mineral dan Batubara Kemenko Perekonomian, Herry Permana, dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha dalam menghadapi tantangan sektor energi, khususnya subsektor minerba. Ia menyampaikan bahwa integrasi data produksi dan ekspor menjadi kunci untuk menjaga kontribusi sektor batubara terhadap perekonomian nasional, terlebih di tengah ketidakpastian global.
Herry juga menyoroti pentingnya hilirisasi melalui proyek-proyek besar seperti gasifikasi dan pengembangan kawasan industri terpadu. “Pembangunan smelter saja bisa mencapai USD 3,8 miliar. Tapi jika proyek ini berjalan konsisten selama 60 tahun, nilai ekonominya bisa berlipat hingga USD 120 miliar,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor minerba memerlukan dukungan kebijakan yang selektif dan insentif yang tepat sasaran, sembari mengingatkan pentingnya menciptakan nilai tambah dalam negeri. “Kalau kita ekspor langsung, sama saja kita ekspor air,” katanya, mengacu pada karakter batubara Indonesia yang berkalori rendah dan kadar air tinggi.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal APBI-ICMA, FH Kristiono, menyampaikan berbagai tantangan yang tengah dihadapi oleh industri batubara nasional. Ia menyebut bahwa mayoritas perusahaan anggota APBI telah menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) melalui praktik pertambangan yang baik. Namun di sisi lain, industri menghadapi tekanan dari berbagai arah termasuk ketidakpastian regulasi seperti wacana perubahan masa berlaku RKAB, fluktuasi harga global, dan penurunan ekspor akibat transisi energi di negara tujuan.
APBI juga menyoroti potensi dampak dari kebijakan pengenaan bea keluar serta kenaikan biaya operasional akibat implementasi biodiesel B40. Menurut Kristiono, kebijakan-kebijakan tersebut dapat mempengaruhi daya saing ekspor Indonesia di pasar-pasar sensitif seperti Asia Tenggara. “Dengan margin perdagangan yang semakin tipis, penambahan beban seperti ini berisiko menggerus kompetitivitas kita,” ujarnya.
Terkait hilirisasi, APBI menekankan bahwa investasi yang dibutuhkan sangat besar, sementara teknologi dalam negeri masih terbatas, dan sinkronisasi regulasi antar sektor belum optimal. Untuk itu, Kristiono mendorong pemerintah agar menyusun roadmap hilirisasi berbasis wilayah, dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan kesiapan infrastruktur masing-masing daerah. “Tidak bisa disamakan antara Sumatera dan Kalimantan, apalagi jika pusat industri tetap terpusat di Jawa,” jelasnya.
Masalah logistik dan infrastruktur juga menjadi perhatian. Ketimpangan akses dan hambatan distribusi, seperti di wilayah Lahat maupun keterbatasan jalan tambang di Jambi, turut memperberat upaya pemenuhan kebutuhan domestik dan realisasi hilirisasi.
Sebagai bagian dari industri, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) turut memaparkan inisiatif strategis perusahaan dalam mendukung agenda hilirisasi nasional. Di antaranya melalui pengembangan produk turunan batubara seperti Graphite Sintetis, Asam Humat, SNG DME, hingga Metanol produk yang sejalan dengan kebutuhan energi dan industri nasional. PTBA juga mencatat potensi besar pasar metanol domestik sebagai peluang untuk memperkuat kemandirian energi.
Dari sisi keberlanjutan, PTBA telah mereklamasi lebih dari 1.100 hektare lahan hingga pertengahan 2024 dengan total investasi mencapai Rp403 miliar. Kawasan pascatambang Tanjung Enim kini telah berkembang menjadi pusat edukasi dan wisata tambang, yang mencakup Botanical Garden, Museum Batubara, serta showcase praktik pertambangan berkelanjutan. Selain itu, PTBA juga tengah mengembangkan 10 titik Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk mendukung ekspansi energi bersih dan efisiensi operasi.
Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Enim turut menjadi bagian dari strategi jangka panjang PTBA untuk membangun ekosistem hilirisasi yang lebih terintegrasi, sekaligus menjawab tantangan keekonomian proyek di tengah dinamika pasar global.