Tayang pada
14 Juli 2025 pukul 00.00
Kepatuhan Lingkungan demi Masa Depan Berkelanjutan, Jadi Sorotan APBI-ICMA Roadshow Edisi Kalimantan
Samarinda, 10 Juli 2025 - Gelaran hari kedua APBI Roadshow Kalimantan 2025 menghadirkan diskusi yang sarat makna, menyoroti peran strategis industri tambang dalam menjawab tuntutan keberlanjutan lingkungan dan arah kebijakan transisi energi nasional. Dengan mengangkat tema “Peran Perusahaan Pertambangan Batubara dalam Menjalankan Kepatuhan Lingkungan dan Mendukung Keberlanjutan”, forum ini mempertemukan para pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang untuk menggali tantangan sekaligus solusi.

Salah satu isu sentral yang mengemuka adalah pelaksanaan reklamasi dan penempatan jaminan pascatambang (Jamrek & JPT). Dalam sesi pemaparannya, Salman Alfarisi Putra, Inspektur Tambang dari Direktorat Teknik dan Lingkungan, Ditjen Minerba, menjelaskan bahwa sejak diterbitkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020, kewenangan pengelolaan jaminan tersebut telah beralih sepenuhnya ke pemerintah pusat. Namun, hingga akhir 2024, masih terdapat perusahaan di tingkat nasional termasuk 80 perusahaan di Kalimantan Timur yang belum menempatkan jaminan sebagaimana diatur. Ia menegaskan bahwa kepatuhan terhadap aspek ini bukan sekadar administrasi, tetapi mencerminkan integritas perusahaan dalam menjaga lingkungan pascatambang.

Sementara itu, pengalaman dari pelaku industri di lapangan turut memberikan gambaran yang lebih menyeluruh. Rd. Agah Wahyu Nugraha, Ketua Forum Kepala Teknik Tambang (KTT) Kalimantan Timur, menyampaikan bahwa banyak perusahaan sebenarnya telah menyerahkan dokumen rencana reklamasi tepat waktu, namun belum mendapatkan hasil evaluasi yang jelas. Dalam beberapa kasus, proses ini bisa berlangsung lebih dari dua tahun. Ia menyoroti bahwa kondisi tersebut menyulitkan, terlebih ketika sanksi administratif dijatuhkan tanpa adanya konfirmasi status dokumen. Di tengah kondisi seperti ini, para KTT menjadi pihak yang paling terdampak.
Agah menekankan pentingnya keadilan struktural dalam pelaksanaan pengawasan tambang. Menurutnya, para KTT telah menjalankan tugas sesuai prosedur, namun tetap harus menanggung risiko dari proses yang berada di luar kendali mereka. Ia mengajak agar perlindungan terhadap profesi KTT diperkuat, karena peran mereka tidak hanya teknis, tetapi juga strategis dalam menjamin keselamatan dan keberlanjutan operasional tambang.

Pandangan serupa juga disampaikan Ignatius Wurwanto, Ketua Forum Reklamasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang (FRHLBT), yang menyoroti pentingnya komunikasi dua arah yang efektif antara perusahaan dan regulator. Ia menilai bahwa keterlambatan dalam pemberian umpan balik terhadap dokumen yang telah diserahkan justru menciptakan ketidakpastian, padahal perusahaan berupaya untuk patuh. Ia berharap proses penilaian bisa berjalan lebih terbuka dan terstruktur, demi menciptakan hubungan yang saling mendukung.
Tantangan lain yang turut diangkat dalam forum ini adalah ketidaksinkronan antar dokumen perencanaan, seperti Amdal, feasibility study (FS), dan rencana reklamasi. Hal ini menjadi semakin kompleks ketika menyangkut wilayah yang masuk kawasan hutan. Penilaian dari sisi kehutanan kerap tidak sejalan dengan pendekatan teknis pertambangan, sehingga membutuhkan penyelarasan regulasi yang lebih adaptif. Menurut Wurwanto, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saat ini tengah menyusun pedoman baru berbasis kriteria kehutanan, namun harmonisasi dengan kondisi di lapangan tetap menjadi kunci keberhasilannya.

Menanggapi persoalan tersebut, Dr. Irdika Mansur, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menekankan pentingnya sistem yang memungkinkan komunikasi yang adil dan transparan. Ia mengingatkan bahwa niat baik perusahaan untuk patuh seharusnya tidak terhambat oleh tumpang tindih regulasi atau prosedur yang membingungkan. Dalam pandangannya, penyederhanaan proses bukan berarti menurunkan standar, melainkan menciptakan kepastian dan efektivitas dalam pelaksanaannya.
Meski berbagai tantangan diidentifikasi, forum ini juga menjadi ajang berbagi terobosan yang telah dijalankan sejumlah perusahaan. Salah satunya adalah pemanfaatan spesies tanaman lokal seperti meranti, nyamplung, kayu putih, dan shorea balangeran dalam kegiatan revegetasi. Pendekatan ini tidak hanya lebih sesuai dengan ekosistem setempat, tetapi juga memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar. Di samping itu, muncul pula usulan untuk membagi tanggung jawab evaluasi dengan penataan lahan dilakukan oleh ESDM, dan revegetasi oleh KLH sebagai bentuk penyederhanaan tanpa mengurangi kualitas pengawasan.
Upaya membangun tata kelola lingkungan yang transparan juga semakin diperkuat melalui pelaksanaan audit lingkungan sukarela. Salman Alfarisi menjelaskan bahwa beberapa perusahaan telah mulai menjalankan audit yang mencakup aspek teknis dan keuangan, khususnya efektivitas penggunaan dana reklamasi. Lebih dari sekadar pemenuhan kewajiban, audit ini menjadi sarana untuk melibatkan publik dan memperkuat akuntabilitas perusahaan.
Seiring dengan itu, adopsi teknologi juga mulai menjadi bagian dari transformasi di sektor tambang. Pemanfaatan satelit untuk pemantauan, digitalisasi peta pit dan disposal, serta pelaporan elektronik menjadi instrumen penting dalam mendukung proses audit dan transparansi. Inisiatif ini juga menjadi langkah awal yang strategis dalam peralihan status perizinan, termasuk dari PKP2B ke IUPK.
Melalui pendekatan yang lebih kolaboratif dan berbasis data, audit lingkungan kini dipandang bukan lagi semata alat pengawasan, tetapi sebagai bagian dari strategi keberlanjutan jangka panjang. Di tengah dinamika kebijakan dan meningkatnya ekspektasi publik, pendekatan ini dinilai mampu menjadi jembatan antara regulasi dan realita lapangan sekaligus menciptakan landasan kuat bagi industri tambang yang bertanggung jawab dan adaptif terhadap perubahan.