Kompas
Tayang pada
2 Juni 2025 pukul 00.00
Tantangan Keberlanjutan Batubara dan Ekonomi Pascatambang
Di tengah melimpahnya cadangan batubara, khususnya jenis kalori rendah, Indonesia dibayangi terus menurunnya permintaan ekspor sebagai dampak situasi global. Ancaman ketidakberlanjutan batubara bisa berdampak pada aspek sosial, ekonomi, bahkan lingkungan. Pengendalian produksi batubara dinilai krusial.
Beberapa tahun terakhir, produksi batubara Indonesia terus meningkat dan mencatatakan rekor, yakni 775,2 juta ton pada 2023 dan 836 juta ton pada 2024. Hal itu dipengaruhi relatif terjaganya harga batubara internasional serta meningkatnya permintaan ekspor, terutama dari China dan India.
Akan tetapi, sejak awal 2025, harga batubara menurun, bahkan sempat di bawah 100 dollar AS per ton. Hal itu dipengaruhi kebijakan China dan India yang memilih meningkatkan produksi dalam negeri ketimbang mengimpor. Sementara lebih dari 60 persen batubara Indonesia mengandalkan pasar ekspor.
Sementara itu, berdasarkan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2024, umur cadangan batubara Indonesia menurun. Dari 71,47 tahun pada 2020 menjadi 43,93 tahun pada 2024. Hal itu akibat peningkatan laju produksi yang tidak diimbangi penambahan cadangan baru.
Namun, Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengkritisi penghitungan itu. Menurut dia, penghitungan umur cadangan batubara mesti diklasifikasikan berdasarkan kualitas atau tingkat kalorinya, yakni rendah, menengah, dan tinggi. Dengan demikian, pemetaan lebih rinci terkait dengan kebutuhan batubara domestik dan ekspor.
”Kita tidak bisa mengatakan (usia batubara) 43,9 tahun. Berbahaya jika terjebak dengan itu. (Dikhawatirkan) nanti demand domestik tidak ketemu dan ekspor pun tidak bisa. Pengendalian (produksi) itu harus,” ujar Singgih pada diskusi kelompok terarah terkait batubara yang digelar Investor Trust, di Jakarta, Rabu (28/5/2025).
Menurut data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, cadangan batubara Indonesia sekitar 31,7 miliar ton dengan kalori 4.000 kcal per kilogram GAR dominan dengan 73 persen. Sementara 6.000 kcal per kg GAR tersisa 5 persen, kalori 5.000 kcal per kg GAR tersisa 8 persen, dan sisanya 3.000 kcal per kg GAR, serta kualitas lain.
Menurut Singgih, saat ini tidak ada alasan fundamental yang bisa kembali menaikkan harga batubara secara signifikan. Oleh karena itu, pengendalian produksi batubara penting. Sebab, jika tidak, kondisi pasar batubara bisa semakin lesu yang dapat berdapak pada sosial, ekonomi, dan lingkungan di daerah tambang.
”Apalagi jika India dan China terus menaikkan produksi (dan berdampak pada serapan batubara Indonesia). Nanti bisa berdampak pada PAD (pendapatan asli daerah di wilayah tambang). Selain itu, juga pada lingkungan karena tidak ada (dana) fresh liquid yang bisa mem-backup lubang-lubang tambang (isu lingkungan),” tuturnya.
Ia menambahkan, berbicara batubara dan perannya bagi kedaulatan energi di Indonesia berkaitan dengan kemampuan Indonesia dalam berkompetisi. Hal tersebut perlu dipikirkan di tengah tantangan situasi global, termasuk negara-negara lain dalam menyikapi transisi energi.
Energi dan komoditas
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Surya Herjuna menuturkan, saat ini peran batubara masih besar, baik untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) maupun untuk industri pupuk dan semen. Ia pun berharap nilai ekonomi batubara masih bertahan hingga waktu lama.
Ia juga menyebut batubara ibarat dua mata pisau. ”Sebagai sumber energi dan sebagai sumber komoditas. Jadi, sebagai energi sekaligus kontributor bagi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kita. Tahun lalu saja sudah sampai Rp 140 triliun (untuk PNBP),” ujar Surya.
Dalam transisi energi, lanjut Surya, perlu dipahami jika batubara kini masih menjadi sumber energi yang paling murah. Untuk itu, yang didorong ialah peningkatan nilai tambah serta pemanfaatan batubara untuk pembangkit-pembangkit listrik yang lebih rendah emisi.
”Pemerintah memiliki strategi yang memang harus clear terkait keberlangsungan batubara. (Di antaranya terkait) jaminan ketahanan energi dan nilai tambah ekonomi domestik, termasuk penurunan emisi karbon melalui implementasi penangkapan, penyimpanan dan utilisasi karbon (CCUS), serta hilirisasi yang bersiih,” ujarnya.
Surya menambahkan, pemerintah berupaya memastikan prinsip-prinsip keadilan sosial, pemerataan, serta keterjangkauan energi tetap menjadi prioritas dalam setiap kebijakan. Hal itu bagian dari upaya mewujudkan transisi energi yang adil bagi semua pihak, baik industri maupun masyarakat luas.
Direktur Center for Sustainability Universitas Islam Internasional Indonesia Hanafi S Guciano mengemukakan, kegiatan pascatambang menjadi hal penting, tetapi acapkali dilupakan ketika ada narasi untuk mematikan tambang. Ada dampak ekonomi sosial, bahkan lingkungan, yang besar jika tidak disiapkan secara optimal.
Satu daerah yang perekonomiannya bergantung pada tambang bisa menjadi ”kota hantu” jika aktivitas pertambangan berhenti tanpa ada persiapan. ”Petambang rata-rata merupakan pendatang sehingga saat tambang ditutup, mereka akan pulang. Sementara warga lokal ekonominya bergantung dari situ,” ucapnya.
Di sisi lain, reklamasi lahan tambang juga berpotensi tidak optimal karena anggaran perusahaan sudah jauh menyusut. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi matang, bertahap, dan berkeadilan dalam menutup tambang. Termasuk pelatihan keterampilan di bidang lain. Selain itu, akan dibutuhkan biaya yang besar.
Harga fluktuatif
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menuturkan, terkait teknologi dalam rangka menekan emisi pada batubara, masih ada tantangan besarnya biaya. ”Sebetulnya, sudah ada mekanisme pasar karbon (perdagangan karbon), tetapi kelihatannya belum bergerak signifikan. Dari lahan reklamasi, sebenarnya menjanjikan (untuk nilai ekonomi karbon), tetapi mungkin harganya belum menarik,” ujarnya.
Dalam mendukung keberlanjutan batubara, saat ini, serapan pasar ekspor tengah menantang. Penurunan produksi yang didorong rendahnya permintaan pasar pada triwulan I-2025 menjadi tantangan dan perhatian. Produksi nasional batubara pada 2025 diperkirakan lebih rendah daripada di 2024.
Permintaan batubara Indonesia dari China dan India sangatlah menurun. ”Mereka sepertinya sudah membaca tentang stok sehingga batubara mereka itu sudah lebih banyak. Seperti Imlek (tahun baru China) kemarin, seharusnya mereka (China) membutuhkan banyak, tetapi ternyata tahun ini tidak,” kata Gita.
Sebagai catatan, pada 2022 harga batubara internasional sempat mencapai 400 dollar AS per ton. Setelah itu, cenderung menurun. Menurut Gita, semakin lama harga batubara semakin fluktuatif. Bahkan, saat ini, harga batubara mencapai 100 dollar AS per ton saja sudah disyukuri oleh pengusaha.
Sumber:
Artikel Lainnya
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Tayang pada
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Tayang pada
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Bloomberg Technoz
Tayang pada
Ada Donald Trump di Balik Kenaikan Harga Batu Bara
Kontan
Tayang pada