Valid News
Tayang pada
17 Desember 2025 pukul 00.00
Tanpa Subsidi Pemerintah, Gasifikasi Batu Bara Masih Tidak Ekonomis
JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menilai, faktor keekonomian masih menjadi persoalan mendasar yang menghantui proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Buktinya, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang sedang menggarap studi kelayakan 18 proyek hilirisasi menyatakan butuh subsidi dari pemerintah supaya gasifikasi batu bara bisa dijalankan.
Kucuran subsidi untuk gasifikasi batu bara menjadi DME, sambungnya, bukan sebuah jawaban atau solusi supaya proyek tersebut bisa dijalankan. Artinya, subsidi untuk DME tidak akan mengurangi beban APBN yang selama ini terus diupayakan akibat tingginya subsidi untuk LPG.
"Memberikan subsidi pada DME pada dasarnya tidak mengurangi beban APBN, hanya mengganti jenis komoditas yang disubsidi," jelas Bisman saat berbincang dengan Validnews, Jakarta, Selasa (16/12).
Pemberian subsidi pun menurutnya tak serta merta membuat harga DME menjadi lebih rendah daripada mengimpor LPG. Dengan demikian, proyek itu bisa dibilang tetap tidak ekonomis sampai saat ini.
"Ini tidak menjamin harga DME lebih rendah dari LPG tanpa intervensi fiskal. Jadi, beban fiskal tidak hilang, hanya bergeser bentuknya," tuturnya.
Bisman tak menampik teknologi pemrosesan batu bara memang terus berkembang dari tahun ke tahun. Tetapi, perkembangan teknologi itu tidak otomatis menurunkan biaya produksi dan kemudian membuat DME menjadi produk yang kompetitif.
Pemerintah dari kacamata Kementerian ESDM memang punya kepentingan untuk mendorong agenda hilirisasi. Namun dari perspektif industri, investor tetap menilai berdasarkan payback period, risiko pasar, serta harga jual.
Produksi DME Batu Bara Lebih Mahal Dari Impor LPG
Bisman menjabarkan biaya produksi DME bakal tetap lebih mahal dari impor LPG. Pasalnya, DME punya rantai proses yang panjang dan kebutuhan energi yang besar, serta biaya operasi yang tinggi.
"Inti persoalannya masih sama, yaitu keekonomian proyek. Gasifikasi batu bara menjadi DME adalah proyek dengan modal dan investasi tinggi, sementara LPG harganya relatif murah karena impor dan disubsidi," katanya.
Apalagi, pengembangan hilirisasi batu bara menjadi DME punya sederet tantangan, terutama dari sisi risiko lingkungan. Pada konteks transisi energi, proyek DME punya risiko mendapat tekanan global karena dianggap bukan energi bersih.
"Lalu dari aspek ekonomi terkait kepastian pasar dan permintaan, ada juga potensi adanya perubahan kebijakan insentif," tambah Bisman.
Info saja, proyek DME jadi salah satu agenda yang paling disorot di antara 18 proyek hilirisasi yang tengah dikaji oleh Danantara Indonesia. Pra-feasibility study (Pra-FS) ke-18 proyek itu pun sudah diserahkan Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional ke meja Danantara Indonesia beberapa waktu lalu.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ahmad Erani Yustika menerangkan saat ini kajian kelayakan proyek-proyek hilirisasi strategis, termasuk gasifikasi batu bara, masih dilakukan oleh Danantara Indonesia.
Kementerian ESDM, sambung Erani, belum mendengar adanya usulan spesifik soal subsidi untuk proyek hilirisasi tertentu, dalam hal ini gasifikasi batu bara menjadi DME.
Tapi yang jelas, Danantara Indonesia dia sebut telah meminta seluruh pihak terkait agar melihat lebih detail soal kajian proyek hilirisasi, baik dari sisi bahan baku, pasar dalam negeri, maupun pasar ekspor.
"Lalu, lokasi investasi di dalam negeri dan banyak yang lain, itu masih diberikan masukan kepada Danantara dan nanti akan disesuaikan dengan hasil kajian FS yang sudah dikerjakan oleh Danantara," jabar Erani saat ditemui di Kantor Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Senin (15/12).
Belum Ada Pembahasan Subsidi Hilirisasi Batu Bara
Erani menegaskan, belum ada pembahasan dari Danantara Indonesia untuk mensubsidi proyek hilirisasi batu bara. Tapi, dia mengakui ada beberapa proyek yang ketika dijalankan harus ada dukungan atau fasilitasi kebijakan dari pemerintah.
"Tapi kita musti melihat terlebih dahulu apa yang sudah dianalisis Danantara, karena itu belum spesifik disampaikan. Nanti barangkali Pak Rosan dan Pak Bahlil menyampaikan itu ke Presiden," tegasnya.
Terpisah, Senior Director Oil & Gas and Petrochemical Danantara Indonesia Wiko Migantoro mengatakan dari hasil kajian yang dilakukan, produk DME butuh subsidi dari pemerintah, sama halnya seperti Liquefied Petroleum Gas (LPG).
"Sekarang LPG juga subsidi kan? Gambarannya sih kira-kira nanti sama, memerlukan subsidi juga," ucap Wiko seperti dikutip Antara, Kamis (11/12).
Karena itu, Danantara Indonesia terus mempercepat FS gasifikasi batu bara menjadi DME. Nantinya, hasil FS bakal dikomunikasikan bersama Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang dipimpin oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Sejauh ini, Danantara melihat proyek gasifikasi batu bara membtuhkan dukungan dari pemerintah. Subsidi bisa disebut sebagai satu-satunya cara menjalankan proyek yang dibangga-banggakan Presiden Ke-7 Joko Widodo itu.
"Tentu saja diperlukan banyak dukungan dari pemerintah, agar kelak DME ini bisa kurang lebih sama dengan LPG yang sekarang," lanjut Wiko.
Dirinya menyebut, keterjangkauan harga (affordability) bagi masyarakat dan keinginan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) jadi kunci utama untuk menjalankan proyek hilirisasi batu bara menjadi DME.
Karena itu, Danantara Indonesia menilai pengembangan hilirisasi batu bara menjadi DME butuh subsidi demi menciptakan keterjangkauan harga produk tersebut.
Sumber:
Artikel Lainnya
Liputan 6
Tayang pada
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Tayang pada
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Tayang pada
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Tayang pada