Bisnis
Tayang pada
11 September 2025 pukul 00.00
Subsidi Energi Fosil Jadi Penghambat Terbesar Transisi Energi Asia
Bisnis.com, JAKARTA — Subsidi energi fosil menjadi pengganjal terbesar dalam adopsi energi bersih di kawasan Asia. Tanpa pemangkasan subsidi dan peningkatan investasi pada jaringan listrik, transisi energi terancam.
Chief Financial Officer untuk Asia perusahaan energi terbarukan Portugal EDP Renewables, Lawrence Wu, menyoroti pembatalan lelang energi hijau dan keberlanjutan subsidi untuk industri energi fosil sebagai hambatan terbesar bagi pertumbuhan investasi energi bersih, di tengah lonjakan permintaan listrik akibat maraknya pembangunan pusat data.
“Batu bara masih terus disubsidi dan energi secara umum dipakai sebagai alat politik untuk meraih suara. Dan saya rasa itu penghalang terbesar,” kata Wu dalam konferensi APPEC di Singapura, dikutip dari Reuters, Rabu (10/9/2025).
Sejumlah ekonomi besar Asia, termasuk Indonesia dan India, masih memberikan insentif untuk penggunaan batu bara dengan alasan menjaga tarif listrik tetap terjangkau. Negara-negara ini juga membela ketergantungan pada energi fosil dengan dalih rendahnya emisi per kapita. Nitin Apte, CEO Vena Group, perusahaan energi berbasis di Singapura yang dimiliki General Infrastructure Partners, mengatakan pihaknya melipatgandakan pembangunan proyek energi terbarukan di Asia untuk memenuhi lonjakan permintaan.
Namun mereka menegaskan bahwa kebijakan merupakan hambatan utama, alih-alih teknologi. “Kalau kami tahu izin butuh empat tahun dan langkahnya jelas, kami bisa menghitung risikonya. Masalah muncul ketika sebuah lelang sudah dijalankan lalu dibatalkan, atau perjanjian jual beli listrik tidak layak dibiayai,” ujar Apte.
Sebagai contoh, Taiwan tahun ini membatalkan dua lisensi pembangkit angin lepas pantai setelah proses peninjauan, sementara India dalam dua tahun terakhir telah membatalkan tender energi terbarukan sebesar 11,4 gigawatt (GW) dengan alasan, salah satunya, tingginya tarif penawaran. Apte menambahkan, pusat data mendorong lonjakan permintaan listrik di kawasan, tetapi tidak serta merta untuk energi terbarukan.
“Saya tidak yakin mereka [pusat data] peduli pada intensitas karbon. Mereka hanya butuh energi,” katanya. Malaysia, salah satu pasar pusat data terpanas di Asia Tenggara, justru meningkatkan produksi listrik berbasis batu bara dan mengimpor bahan bakar tersebut dalam jumlah yang menyentuh rekor karena memanfaatkan harga yang rendah.
Kedua eksekutif menekankan bahwa keterlambatan perizinan meningkatkan biaya pembiayaan, sehingga dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang jelas dan konsisten.
Wu menambahkan, EDP Renewables kini menggandakan investasi di Jepang dan Australia yang menurutnya memiliki risiko berkelanjutan dan dapat ditanggung perusahaan. “Butuh beberapa tahun untuk sepenuhnya mengembangkan sebuah proyek, tetapi kami bisa memprediksi dengan tingkat kepastian yang tinggi apa yang akan terjadi,” kata Wu, seraya menambahkan bahwa kepastian kebijakan membantu menekan biaya pembiayaan dan modal.
Sumber:
Artikel Lainnya
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Tayang pada
2 Kabar Baik Hari ini: Harga Batu bara Naik, China Balik ke RI Lagi
CNBC Indonesia
Tayang pada
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Bloomberg Technoz
Tayang pada
5 Proyek Hilirisasi Bukit Asam (PTBA), Tak Cuma DME Batu Bara
Detik Kalimantan
Tayang pada