Tempo
Tayang pada
20 Mei 2025 pukul 00.00
Senjakala Industri Batubara. Sampai Kapan?
JEBLOKNYA harga batu bara sejak akhir tahun lalu membuat J sejumlah pengusaha pada sektor tersebut di dalam negeri harus bersiasat untuk bertahan. Salah satunya adalah PT Manambang Muara Enim (MME) yang memutuskan tidak meningkatkan kapasitas produksi batu bara hingga akhir tahun ini.
Direktur Utama PT MME Haryanto Damanik menyebutkan salah satu faktor yang melandasi keputusan tersebut adalah stok batu bara yang kini oversupply. "Peningkatan produksi tidak akan selaras dengan kebutuhan industri dalam negeri ataupun untuk ekspor," kata Haryanto kepada Tempo melalui jawaban tertulis, Rabu, 14 Mei 2025.
Kelebihan pasokan batu bara tersebut, menurut Haryanto, tak lepas dari dua negara importir utama batu bara dari Indonesia, yakni Cina dan India, yang tengah menggenjot produksi domestiknya. Hal itu tecermin dari penurunan volume ekspor kepada dua negara ini yang terus turun dalam tiga tahun terakhir.
Sebagai konsumen batu bara terbesar di dunia, posisi kedua negara ini menjadi penentu harga di pasar global. "Tren harga akan mengikuti permintaan dari pasar domestik mereka," ujar Haryanto.
Selama ini pasar tujuan ekspor utama PT MME adalah Cina dan India dengan porsi 60 persen dari total produksi. Kemudian 25 persen untuk pasar dalam negeri dan sisanya diekspor ke sejumlah negara lain di Asia Tenggara.
Namun kontraksi harga batu bara global sejak akhir 2024 kemudian berimbas pada produksi PT MME sepanjang kuartal pertama 2025. Haryanto mengatakan total produksi batu bara dari perusahaannya hanya 23 persen dari target 39 persen per akhir Mei 2025. "Produksi kami tahun ini akan tetap sebesar 2,8 juta ton seperti tahun lalu," tutur Haryanto.
Sepanjang lima bulan pada awal 2025 ini, harga batu bara di pasar global masih menunjukkan tren penurunan. Konsisten turun sejak akhir 2024, kini harga batu bara berada di US$ 98,528 per ton. Harga tersebut anjlok signifikan dari harga pada akhir Desember 2024 yang sebesar US$ 124,71 per ton atau turun 14,5 persen secara tahunan.
Padahal, mengutip Trading Economics, sepanjang Desember 2024 hingga Mei 2025, harga batu bara tertinggi sempat menyentuh US$ 117 per ton. Namun harga komoditas itu terus merosot hingga pekan kedua April 2025 yang menyentuh US$ 94,25 per ton. Kemudian mulai merangkak naik mendekati US$ 100 per ton pada pekan kedua Mei 2025.
Dengan harga batu bara di pasar global yang terus anjlok, pemerintah menetapkan harga batu bara acuan (HBA) per Mei 2025 sebesar US$ 120 per ton. Artinya, terdapat selisih antara harga global acuan di atas dan HBA di kisaran US$ 20 per ton.
Namun, Haryanto mengatakan, disparitas harga ini membuat ketidakseimbangan di pasar batu bara. Selisih harga tersebut juga sangat terasa untuk jenis batu bara 4.600-6.500 GAR. "Sebanyak 30 persen produsen dalam negeri memproduksi batu bara kadar ini," katanya.
Hal senada disampaikan oleh Chief Operating Officer PT Ucoal Sumberdaya Fhary Kristiono. Ia menyebutkan tren penurunan harga menggerus margin keuntungan, terlebih bagi penambang yang mengandalkan batu bara berkalori tinggi untuk pasar ekspor. "Harga yang paling banyak turun justru batu bara dengan kalori di atas 4.100 GAR," ujarnya saat dihubungi, Rabu, 14 Mei 2025.
Saat ini, kata Fhary, pasar global lebih memburu batu bara dengan tingkat kalori rendah karena harganya lebih murah. Terutama bagi Cina dan India yang mengandalkan batu bara berkalori 4.100 GAR ke bawah untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap. "Penjualan batu bara kalori rendah masih bagus. Cina, misalnya, kini lebih memilih batu bara berkalori 3.400 GAR karena harganya lebih murah dan bisa di-blending," katanya.
Di tengah tekanan harga global, menurut Fhary, pemerintah seharusnya memberlakukan kebijakan moderat. Namun yang terjadi sebaliknya karena sepanjang kuartal pertama tahun ini pengusaha mendapat beban tambahan, seperti kenaikan royalti, pencabutan subsidi B40, dan target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga 25 persen dari batu bara.
"Kami seolah kehabisan napas. Kebijakan-kebijakan seperti HBA yang dijadikan harga minimum, PNBP yang naik 25 persen, hingga ketentuan domestic market obligation (DMO) yang disertai denda sangat menyulitkan," ujarnya. Ia menyebutkan beberapa pengusaha saat ini mulai mengurangi produksi karena biaya operasional tidak sebanding dengan keuntungan yang akan diperoleh.
Kebijakan DMO-minimal 25 persen dari produksi batu bara dan harus disalurkan ke dalam negeri, terutama untuk pembangkit listrik, industri semen, dan gas-juga menyulitkan pengusaha. Jika tak terpenuhi, eksportir bisa dikenai denda hingga US$ 10 per ton dan sanksi larangan ekspor.
Sementara itu, skema royalti terbaru mengacu pada harga batu bara HBA serta kualitas kalori. Makin tinggi harga dan kalori, makin tinggi pula persentase royalti. Untuk batu bara dengan HBA di atas US$ 100, misalnya, pemegang izin usaha pertambangan bisa dikenai royalti hingga 28 persen.
Pemerintah menetapkan HBA kalori 6.322 GAR untuk periode pertama Mei 2025 sebesar US$ 120 per ton. Harga ini berada di atas rata-rata harga pasar global yang sebesar US$ 98-102 per ton. "Ini mencerminkan perbedaan dinamika antara metode penetapan HBA dan kondisi riil pasar global," ucap pelaksana tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Penambang Batu Bara Indonesia, Gita Mahyarani.
Gita menjelaskan, perbedaan harga HBA dengan harga batu bara di pasar global menyulitkan negosiasi ekspor. Untuk HBA Mei 2025, misalnya, selisih harga dengan indeks internasional mencapai US$ 16-22 per ton. "Pembeli banyak yang mengacu pada indeks pasar global yang lebih responsif," tutur Gita.
Jomplangnya selisih HBA dengan harga global juga terlihat pada batu bara dengan kalori 4.100 GAR ke atas yang dikenai tarif royalti lebih besar. Kebijakan fiskal seperti ini, menurut Gita, kian menambah beban industri. "Tarif royalti masih mengacu pada HBA yang belum mencerminkan kondisi pasar. Hal ini berpotensi menekan profitabilitas di tengah harga jual yang melemah."
Penambang pun menghadapi beban lain, seperti pencabutan subsidi B40 dan kenaikan royalti. Gita mencontohkan, ongkos angkut membengkak menjadi Rp 3.000 per ton sejak pemerintah menghapus kebijakan subsidi biodiesel. "Sementara itu, perusahaan tidak bisa memilih titik pasokan paling efisien. Ini sangat membebani biaya produksi," ujarnya.
Dari sisi ekspor, Gita menyebutkan, volume ekspor batu bara Indonesia sepanjang Januari-April 2025 hanya mencapai 150 juta ton. Jumlah ini turun 12 persen dibanding tahun lalu. Penurunan ini terjadi akibat peningkatan produksi batu bara domestik di dua pasar utama: Cina dan India. Keduanya kini berfokus memperkuat ketahanan energi dalam negeri.
Cina, misalnya, mencatatkan produksi batu bara domestik sebesar 4,76 miliar ton pada 2024 dan menargetkan 4,82 miliar ton pada 2025. Sementara itu, India mencatatkan produksi 1,36 miliar ton pada 2024 dan menargetkan produksi hingga 1,4 miliar ton pada 2025. "Ini menjadikan keduanya bukan hanya importir utama, tapi juga dua produsen batu bara terbesar di dunia," kata Gita.
Tak hanya itu, masuknya batu bara murah dari Rusia juga memperketat persaingan di pasar Asia. "Rusia agresif masuk ke pasar Cina dan India sejak dikenai sanksi oleh negara Barat, menambah tekanan bagi eksportir Indonesia," tuturnya.
Meski demikian, Gita optimistis peluang Indonesia masih sangat terbuka. Dia mengatakan proyeksi permintaan batu bara dari India dan Cina pada 2025 masing-masing mencapai 192,1 juta ton dan 326,8 juta ton. "Ini menunjukkan bahwa kebutuhan impor tetap tinggi, terutama untuk jenis batu bara tertentu yang tidak bisa sepenuhnya dipenuhi produksi domestik mereka," ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association Hendra Sinadia pun optimistis harga batu bara akan membaik hingga akhir tahun ini. Meski saat ini harga cenderung turun, bukan berarti secara keseluruhan industri sedang lesu. "Angka permintaan terhadap batu bara dunia justru terus meningkat."
Soal fluktuasi harga, menurut Hendra, tak bisa dipungkiri sebagai bagian alami dari pasar komoditas. Ia mencontohkan, harga batu bara bahkan sempat menyentuh angka US$ 200-300 per ton pada 2022, lalu mulai turun pada 2024 meskipun masih bertahan di atas US$ 100 per ton. "Kalau dibanding pada 2020 yang hanya sekitar US$ 60 per ton, harga saat ini sebenarnya masih tergolong tinggi," katanya.
Selain itu, permintaan batu bara global, terutama untuk PLTU, masih menunjukkan tren positif. Negara-negara seperti Cina dan India-dua konsumen batu bara terbesar dunia-masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi utama. "Produksi mereka memang naik sehingga mengurangi impor. Tapi kebutuhan dalam negerinya juga meningkat. Itu sebabnya pasar batu bara di Indonesia tetap kuat," tutur Hendra.
Tempo sudah menghubungi pelaksana harian Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tri Winarno, sejak Kamis pekan lalu. Namun, hingga berita ini terbit, belum ada respons. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama ESDM Sunindyo Suryo Herdadi juga belum merespons permintaan konfirmasi.
Sebelumnya, Menteri Energi Bahlil Lahadalia mengatakan kebijakan HBA dalam transaksi ekspor bertujuan menjaga daya saing harga jual batu bara Indonesia di pasar internasional. Dia mengatakan pengusaha yang tidak mematuhi HBA akan dikenai sanksi berupa pencabutan izin ekspor. "Kalau tidak mau (mengacu HBA), ya, tidak usah dibuat izin ekspornya. Masak, harga batu bara kita ditentukan oleh negara lain," ucap Bahlil dalam jumpa pers capaian Kementerian ESDM pada Senin, 3 Februari 2025.
Sebelum ada ketentuan HBA, harga batu bara Indonesia mengacu pada beberapa indeks, seperti Indonesia Coal Index. Sepanjang 2024, ekspor batu bara Indonesia mencapai 555 juta ton, meningkat setiap tahun.
Bahlil menilai batu bara Indonesia memiliki pengaruh besar di pasar global, mengingat dari total konsumsi batu bara dunia sebesar 8-8,5 miliar ton, hanya 1,5 miliar ton yang diperdagangkan secara internasional. Jika harga terus ditekan, kata dia, Indonesia bisa mempertimbangkan pengetatan ekspor. "Kalau harga kita ditekan terus, tidak menutup kemungkinan kita berpikir lain," ujarnya kala itu.
Sumber:
Artikel Lainnya
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Tayang pada
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Tayang pada
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Bloomberg Technoz
Tayang pada
Ada Donald Trump di Balik Kenaikan Harga Batu Bara
Kontan
Tayang pada