Kompas
Tayang pada
25 April 2025 pukul 00.00
Peta Jalan Transisi Energi Hadapi Tantangan Pembiayaan
JAKARTA, KOMPAS — Peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan Indonesia baru-baru ini diresmikan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2025. Peraturan baru ini sayangnya dinilai belum memberikan kemudahan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batubara yang paling mencemari lingkungan.
Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang keluar pasar pada Selasa (15/4/2025) ini mengatur peta jalan transisi energi untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Dalam Pasal 2, ada sembilan langkah yang diatur kementerian untuk mempercepat transisi dari energi fosil ke energi yang ramah lingkungan.
Langkah itu antara lain mempercepat pengakhiran dan pembatasan pembangunan PLTU, implementasi penggunaan biomass cofiring di PLTU, retrofitting atau upaya pengurangan energi fosil pada pembangkit fosil, pengembangan pembangkit listrik nuklir, termasuk akselerasi pembangkit energi baru dan terbarukan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira ditemui usai acara diskusi bertema ”Mengapa Ketergantungan Gas Fosil Menghambat Transisi Energi?”, di Jakarta, Kamis (24/4/2025), menjelaskan, peraturan ini menambahkan tiga prioritas pengakhiran PLTU dari tujuh poin yang sebelumnya diatur Peraturan Presiden No 112/2022.
Ketiga prioritas itu meliputi keandalan sistem dengan bobot 13 persen, dampak kenaikan biaya 10 persen, dan penerapan transisi energi berkeadilan 10 persen.
Indikator lainnya antara lain kapasitas dan usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca PLTU, nilai tambah ekonomi, serta ketersediaan dukungan pendanaan dan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri. Dari indikator yang sudah ada sebelumnya, Bhima menyoroti, bobot ketersediaan pendanaan yang paling besar, yakni 27 persen. Sementara faktor usia dan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan hanya dinilai masing-masing 4 persen dan 9 persen.
”Cara berpikirnya adalah semua harus menggunakan dana segar. Padahal, kalau menutup PLTU karena dia berdampak ke keuangan negara bukannya menghemat, ya. Justru kita menghemat keuangan negara dengan menutup lebih cepat. Itu artinya, ketersediaan dana yang porsinya terlalu besar membuat seolah-olah pemerintah mengandalkan dana eksternal,” katanya.
Di sisi lain, kriteria percepatan pensiun dini berdasarkan ketersediaan pendanaan yang besar, menurut Bhima, juga tidak menjamin investasi yang masuk untuk transisi energi bisa mempermudah pensiun dini PLTU. ”Meskipun ada dana, belum tentu akan ada transisi energi karena kriteria lainnya. Misal, jangan dong dimatiin PLTU-nya, energi terbarukan yang gantiin memang siap,” ujarnya.
Orientasi pemerintah yang mengandalkan pendanaan luar untuk transisi energi ke depan, menurut dia, juga riskan. Alasannya, dengan kondisi ekonomi global saat ini yang pertumbuhannya diperkirakan melambat, Indonesia akan berat mengerjakan peta jalan tersebut. Bhima menyarankan pemerintah menggunakan dana internal dengan menekan kerugian negara dan menggunakan dana APBN dan bank BUMN.
Kebutuhan investasi
Technical Specialist Just Energy Transition Partnership (JETP), Putu Indy Gardian, ditemui di acara sama, menyebut, Indonesia membutuhkan investasi sekitar 100 miliar dollar AS untuk transisi energi. Sejauh ini, JETP telah menggalang komitmen pendanaan dari negara-negara maju, antara lain Jepang, Kanada, hingga Inggris, senilai 21 miliar dollar AS.
Dana itu antara lain akan disalurkan ke proyek pembangunan jaringan transmisi dan pembangunan pembangkit energi baru dan terbarukan, misalnya biomassa, pembangkit tenaga surya, pembangkit tenaga angin, panas bumi, kecuali pembangkit berbasis gas.
Dana yang menjadi komitmen negara luar itu juga masuk untuk menutup PLTU. ”Ini termasuk untuk membiayai pensiun dini PLTU Cirebon I,” ungkapnya.
Terbitnya Permen ESDM No 10/2025, dia melanjutkan, positif bagi rencana pensiun dini PLTU berkapasitas 650 megawatt itu. Ini termasuk positif pula untuk rencana investasi proyek transisi energi lain yang telah direncanakan dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) 2023.
”Peta jalan ini setidaknya memberikan dasar hukum untuk aktivitas ini, termasuk aktivitas penghentian aktivitas PLTU, kan, berarti sudah diatur dalam permen. Jadi, ada cantolan hukumnya,” ujar Putu.
Keluarnya Amerika Serikat dari kelompok negara-negara yang berkomitmen dalam JETP, menurut Putu, menjadi tantangan bagi Indonesia. Sebab, ada komitmen pendanaan sebelumnya yang harus dibatalkan. Namun, pendanaan yang masuk dari negara lain kemungkinan dapat bertambah. Dalam hal ini, ia belum bisa menyampaikan lebih lanjut.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah, khususnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri BUMN Erick Thohir atas penerbitan peta jalan transisi energi.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam rilis pers, Rabu (23/4/2025), mengatakan, permen ini menjadi dasar hukum penting yang mulai sekarang akan memandu pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Ia juga menekankan bahwa regulasi ini membuka peluang percepatan pensiun PLTU dengan tetap mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, biaya listrik, dan prinsip transisi energi yang berkeadilan.
Berdasarkan kajian IESR, 72 PLTU batubara dengan total kapasitas 43,4 gigawatt perlu dipensiunkan pada periode 2022-2045 untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celsius.
Pada periode 2025-2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional terhadap 18 PLTU berkapasitas total 9,2 GW. Ini terdiri dari 8 PLTU milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU milik pembangkit swasta (4,2 GW).
Kajian IESR ini juga telah mempertimbangkan faktor yang sesuai dengan yang tercantum dalam Permen ESDM No 10/2025 dalam mempercepat pengakhiran operasional batubara, seperti usia dan kapasitas pembangkit, keekonomian proyek, serta dampak lingkungan, terutama keluaran emisi gas rumah kaca.
IESR memperkirakan biaya pensiun dini PLTU mencapai 4,6 miliar dollar AS hingga tahun 2030 dan 27,5 miliar dollar AS hingga 2050. Sekitar dua pertiga atau 18,3 miliar dollar AS berasal dari PLTU milik swasta, dan sepertiga atau 9,2 miliar dollar AS berasal dari PLTU milik PLN.
Meski biaya awal pensiun PLTU tergolong besar, manfaat jangka panjangnya dari penurunan biaya kesehatan, dan subsidi PLTU mencapai 96 miliar dollar AS pada 2050.”Dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang tidak efisien, mahal, dan menyebabkan polusi udara akut milik PLN bisa berasal dari APBN. Namun, dananya yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus dipakai untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik. Ini serupa dengan memindahkan dana dari kantong kiri ke kanan,” kata Fabby.
Fabby menambahkan, sembari menunggu masa pensiun PLTU, pengoperasian PLTU secara fleksibel dapat dilakukan untuk mendukung integrasi energi terbarukan, khususnya surya dan angin. Pendekatan ini akan mengubah sistem operasi tenaga listrik, di mana PLTU akan beroperasi mengikuti pola pembangkit intermiten, dalam batas teknis yang aman bagi sistem. Dengan cara ini, penetrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan dapat meningkat secara signifikan.
Sumber:
Artikel Lainnya
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Tayang pada
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Tayang pada
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Reuters
Tayang pada
Adani Enterprises fourth-quarter profit drops on coal trading weakness
Ekonomi
Tayang pada