Bisnis Indonesia

Tayang pada

19 Desember 2025 pukul 00.00

Menanti Jalan Tengah Polemik Lahan Tambang

Bisnis.com, JAKARTA — Polemik saling klaim antara perusahaan tambang pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan masyarakat yang masih terjadi perlu penanganan serius dari pemerintah.

Terlebih, persoalan izin pakai kawasan hutan yang kian marak berujung pada kerusakan yang masif. Di sisi lain, sektor ekstraktif seperti pertambangan masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Berkaca pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan komoditas mineral dan batu bara yang melimpah, seperti nikel, tembaga, bauksit, timah, emas, perak, besi, dan batu bara.

Selama semester I/2025, produksi batu bara nasional mencapai 357,6 juta ton atau 48,34% dari target produksi tahun 2025 sebesar 739,67 juta ton. Pasokan batu bara nasional itu dialokasikan untuk ekspor sebesar 238 juta ton, memasok 45% kebutuhan listrik dunia.

Sejalan dengan itu, kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertambangan masih tinggi dengan menyumbang sekitar 8,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman mengungkapkan bahwa polemik saling klaim antara perusahaan tambang pemegang IPPKH dan masyarakat banyak terjadi di beberapa provinsi seperti di Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.

“Pemerintah pusat harus turun tangan agar polemik tersebut tak berlarut-larut, dan pemerintah pusat [juga] harus mengawal IPPKH yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan,” kata Ferdy, dikutip Kamis (17/12/2025).

Dia menekankan bahwa Indonesia memang masih kaya potensi sumber daya alam. Namun, dibutuhkan kepastian hukum dengan penegakan aturan sebagaimana mestinya.

Kawasan hutan, imbuhnya, adalah milik negara sehingga tidak ada yang bisa memanfaatkannya tanpa mengantongi izin dari negara. Termasuk jika ada masyarakat yang melakukan klaim memiliki legalitas atas wilayah hutan, Ferdy menilai, hal itu merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan.

Hal itu berbeda dengan jika klaim tersebut berada di area penggunaan lain (APL), yang merupakan wilayah di luar kawasan hutan negara yang ditetapkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan.

“Seperti pertanian, permukiman, industri, hingga infrastruktur, adalah zonasi tata ruang di Indonesia di mana kegiatan non-kehutanan bisa dilakukan, berbeda dengan Kawasan Hutan yang fungsinya untuk konservasi dan produksi hasil hutan,” tuturnya.

Setali tiga uang, Ketua Bidang Mineral Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) M. Toha menjelaskan bahwa industri tambang memberikan dampak positif signifikan seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat serta daerah melalui pajak/royalti, pengembangan infrastruktur (jalan, komunikasi) di wilayah terpencil, penyediaan bahan baku untuk industri lain, serta peningkatan ekonomi nasional melalui ekspor dan investasi.

“Sektor pertambangan bisa meningkatkan kesejahteraan, membuka akses, dan menggerakkan pertumbuhan ekonomi, namun memerlukan pengelolaan berkelanjutan agar manfaatnya maksimal dan dampak negatifnya minimal,” katanya.

Namun, Toha menegaskan bahwa wilayah hutan adalah mutlak milik negara. Jika lahan terdapat di kawasan hutan, imbuhnya, maka status lahan milik negara.

“Jika perusahaan sudah mengantongi IPPKH, kemudian diklaim oleh masyarakat sebagai tanah adat atau tanah ulayat, kalau berada di kawasan hutan maka klaim itu melanggar aturan perambahan hutan,” kata Toha.

Menurut dia, sesuai dengan perundang-undangan, kawasan hutan tidak bisa dimiliki perorangan. Di kawasan hutan yang ada IPPKH nya, kata dia, jika ada yang memiliki sertifikat maka itu melanggar hukum. Pemilik sertifikat maupun yang menerbitkan bisa dipidana, karena secara hukum di dalam kawasan hutan tidak boleh dikeluarkan sertifikat.

Dia tidak menampik bahwa salah satu isu terbesar yang mengancam kepastian hukum di sektor pertambangan adalah tumpang tindih lahan (overlapping) antara Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan hak guna lainnya (HGU perkebunan), serta terkait dengan masalah IPPKH yang kemudian diklaim oleh masyarakat.

Adapun, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang melibatkan Kementerian ESDM dalam upaya mengembalikan penguasaan negara terhadap kawasan hutan yang dimanfaatkan tanpa izin.

Hingga kini, Satgas PKH menguasai kembali 3.312.022,75 hektare kawasan hutan, dengan 915.206,46 hektare di antaranya telah diserahkan kepada kementerian terkait.

Pembinaan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) atau Tambang Ilegal

Pemerintah berencana membina pertambangan ilegal yang selama ini marak terjadi di Indonesia. Terlebih, tambang emas ilegal dapat menghasilkan hingga 200 ton per tahun.

Kementerian ESDM mencatat, terdapat 2.741 lokasi PETI di Indonesia sepanjang tahun 2022, yang bergerak di sejumlah komoditas, mulai dari batu bara, logam, dan non-logam.

Tercatat, sebanyak 447 tambang ilegal berstatus di luar WIUP, dan sebanyak 132 tambang ilegal di dalam WIUP.

Sementara itu, sebanyak 2.132 tambang ilegal tidak diketahui datanya, dan sebanyak 2.741 tambang ilegal itu tersebar di 28 provinsi pada 2021.

Secara terperinci, tambang ilegal paling banyak berada di Jawa Timur, yakni 649. Kemudian, disusul Sumatra Selatan sebanyak 562 tambang ilegal, di Jawa Barat dan Jambi masing-masing sebanyak 300 dan 178. Ada pula 159 tambang ilegal yang berada di Nusa Tenggara Timur.

Sementara itu, tambang ilegal di Banten dan Kalimantan Barat berturut-turut sebanyak 148 dan 84. Di sisi lain, Kementerian ESDM tak mencatat keberadaan tambang ilegal di enam provinsi, yakni Aceh, Bali, Jakarta, Kalimantan Selatan, Riau, dan Sulawesi Selatan.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Resvani mengungkapkan bahwa praktik pertambangan tanpa izin (PETI) turut merugikan pengusaha.

Dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Rabu (10/12/2025), dia menjelaskan bahwa PETI memiliki karakteristik wilayah, yang umumnya berada di dalam wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) aktif.

Kemudian, terdapat juga PETI di dalam WIUP bekas pencabutan atau terminasi. Selain itu, terdapat juga PETI yang berlokasi di luar WIUP.

Resvani menyebut, PETI yang berada di dalam WIUP aktif, jelas merugikan pengusaha tambang pemegang WIUP itu sendiri. Apalagi, jika perusahaan pemegang WIUP itu telah menerapkan good mining practice.

“Tambang yang legal apalagi yang layak diapresiasi, yang melaksanakan good mining practice sangat terganggu. Bagaimana tidak, dari sisi cadangannya berkurang. Kedua, dari sisi kewajiban lingkungan, kalau ada bukaan [lahan], bukan tambang ilegal yang harus bayar reklamasi, tapi pemegang WIUP,” kata Resvani.

Dia juga menuturkan bahwa para pelaku PETI di dalam WIUP biasanya melakukan pertambangan secara serampangan, sehingga membuat cadangan mineral atau batu bara lain di wilayah itu sukar diambil kembali.

Oleh karena itu, dia mendukung Ditjen Gakkum Kementerian ESDM dan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan (Satgas PKH), khususnya Satgas Halilintar untuk memberantas PETI.

Kendati demikian, dia mengingatkan pemerintah harus tetap hati-hati dan melakukan perhitungan matang dalam menumpas PETI.

Resvani menyebut, umumnya PETI melibatkan masyarakat lokal sebagai pekerja. Oleh karena itu, saat PETI diberantas, masyarakat itu bakal kehilangan pekerjaan.

Di sisi lain, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, rencana pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap PETI bukan solusi.

Menurut dia, rencana Kemenko Perekonomian untuk membina pertambangan ilegal yang selama ini marak terjadi di Tanah Air sama saja dengan melegalkan hal yang ilegal.

“Legalisasi tambang ilegal jelas bukan solusi. Tambang yang legal saja pengawasan pemerintah masih lemah, apalagi mengurus tambang yang skala kecil tapi banyak,” kata Bhima kepada Bisnis, Senin (15/12/2025).

Bhima juga menyebut, biaya pengawasan untuk memperkecil dampak kerusakan lingkungan dengan pendapatan dari tambang skala kecil tidak sebanding. “Apakah tambang itu bisa memenuhi kewajiban reklamasi? Kan pasti tidak bisa,” tuturnya.

Dari segi ekonomi, kata Bhima, legalisasi tambang ilegal bisa memicu oversupply bijih mineral dengan kualitas yang berbeda-beda. Hal itu juga malah berpotensi membuat smelter merugi.

Di sisi lain, pengusaha tambang RI juga rugi lantaran harga bisa anjlok. Bhima pun mengingatkan salah satu solusi memberantas tambang ilegal sebaiknya dengan konsep ekonomi restoratif.

Konsep ekonomi restoratif adalah model ekonomi yang berfokus pada pemulihan ekosistem dan lingkungan yang rusak serta peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

“Solusinya memang bukan dengan legalisasi, tapi mencari alternatif pendapatan para penambang ilegal itu, misalnya dengan konsep ekonomi restoratif, mendukung transisi pekerjanya ke sektor perkebunan dan perikanan dengan fasilitas yang lebih baik,” jelas Bhima.

Liputan 6

Tayang pada

19 Desember 2025 pukul 00.00

19/12/25

1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam

Bisnis Indonesia

Tayang pada

19 Desember 2025 pukul 00.00

19/12/25

10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi

IDX Channel.com

Tayang pada

19 Desember 2025 pukul 00.00

19/12/25

10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?

METRO

Tayang pada

19 Desember 2025 pukul 00.00

19/12/25

10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia

CNBC Indonesia

Tayang pada

19 Desember 2025 pukul 00.00

19/12/25

10 Perusahaan Tambang RI Paling Tajir Melintir, Cuannya Gak Masuk Akal

Alamat Sekretariat.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Email Sekretariat.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Situs web dibuat oleh

Alamat Sekretariat.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Email Sekretariat.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Situs web dibuat oleh

Alamat Sekretariat.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Email Sekretariat.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Situs web dibuat oleh