Business Insight
Tayang pada
1 Agustus 2025 pukul 00.00
Membedah Sentimen-Sentimen Utama yang Menekan Harga komoditas Batubara dan Emitennya
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor batubara diperkirakan akan menghadapi tantangan. Ini seiring dengan permintaan batubara global yang akan cenderung landai, ditambah produksi batubara dalam negeri yang diprediksi turun.
Produksi batubara nasional diprediksi hanya akan mencapai 739,5 juta ton pada tahun 2025, turun 11% secara tahunan (year on year/YoY) dibandingkan realisasi tahun 2024. Lemahnya permintaan dari China dan India menjadi faktor utama yang menekan ekspektasi produksi nasional.
Lihat saja, volume ekspor batubara Januari-Mei 2025 turun 4,65% yoy menjadi 156,37 juta ton dibandingkan dengan dengan volume ekspor Januari-Mei 2024 sebesar 163,99 juta ton.
"Kami menilai, tren lemahnya permintaan dari kedua negara tersebut dapat berlanjut pada tahun depan atau setidaknya hingga semester I 2026, sehingga produksi batubara nasional berpotensi kembali melandai pada 2026," tulis tim analis Stockbit dalam riset, Sabtu (26/7).
Memang, harga batubara alami penguatan sebulan terakhir. Trading Economics mencatat penguatan 5,1% dalam sebulan ke US$ 115,5 per ton per Selasa (29/7) dan sepekan terakhir juga tercatat naik 4,9%. Namun, sejak awal tahun masih tercatat -7,78%.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan penguatan harga sebulan terakhir dipicu kebijakan Pemerintah China yang membatasi pasokan dan mengurangi kelebihan kapasitas. Namun, potensi penguatan akan terbatas dengan resistance di US$ 115 - US$ 120 per ton.
"Secara umum outlook harga batubara global masih suram karena permintaan global diperkirakan stagnan. Konsumsi pun semakin beralih ke energi terbarukan seperti mega proyek bendungan di China," ujarnya kepada KONTAN, Rabu (30/7).
International Energy Agency (IEA), dalam laporan Coal Mid-Year Update 2025 turut melaporkan potensi stagnansi permintaan batubara.
Tahun 2025, permintaan batubara global diperkirakan hanya akan naik tipis 0,2%, yang juga lebih lemah dari pertumbuhan 2024 yang mencapai 1,5%.
Hal itu karena tren yang saling bertolak belakang di berbagai kawasan. Negara-negara berkembang seperti AS dan India mencatatkan peningkatan konsumsi, perkiraannya tumbuh masing-masing 7% dan 1,3%.
Sementara di sisi lain, dua konsumen terbesar, China dan Uni Eropa, justru mengalami penurunan. Permintaan batubara China pada 2025 diperkirakan turun 0,5%. Lalu, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan disebut juga akan melanjutkan tren penurunan karena tekanan ekonomi dan transisi energi.
Kemudian, permintaan dari Uni Eropa juga diperkirakan turun 1,6%.
Memasuki 2026, IEA memperkirakan permintaan global akan mulai menyusut tipis menjadi sekitar 8,78 miliar ton, menandai awal dari periode penurunan setelah stagnansi selama dua tahun. Penurunan ini mencerminkan mulai dominannya efek transisi energi dan perlambatan ekonomi global di berbagai sektor pengguna batubara.
Penurunan terbesar diperkirakan terjadi di Uni Eropa, yang akan mengurangi konsumsi batubara hingga 61 juta ton. Hal ini sejalan dengan kebijakan percepatan transisi ke energi terbarukan dan penutupan pembangkit batubara. Jepang dan Korea juga akan mencatat penurunan masing-masing 8% dan 4%.
Sementara itu, meskipun China diproyeksikan mengalami sedikit pemulihan konsumsi sebesar 0,9% pada 2026, pertumbuhan ini lebih banyak berasal dari sektor konversi batubara (seperti gasifikasi) dan bukan dari sektor pembangkit listrik atau industri berat. Sektor baja dan semen di negara tersebut justru diperkirakan akan mengurangi konsumsi.
India dan kawasan ASEAN masih mencatatkan pertumbuhan, masing-masing 2,5% dan 5%, seiring meningkatnya permintaan listrik dan pembangunan industri seperti peleburan logam di Indonesia dan pembangkit baru di Vietnam. Namun, peningkatan di wilayah ini dipandang tidak cukup kuat untuk membalikkan tren penurunan global.
IEA menegaskan bahwa stagnansi pada 2025 merupakan indikasi bahwa batubara semakin sulit tumbuh di tengah kompetisi energi terbarukan, efisiensi energi, serta kebijakan dekarbonisasi di banyak negara. Penurunan permintaan yang diproyeksikan mulai 2026 menunjukkan bahwa pasar batubara global mungkin telah mencapai titik jenuhnya.
Meskipun permintaan di Asia masih kuat, khususnya di China dan India, keseimbangan pasar kini sangat rentan terhadap tekanan ekonomi, geopolitik, dan pergeseran kebijakan energi. Dengan demikian, prospek batubara ke depan semakin bergantung pada arah strategi energi nasional, terutama di negara-negara berkembang yang menjadi tulang punggung permintaan global.
Oleh sebab itu, Lukman juga berpandangan bahwa harga batubara masih akan turun perlahan.
Dengan permintaan yang menurun dan pasokan yang masih berlimpah akan menahan harga batubara di bawah US$ 100 per ton.
"Akhir tahun US$ 90 - US$ 100 dan tahun depan US$ 80-US$ 90 per ton," sebutnya.
Alhasil, hal-hal tersebut membawa dampak potensi pelemahan kinerja emiten-emiten batubara. Khususnya, ke emiten batubara yang berbasis ekspor.
Equity Research Analyst OCBC Sekuritas Devi Praharsa menyebutkan efek penurunan harga akan menekan harga rata-rata jual produsen batubara.
"Jika melihat penurunan konsumsi di global, berarti yang terdampak yang memiliki paparan ekspor yang tinggi, mungkin seperti ITMG dan BUMI," ujarnya ketika dihubungi KONTAN.
Tim riset Stockbit melanjutkan, potensi penurunan kinerja ADRO. Berdasarkan perhitungannya, korelasi laba bersih ADRO dan ITMG terhadap harga batubara Newcastle pada 2015-2024 mencapai kisaran 0,9-1.
Emiten lainnya yang juga akan terdampak adalah UNTR. Tim riset Stockbit berpandangan bahwa dengan bisnis inti terkait batubara yang memiliki tantangannya masing-masing di tengah kontribusi bisnis non-inti (logam dan mineral) yang belum signifikan, UNTR akan mengalami penurunan laba bersih secara tahunan sebesar 10,9% di 2025 dan 3,9% di 2026.
Namun, dengan valuasi dan yield dividen yang atraktif, Stockit memberikan pandangan netral terhadap prospek UNTR di tengah prospek yang menantang.
Devi juga berpandangan di tengah prospek sektor batubara yang menantang, maka saham-saham batubara yang masih menarik dicermati di tengah potensi penurunan permintaan dan harga adalah saham yang memiliki valuasi yang murah, serta emiten yang rutin membagikan dividen dengan yield yang atraktif. "Misalnya seperti ITMG dan ADRO," tutupnya.
Sumber:
Artikel Lainnya
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Tayang pada
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Detik Kalimantan
Tayang pada
7 Provinsi Penghasil Batu Bara Indonesia, Terbesar di Kalimantan
Tribun Kaltim
Tayang pada
70 Persen Sumber Energi Indonesia Dipasok dari Kalimantan, Ekonomi dan Lingkungan Harus Seimbang
CNBC Indonesia
Tayang pada