Bisnis Indonesia
Tayang pada
27 Mei 2025 pukul 00.00
Lesu Darah Ekspor Batu Bara RI ke China & Problematika Aturan HBA
Bisnis.com, JAKARTA — Ekspor batu bara Indonesia ke China anjlok pada April 2025. Kebijakan pemerintah yang mewajibkan eksportir menjual emas hitam dengan merujuk harga batu bara acuan (HBA) disinyalir menjadi biang kerok.
Bea Cukai China mencatat impor batu bara Indonesia ke Negeri Tirai Bambu mencapai 14,28 juta ton pada April 2025. Jumlah impor itu merosot 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Melansir Reuters, penurunan impor batu bara dari RI itu turun lantaran pembeli dari China menolak HBA yang terlalu tinggi dibanding harga pasar. Di satu sisi, harga batu bara domestik China tengah jatuh ke level terendah dalam 4 tahun terakhir.
Realitas tersebut membuat batu bara dari Indonesia kian kalah saing di China. Padahal, China adalah tujuan ekspor utama Indonesia.
Kewajiban penggunaan HBA untuk acuan ekspor berlaku sejak 1 Maret 2025. Aturan itu tertuang Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara.
Penetapan HBA pun kini dilakukan dua kali dalam 1 bulan, yakni setiap tanggal 1 dan 15. Sebelumnya, penetapan HBA dilakukan 1 bulan sekali. Sebelum kebijakan itu ditetapkan, kebanyakan pembeli batu bara dari Indonesia mengacu pada Indonesia Coal Index (ICI).
Pemerintah mengklaim ekspor dengan rujukan HBA merupakan langkah menjaga stabilitas harga penjualan komoditas mineral itu di pasar global.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengamini ekspor batu bara ke China anjlok. Namun, dia berpendapat kebijakan HBA bukan menjadi penyebab utama.
Hendra menilai ekspor batu bara ke China merosot lantaran persediaan di negara tersebut masih melimpah. terlebih, produksi batu bara China cukup tinggi.
"Tidak sepenuhnya karena faktor HBA," kata Hendra kepada Bisnis, Minggu (25/5/2025).
Pendapatnya tersebut dilandaskan pada realita bahwa penjualan batu bara ke China untuk periode April 2025 belum sepenuhnya merujuk HBA. Menurutnya, sejumlah buyer di China masih membeli batu bara dari RI dengan harga yang mengacu ICI.
"Pada umumnya transaksi periode tersebut kebanyakan refer ke indeks [ICI], turunnya ekspor bukan sepenuhnya karena HBA," tutur Hendra.
Senada, Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menuturkan, penurunan ekspor ke China mayoritas disebabkan karena pergerakan supply dan demand. Dia menilai faktor utama lebih dikarenakan stok di China yang masih banyak.
Selain itu, China juga tengah berupaya untuk menggunakan produksi batu bara dalam negeri secara optimal. Kendati demikian, Gina menyebut, kebijakan HBA sebagai rujukan ekspor cukup memberi tantangan bagi pelaku usaha.
"Memang saat awal kebijakan penggunaan HBA menjadi faktor yang menantang. Namun, dalam praktiknya, perdagangan batu bara dilakukan dengan skema business-to-business [B2B], berdasarkan kesepakatan harga antara penjual dan pembeli yang merujuk pada indeks harga pasar global," jelas Gita.
Dia menilai beberapa level HBA sudah reflektif terhadap harga pasar. Namun, masih ada ruang perbaikan yang bisa membuat HBA semakin mendekati dengan harga pasar.
Sebagai perbandingan, HBA untuk batu bara kalori tinggi dalam kesetaraan nilai kalori 6.322 kcal/kg GAR pada periode kedua Mei 2025 ditetapkan sebesar US$110,38 per ton. Sementara itu, harga batu bara Newcastle dengan jenis yang sama untuk pengiriman Mei 2025 tercatat sekitar US$100,40 per ton.
Dua Mata Pisau Kebijakan HBA
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengatakan, kebijakan HBA membuat harga batu bara Rl tak kompetitif. Oleh karena itu, kebijakan HBA turut berkontribusi pada penurunan ekspor batu bara ke China, terlepas dari tingginya pasokan domestik negara tersebut.
"HBA menjadikan harga tidak fleksibel sehingga kurang kompetitif. Jadi sebenarnya kebijakan HBA bisa menjadi bumerang bagi Indonesia di tengah penurunan permintaan," ucap Bisman.
Menurutnya, dengan kondisi ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan HBA. Bahkan, bila perlu meninjau ulang atau paling tidak ada diskresi.
Dengan kata lain, dalam situasi tertentu pelaku usaha bisa melakukan ekspor dengan tidak mengacu HBA.
"Fleksibilitas harga sangat diperlukan agar komoditas Indonesia bisa kompetitif seiring dengan perkembangan dan kebutuhan pasar," imbuh Bisman.
Dia pun menilai jika kebijakan HBA masih sama, maka ekspor batu bara Rl diproyeksi bisa terus melemah dalam beberapa bulan ke depan. Apalagi, kondisi ekonomi global masih belum stabil dan demand juga turun.
Bisman menambahkan bahwa jika HBA dipertahankan, akan komoditas Indonesia akan sulit bersaing di pasar China atau juga negara lain.
"Dampaknya bagi perusahaan akan ada penurunan operasional dan tentunya pendapatan berkurang. Namun, belum sampai rugi," katanya.
Klaim Bisman terkait lemahnya demand batu bara memang bukan isapan jempol. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batu bara RI secara total mencapai 30,73 juta ton dengan nilai US$1,97 miliar pada Maret 2025.
Secara tahunan, nilai ekspor komoditas ini juga tercatat turun signifikan yakni 23,14% dari tahun sebelumnya yang tercatat mencapai US$2,56 miliar. Sementara dibandingkan Februari, nilai ekspor batu bara pada Maret turun 5,54%.
Pemerintah Terbuka untuk Evaluasi
Menanggapi turunnya ekspor batu bara RI ke China, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang untuk mengevaluasi kebijakan kewajiban penetapan HBA.
Dirjen Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, pihaknya terbuka untuk berdiskusi dengan pelaku industri. Ini khususnya untuk membahas permasalahan ekspor dan HBA.
"Ya, nanti kalau misalnya ini [ekspor terus turun] kita ngobrol. Kalau evaluasi pasti kita lakukan," kata Tri, beberapa waktu lalu.
Terpisah, Sekretaris Ditjen Minerba Kementerian ESDM Siti Sumilah Rita Susilawati mengatakan, pihaknya bisa saja melakukan evaluasi kebijakan HBA. Namun, itu dilakukan secara berkala, sesuai kebutuhan.
"Evaluasi regulasi dilakukan secara berkala untuk memastikan regulasi yang ada sesuai dengan kebutuhan negara maupun industri," katanya.
Menurut Siti, saat ini pemerintah tetap akan menerapkan HBA sebagai harga acuan ekspor. Pasalnya, HBA merupakan instrumen penting untuk menjaga transparansi, keadilan harga, serta penerimaan negara.
Kendati demikian, kata dia, pemerintah terus melakukan penyempurnaan agar HBA tetap relevan dan mendukung daya saing batu bara Indonesia di pasar global. Siti menambahkan bahwa penurunan ekspor batu bara Indonesia ke China dipengaruhi banyak faktor, termasuk dinamika pasar di negara tujuan dan preferensi kontrak.
"Soal keberatan atas HBA, pemerintah memahami bahwa pelaku usaha membutuhkan proses penyesuaian terhadap pemberlakuan kebijakan tersebut," kata Siti.
Sumber:
Artikel Lainnya
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Tayang pada
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
CNBC Indonesia
Tayang pada
Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega
Bloomberg Technoz
Tayang pada
Ada Donald Trump di Balik Kenaikan Harga Batu Bara
Kontan
Tayang pada