Kompas

Tayang pada

10 Juni 2025 pukul 00.00

Hilirisasi atau Nikelisasi?

Gelora hilirisasi begitu membara dalam beberapa tahun terakhir, setelah pemerintah memetik hasil dari peningkatan nilai tambah nikel. Saat ini, nikel dijadikan acuan ”keberhasilan” hilirisasi. Semua diminta mencontoh nikel. Namun, apakah komoditas yang lain mesti melalui jalan yang sama seperti nikel?

Pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020 pada akhirnya memaksa pengusaha untuk mengolah bijih nikel di dalam negeri. Dengan pengolahan dan pemurnian di smelter, produk yang boleh diekspor minimal berupa feronikel ataupun nickel pig iron, sebagai produk antara atau setengah jadi.

Jauh sebelum itu, pada akhir 1970-an, PT Vale Indonesia—sebelumnya bernama INCO—sebenarnya sudah lebih dulu melakukan hilirisasi dengan mengolah bijih nikel menjadi nickel matte. Matte kemudian diekspor ke Jepang untuk sejumlah peruntukan seperti bahan baku baja nirkarat (stainless steel).

Dengan tak lagi mengekspor produk mentah, ada nilai tambah yang tercatat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada lonjakan volume ekspor feronikel (kode HS 72026000) dari 1,5 juta ton (2019) menjadi 5,7 juta ton (2022). Volume ekspor nikel dan barang daripadanya (kode HS 75) juga meningkat dari 91,5 ton (2019) menjadi 775,6 ton (2022). Nilai ekspor pun tentu ikut melonjak.

Sederet peningkatan itu sejalan dengan masifnya pembangunan smelter, terutama untuk rotary kiln electric furnace (RKEF) yang menghasilkan produk bahan baku stainless steel. Belakangan juga didorong smelter high pressure acid leaching (HPAL) untuk bahan baku baterai kendaraan listrik (EV).

Berjalannya hilirisasi nikel, terutama sejak 2020, dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya ialah status Indonesia sebagai pemilik cadangan terbesar nikel di dunia. Di samping itu, ketegasan pemerintah untuk tidak lagi merelaksasi larangan ekspor bijih nikel.

Komoditas nikel semakin strategis di dunia. Selain untuk kebutuhan logam, nikel juga terkait dengan berkembangnya EV di pasar global. Nikel menjadi salah satu bahan baku baterai EV, khususnya untuk baterai EV dengan densitas tinggi, untuk jarak tempuh lebih jauh.

Kisah kesuksesan nikel itu menjadi pegangan pemerintah untuk mendorong hilirisasi produk lainnya. Presiden RI 2014-2024 Joko Widodo beberapa kali membanggakannya serta menyebut kebijakan sama diterapkan pada produk tambang lain, seperti bauksit dan tembaga.

Pekerjaan rumah

Akan tetapi, menengok ke belakang, kewajiban peningkatan nilai tambah produk tambang sebenarnya sudah sejak 2009, melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, sejak dulu, diberikan berbagai relaksasi hingga akhirnya baru terlaksana pada 2020.

Di samping itu, hilirisasi nikel juga menyisakan sederet pekerjaan rumah yang perlu dicarikan jalan keluar. Salah satunya ialah belum siapnya industri dalam negeri dalam menyerap produk antara nikel. Pada nikel, hilirisasi memang sudah selesai, tetapi industrialisasi menjadi pekerjaan berikutnya.

Pertumbuhan smelter HPAL di Indonesia menyongsong harapan Indonesia menjadi pemain penting dalam industri hulu-hilir baterai EV, khususnya jenis nikel, mangan, kobalt (NMC). Namun, yang berkembang pesat saat ini, khususnya di China, justru EV dengan baterai lithium ferro phosphate (LFP).

Pekerjaan rumah lainnya ialah bagaimana memastikan pertumbuhan ekonomi daerah sentra nikel tak sekadar berhenti pada pencatatan. Namun, menetes hingga lapisan terbawah sehingga haruslah berdampak pada kesejahteraan masyarakat di daerah.

Selain itu, masalah krusial lain ialah problem kerusakan lingkungan sebagai dampak masifnya pertambangan serta industri pengolahan dan pemurnian nikel. Sorotan publik terhadap penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, belakangan ini sudah seharusnya menjadi momentum perbaikan tata kelola tambang nikel secara menyeluruh.

Bagaimanapun hilirisasi nikel menjadi langkah penting dan strategis, terutama bagi Indonesia, negara produsen sekaligus pemilik cadangan nikel terbesar di dunia. Namun, sejumlah persoalan yang muncul pun tak bisa dipisahkan atau diabaikan. Solusi yang berkelanjutan amat diperlukan.

"Pekerjaan rumah lainnya berikutnya ialah bagaimana memastikan pertumbuhan ekonomi daerah sentra nikel tak sekadar pencatatan, tetapi menetes hingga lapisan terbawah masyarakat. Masalah krusial lain ialah problem kerusakan lingkungan sebagai dampak masifnya pertumbuhan tambang dan smelter nikel."

Haruskah seperti nikel?

Sebagai komoditas yang dianggap berhasil, nikel kerap menjadi acuan dalam proyek hilirisasi. Dalam hal ini, pemerintah sudah memperluas program hilirisasi. Bukan hanya pada produk pertambangan, melainkan juga sejumlah sektor lain seperti minyak dan gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan.

Bahkan, pemerintah sudah menghitung perkiraan investasi yang dibutuhkan untuk hilirisasi pada 28 komoditas di sejumlah sektor. Hingga tahun 2040, investasi yang dibutuhkan sekitar 618 miliar dollar AS.

Gaung hilirisasi nikel diharapkan menular pada komoditas-komoditas lain, seperti pada produk rumput laut yang potensial diarahkan pada industri nonmakanan minuman. Kementerian Perindustrian pada 2023 mencatat, 77 persen pemanfaatan olahan rumput laut masih untuk produk makanan dan minuman.

Hilirisasi juga didorong pada komoditas lain, di antaranya kelapa sawit, kelapa, udang, rajungan, garam, pala, dan cokelat. Namun, hilirisasi pada sederet komoditas itu memiliki karakteristik dan tantangan masing-masing. Itu misalnya terkait dengan produktivitas, keandalan pasokan, hingga permintaan pasar.

Sebagai penggugah potensi peningkatan keekonomian berbasis sumber daya, hilirisasi nikel boleh saja menjadi acuan. Namun, menjadikan nikel sebagai patokan utama keberhasilan peningkatan nilai tambah malah memberi beban. Sebab, muncul pertanyaan: nikel bisa, kenapa komoditas lain tidak?

Di antara berbagai komoditas pertambangan di Indonesia, apa yang diterapkan pada nikel pun belum tentu seketika bisa diaplikasikan pada komoditas tambang lain. Berbagai tantangan masih menghadang.

Pada batubara misalnya. Rencana peningkatan nilai tambah batubara bisa dibilang berjalan sangat lambat. Dorongan gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME) misalnya, yang diharapkan bisa menyubstitusi impor elpiji. Hingga kini program tersebut masih mandek.

Sulit diterima dengan nalar ketika proyek kerja sama gasifikasi batubara menjadi DME oleh PT Bukit Asam Tbk, PT Pertamina (Persero), dan perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products batal. Padahal, itu merupakan proyek strategis nasional. Seremoni peletakan batu pertamanya (groundbreaking) bahkan sampai dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2022.

Pada awal 2023, Air Products menyatakan mundur, baik pada proyek batubara ke DME di Sumatera Selatan maupun batubara ke metanol di Kalimantan Timur. Hingga kini, investor pengganti Air Products belum ada. Bagaimanapun perbandingan harga batubara dan DME jadi hitung-hitungan untuk mencapai keekonomian.

Selain untuk DME, peningkatan nilai tambah batubara juga dapat dilakukan untuk sejumlah produk akhir lain. Di antaranya underground coal gasification untuk menghasilkan amonia. Lalu, cokes making menghasilkan semikokas dan coal tar. Selain itu, pemrosesan batubara menjadi briket.

Berkaca pada kondisi itu, jelas, hilirisasi komoditas lain tak bisa serta merta men-copy-paste nikel. Aspek keekonomian produk turunan memegang peranan penting. Begitu juga kondisi ketersediaan cadangan. Cadangan nikel Indonesia terbesar di dunia. Sementara cadangan batubara Indonesia terbesar ketujuh di dunia.

Pada akhirnya, menjadikan nikel sebagai acuan peningkatan nilai tambah komoditas boleh-boleh saja. Sejumlah pelajaran dari hilirisasi nikel bisa dipetik. Namun, memasang ekspektasi segalanya harus seperti nikel juga kiranya tidak tepat.

Agar berjalan optimal, program hilirisasi pada 28 komoditas mesti didukung kajian matang dan komprehensif. Pemetaan produk turunan besarta potensi pasarnya juga krusial. Tidak kalah penting adalah tersedianya dukungan insentif, termasuk untuk riset, serta konsistensi regulasi dan kebijakan.

Dengan begitu, hilirisasi tidak sekadar jargon atau program latah. Namun, betul-betul menghadirkan nilai tambah komoditas yang memberi dampak bagi terbukanya lapangan kerja hingga peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

IDX Channel.com

Tayang pada

10 Juni 2025 pukul 00.00

10/06/25

10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?

CNBC Indonesia

Tayang pada

10 Juni 2025 pukul 00.00

10/06/25

4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME

Detik Kalimantan

Tayang pada

10 Juni 2025 pukul 00.00

10/06/25

7 Provinsi Penghasil Batu Bara Indonesia, Terbesar di Kalimantan

CNBC Indonesia

Tayang pada

10 Juni 2025 pukul 00.00

10/06/25

Ada Aturan Baru Royalti Batu Bara, BUMI-Adaro Bisa Bernapas Lega

Bloomberg Technoz

Tayang pada

10 Juni 2025 pukul 00.00

10/06/25

Ada Donald Trump di Balik Kenaikan Harga Batu Bara

Alamat Sekretariat.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Email Sekretariat.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Situs web dibuat oleh

Alamat Sekretariat.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Email Sekretariat.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Situs web dibuat oleh

Alamat Sekretariat.

Menara Kuningan Building.

Jl. H.R. Rasuna Said Block X-7 Kav.5,

1st Floor, Suite A, M & N.

Jakarta Selatan 12940, Indonesia

Email Sekretariat.

secretariat@apbi-icma.org

© 2025 APBI-ICMA

Situs web dibuat oleh