Bisnis Indonesia
Tayang pada
2 Desember 2025 pukul 00.00
Bea Keluar Batu Bara Mulai Dikenakan 2026, DJP Incar Data Minerba ESDM
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah memastikan batu bara akan dikenai bea keluar pada 2026. Pengenaan bea keluar itu mengakhiri keistimewaan komoditas 'emas hitam' yang sudah berlangsung sejak 2006 lalu.
Purbaya menyadari rencana ini akan menuai pro dan kontra. Namun dia menekankan bahwa kontribusi penerimaan negara dari sektor ini masih relatif kecil dibandingkan produk pertambangan lain.
“Semua perusahaan batu bara pasti menolak, orang dikasih tarif ekspornya. Tapi kan begini, sebagian dari kita melihat dibanding barang tambang lain, misalnya minyak, kan batu bara lebih sedikit yang dibayar ke pemerintah,” ujarnya Rabu pekan lalu.
Purbaya kemudian membandingkan beban pungutan batu bara dengan skema Production Sharing Contract (PSC) minyak dan gas (migas). Menurutnya, dalam skema PSC, pemerintah bisa mendapatkan porsi bagi hasil hingga 85%, sedangkan kontraktor hanya 15%.
Sementara itu, kewajiban yang dibayarkan pengusaha batu bara saat ini dinilai jauh di bawah persentase tersebut. Oleh sebab itu, Purbaya optimistis ruang fiskal untuk meningkatkan pungutan dari sektor 'emas hitam' ini masih terbuka lebar tanpa harus mematikan pelaku usaha.
Dia meyakini kebijakan ini tidak akan menggerus daya saing harga batu bara Indonesia di pasar global. Menurutnya, kebijakan ini hanya akan sedikit mengoreksi margin keuntungan pengusaha, namun tetap dalam batas keekonomian yang wajar.
“Enggak [mengganggu daya saing], untuk mereka turun sedikit [margin-nya]. Ini masih bisa ditingkatkan lagi tanpa mengganggu industrinya sendiri,” tegas Purbaya.
Saran Pengamat
Sementara itu, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyarankan supaya harga minimum pengenaan bea keluar ada di atas level US$160 per ton.
"Bagus kalau diberlakukan dengan pola tiered basis dan disosialisasikan. Mungkin setelah harga di atas US$160 baru diberlakukan," ucap Singgih kepada Bisnis, Kamis (27/11/2025).
Kendati demikian, dia menjelaskan, saat ini harga batu bara tengah lesu. Berdasarkan data ICE Newcastle Coal, harga batu bara saat ini di level US$111 per ton. Harga tersebut jauh lebih rendah dibanding Januari 2025 yang berada di level US$139 per ton.
Singgih memproyeksi harga batu bara pada 2026 masih tetap rendah. Menurutnya, proyeksi harga yang masih rendah tersebut harus menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan bea keluar.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi biaya penambangan per ton saat ini terhadap kondisi pasar yang relatif masih tertekan, bahkan oversupply.
"Atas alasan itu, semestinya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan bea keluar bukan sebatas bicara tahun 2026 baru akan dikeluarkan, tapi harus meletakkan dulu bagaimana kondisi hulu [biaya penambangan] kita, bagaimana proyeksi pasar ke depan dan termasuk proyeksi harga," jelas Singgih.
Oleh karena itu, Singgih menilai kebijakan pengenaan bea keluar batu bara idealnya diberlakukan saat iklim pasar dan harga batu bara sudah stabil.
"Kebijakan bukan pada tahun berapa akan dikeluarkan, tapi pada kondisi kapan secara tepat akan dikeluarkan," katanya.
Integrasi Data Minerba
Direktur Jenderal Pajak alias DJP Bimo Wijayanto mendorong supaya data Minerba-One yang dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral alias ESDM bisa segera terintegrasi dengan Coretax milik otoritas pajak.
Hal ini ditujukan agar seluruh data dapat dimanfaatkan dalam mengumpulkan penerimaan negara. Selain itu, Bimo juga mengemukakan bahwa DJP juga telah sepakat dengan Ditjen Minerba untuk memasukkan komitmen pelunasan pajak sebagai salah satu dokumen kelengkapan pada saat mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) .
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan pelaksanaan kegiatan kolaborasi ini merupakan upaya bersama dalam mengelola kekayaan negara, baik oleh Pemerintah selaku regulator maupun wajib pajak selaku pelaku kegiatan ekonomi dari sektor pertambangan mineral dan batubara.
“Pesan Pak Presiden kembali ke pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan utama membangun sistem ekonomi Indonesia yang berkeadilan, yaitu pentingnya prinsip gotong royong,” ujar Bimo, dikutip Jumat (28/11/2025).
Berdasarkan data internal DJP, dalam lima tahun terakhir jumlah populasi wajib pajak dari sektor pertambangan minerba cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertambahan sekitar 3%.
Pada tahun 2021 terdapat sebanyak 6.321 wajib pajak hingga pada tahun 2025 tumbuh menjadi 7.128 wajib pajak. Selain itu, penerimaan sektor pertambangan mineral logam mampu meningkat lebih dari 10 kali lipat dari sebesar Rp4 triliun (2016) menjadi Rp45 triliun (2024).
Sedangkan penerimaan pajak sektor pertambangan batubara mengalami fluktuasi sejalan dengan pergerakan harga komoditas global.“Kami tidak bisa berdiri sendiri apabila tidak ada sumbangsih dari bapak ibu selaku pelaku ekonomi (sektor minerba) yang menyumbang 20 sampai 25 persen dari penerimaan negara,” ujar Bimo.
Sumber:
Artikel Lainnya
Liputan 6
Tayang pada
1,76 Juta Metrik Ton Batu Bara Disebar ke 4 PLTU Jaga Listrik di Jawa Tak Padam
Bisnis Indonesia
Tayang pada
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
METRO
Tayang pada
10 Negara Pengguna Bahan Bakar Fosil Terbesar di Dunia
CNBC Indonesia
Tayang pada