Business Insight
Tayang pada
16 Juli 2025 pukul 00.00
Agresif Transisi ke Bisnis Non-Batubara, Profil Keuangan INDY Jadi Sorotan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi agresif PT Indika Energy Tbk (INDY) dalam menjajaki bisnis non-batubara bukannya tanpa konsekuensi. Di tengah upayanya menekan pendapatan batubara hingga 50%, lembaga pemeringkat kredit dunia memangkas peringkat utang INDY seiring dengan tekanan keuangan jangka pendek.
Sebagai gambaran umum, pada 2024 INDY mencatatkan penjualan batubara yang berkontribusi sebesar 84,1% ke pendapatannya. Meski demikian, bisnis non-batubaranya, mencakup pertambangan emas hingga energi hijau, terus berkembang dan kini menyumbang 15,9% dari total pendapatan.
Indika Energy telah mengungkapkan targetnya untuk mencapai komposisi pendapatan 50:50 antara segmen batubara dan non-batubara pada 2028 mendatang. Sejatinya target ini molor dari perkiraan awal yang tadinya ingin dicapai pada 2025. Maklum, perusahaan sebesar Indika memerlukan lebih banyak waktu untuk menjaga stabilitas keuangan dan membangun kapasitas organisasi dalam bertransisi.
Perubahan profil keuangan INDY cukup menjadi sorotan banyak pihak, salah satunya lembaga pemeringkat global Moody's dan Fitch Ratings.
Untuk mendukung kebutuhan likuiditasnya, Indika kembali ke pasar obligasi dolar AS pada 2024. Pihaknya menerbitkan obligasi baru untuk membiayai kembali obligasi senilai US$ 534,1 juta dengan bunga 8,25% yang jatuh tempo pada tahun 2029.
Sebelum kesepakatan ini, Indika menyatakan bahwa sebagian dari hasil penerbitan obligasi akan dialokasikan untuk investasi di kendaraan listrik dan energi terbarukan.
Komitmen terhadap diversifikasi tersebut tercermin dalam bagaimana perusahaan mengalokasikan modalnya. Pada 2024, belanja modal Indika mencapai US$ 122 juta, dengan 83% dialokasikan untuk bisnis non-batubara. Lebih dari separuhnya sebanyak US$ 65,9 juta dialokasikan untuk usaha pertambangan emasnya, Masmindo.
Namun, perubahan ini memiliki konsekuensi. Pada Maret 2025, Moody's merevisi prospek kredit Indika dari stabil menjadi negatif, diikuti oleh penurunan peringkat penerbit jangka panjang (long-term issuer default rating) perusahaan oleh Fitch dari 'BB-' menjadi 'B+'.
Pada saat yang sama, Fitch Ratings Indonesia telah menurunkan Peringkat Nasional Jangka Panjang Indika menjadi 'A(idn)' dari 'A+(idn)'.
Fitch Ratings dalam laman resminya menjelaskan, penurunan peringkat ini mencerminkan ekspektasi EBITDA net leverage INDY akan tetap di atas 3,0x pada 2025-2026 dibandingkan 2024 di level 2,9x. Hal ini disebabkan harga batubara yang lebih rendah dan biaya produksi yang tinggi.
Pihaknya memperkirakan EBITDA net leverage INDY baru akan pulih pada 2027 ketika produksi Awak Mas meningkat.
Penurunan peringkat menjadi IDR 'B+' mencerminkan risiko eksekusi pada proyek penambangan emasnya, yang telah tertunda. Lebih jelasnya, IDR 'B+' mencerminkan skala operasional Indika sebagai produsen batubara termal berukuran menengah di Indonesia, dengan rencana diversifikasi ke emas, profil cadangan yang sehat, dan likuiditas yang memadai.
Namun eksekusi proyek Awak Mas dinilai sangat krusial dalam agendanya meningkatkan bisnis non-batubara. Eksekusi tambang ini tertunda dari yang sebelumnya direncanakan akhir 2025, menjadi semester II 2026 karena keterlambatan dalam akuisisi lahan.
"Eksekusi pengembangan Awak Mas krusial bagi deleveraging Indika, serta menyediakan diversifikasi komoditas dan pendapatan bagi Indika," kata Fitch Ratings.
Fitch Ratings memperkirakan kontribusi EBITDA proyek Awak Mas akan mencapai 25% pada 2027, berdasarkan asumsi harga sebesar US$ 2.000/oz untuk emas. Indika memiliki cadangan emas potensial sebesar 1,51 juta oz, yang berarti umur tambang sekitar 15 tahun.
Di sisi lain, Fitch memperkirakan kontribusi EBITDA dari bisnis baru, selain dari Awak Mas, akan tetap kecil selama tiga hingga empat tahun ke depan dibandingkan dengan bisnis pertambangan Indika.
Indika memperkirakan pengeluaran modal kecil untuk bisnis barunya, seperti kendaraan listrik, energi baru, dan penambangan bauksit. Dalam beberapa kesempatan, manajemen INDY berharap dapat membentuk aliansi dengan investor strategis yang dapat membawa keahlian teknis ke sektor-sektor baru demi meminimalkan risiko.
Adapun untuk peringkat Nasional 'A' menunjukkan ekspektasi tingkat risiko gagal bayar yang relatif rendah terhadap emiten atau obligasi lain di negara atau serikat moneter yang sama.
Jika menengok pada sisi likuiditas dan struktur uang INDY, perusahaan tambang ini tidak memiliki pembayaran utang besar yang jatuh tempo pada tahun 2025-2026. Saldo kas tersedia sebesar US$ 577 juta pada akhir 2024 cukup untuk menutupi utang jangka pendeknya sebesar US$ 133 juta. Utang jangka pendek itu sebagian besar merupakan pinjaman modal kerja yang dapat diperpanjang.
Fitch memperkirakan Indika akan mengambil beberapa pinjaman baru untuk menutupi sebagian defisit arus kas bebas (free cash flow/FCF) pada 2025 dan 2026. Indika telah mempertahankan akses pendanaan yang memadai di pasar domestik, mengingat rekam jejak operasinya yang panjang.
Dalam jangka pendek ini Fitch menilai operasi yang stabil di tambang batu bara Kideco milik Indika adalah kunci untuk mendukung penghasilan arus kas dan belanja modal yang direncanakan selama dua hingga tiga tahun ke depan.
Kideco akan menghasilkan 80%-90% dari total EBITDA untuk periode kinerja keuangan 2025-2026. Berdasarkan asumsi harga emas Fitch, diperkirakan kontribusi EBITDA Kideco akan berkurang menjadi sekitar 65% ketika Awak Mas meningkat secara signifikan pada 2027.
Fitch juga memperkirakan revisi yang diusulkan terhadap struktur tarif royalti pada batubara akan menguntungkan Indika. Kebijakan ini akan memberikan penghematan EBITDA sekitar US$ 90 juta (efektif US$ 3 per ton) pada harga saat ini. Hal ini akan membantu meringankan arus kas Indika, terutama karena harga batu bara turun dari level tinggi.
Terus Lanjutkan Diversifikasi
Di tengah tekanan ini, Indika terus melanjutkan strategi diversifikasi jangka panjangnya. Pilar utamanya adalah tambang emas Awak Mas. Proyek ini dijadwalkan mulai berproduksi pada paruh kedua 2026, dengan target produksi tahunan sebesar 100.000 ons.
Proyek tambang emas ini didukung oleh pendanaan sebesar US$ 250 juta dari bank lokal dan internasional. Izin pertambangan juga telah diperbarui hingga 2050 sehingga memastikan kepastian operasional jangka panjang.
Principal Coal Transition Lead of the Energy shift Institute, Hazel Ilango menjelaskan, meskipus emas merupakan komoditas seperti halnya batu bara, emas menawarkan eksposur pasar dan dinamika harga yang berbeda, yang memberikan lindung nilai terhadap volatilitas sektor batubara.
"Tidak seperti batubara termal, yang menghadapi hambatan struktural akibat kebijakan transisi energi, emas mempertahankan permintaan global yang kuat sebagai aset safe haven," ujarnya dalam komentar resminya, Senin (14/7/2025).
Hal ini menjadikan bisnis emas tidak hanya sebagai diversifikasi tetapi juga sebagai stabilisator keuangan seiring Indika menavigasi pasar batubara yang lebih tidak menentu.
Dengan operasi skala penuh, Indika memperkirakan segmen emasnya dapat menghasilkan hingga US$ 3 miliar (Rp 47,59 triliun), membantu menstabilkan pendapatan dan mendukung peralihan perusahaan menuju portofolio yang lebih seimbang dan tangguh.
ESI menyoroti, diversifikasi atau transisi bisnis apa pun akan memberikan dampak, berupa tekanan kredit, meningkatnya utang, dan margin yang lebih ketat. Semua ini merupakan bagian dari realitas jangka pendek seperti yang terlihat pada leverage Indika. Namun, fase ini merupakan lindung nilai yang diperlukan terhadap risiko yang lebih besar di masa mendatang.
"Dorongan Indika ke sektor emas dan sektor non-batubara lainnya mungkin membebani neraca keuangannya saat ini, tetapi hal ini membantu meletakkan fondasi bagi bisnis yang lebih tangguh di masa mendatang," kata Ilango.
Yang terpenting, Ilango menegaskan, Indika memanfaatkan peluang yang tepat dengan memanfaatkan posisi kekuatannya saat ini. Harga batu bara yang tinggi pada tahun-tahun sebelumnya telah mendukung perolehan kas dari tambang batubara Kideco, yang memungkinkan perusahaan untuk mendanai belanja modal sekaligus mengelola utangnya.
Arus kas dari operasi batu bara ini akan tetap krusial selama dua hingga tiga tahun ke depan, karena akan membantu mendukung upaya diversifikasi yang lebih tertib.
ESI menyatakan, dalam kasus Indika, tekanan keuangan jangka pendek tidak hanya mencerminkan biaya memasuki sektor baru, tetapi juga pergeseran yang disengaja untuk memposisikan ulang bisnis di luar sektor batubara. Prospek negatif Moody's atau penurunan peringkat Fitch tidak boleh dilihat sebagai penilaian akhir. Sebaliknya, hal tersebut mencerminkan meningkatnya beban utang relatif terhadap pendapatan dan tingginya risiko dari perubahan ini.
Meskipun demikian, profil pembiayaan yang lebih agresif mungkin diperlukan pada tahap ini untuk menghindari erosi nilai jangka panjang, terutama karena hambatan struktural semakin besar terhadap batu bara. Keuntungan jangka panjang akan bergantung pada keberhasilan pelaksanaan strategi diversifikasi Indika.
"Pilihan Indika untuk melakukan diversifikasi daripada berfokus pada batu bara menandai pergeseran yang disengaja dari industri yang sedang mengalami kemunduran. Jika dieksekusi dengan baik, perubahan ini dapat secara material memperkuat pijakan keuangannya dan membangun ketahanan jangka panjang dalam lanskap energi yang terus berubah," tandasnya.
Sumber:
Artikel Lainnya
IDX Channel.com
Tayang pada
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
CNBC Indonesia
Tayang pada
4 Perusahaan China Tertarik Ubah Batu Bara RI Jadi DME
Detik Kalimantan
Tayang pada
7 Provinsi Penghasil Batu Bara Indonesia, Terbesar di Kalimantan
Tribun Kaltim
Tayang pada
70 Persen Sumber Energi Indonesia Dipasok dari Kalimantan, Ekonomi dan Lingkungan Harus Seimbang
CNBC Indonesia
Tayang pada