Muara Enim, IDN Times - Potensi Sumber Daya Alam (SDA) air yang berada di Kabupaten Muara Enim bisa dimanfaatkan dengan maksimal sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT) bagi masyarakat. Alasannya, Muara Enim memiliki luas wilayah 5.178 meter persegi dengan topografi yang didominasi daerah aliran sungai.
Hanya saja, pengembangan EBT menghadapi tantangannya tersendiri di Sumsel, karena energi fosil seperti batu bara masih menjadi tulang punggung perekonomian. Transisi energi dari batu bara ke energi bersih berpotensi mengguncang ekonomi daerah.
Beberapa kecamatan di bagian barat daya seperti Semende Darat Ulu (SDU), Semende Darat Tengah (SDT), dan Semende Darat Laut (SDL) berada di wilayah dataran tinggi. Penggunaan turbin meskipun masih dalam skala kecil, menunjukkan masyarakat di Semende sangat antusias menyambut Energi Bersih Terbarukan (EBT) ini.
Tinggal menunggu respon dari pemerintah yang kini gencar menggaungkan program EBT, masyarakat di Semende terutama di Desa Danau Gerak dan Desa Cahaya Alam berharap bisa mandiri energi dengan pemanfaatan SDA yang mereka miliki saat ini.
Sebagai perbandingan, warga di Desa Singapura kini bisa menikmati listrik dari PT Green Lahat yang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pembangkit listrik yang diklaim ramah lingkungan ini memanfaatkan arus deras Sungai Endikat. Tidak ada gas karbondioksida bagi alam yang dilepaskan dari segala macam peralatan operasionalnya.PLTMH ini digerakkan oleh 3 turbin yang menghasilkan listrik berkapasitas 9,9 MW. Sebanyak 70 persen dari listrik tersebut disalurkan ke Kota Pagar Alam, sisanya 30 persen memenuhi kebutuhan listrik di Kabupaten Lahat.
1. PLTMH Green Lahat terangi sekitar 8.000 keluarga
Plant Manager PT Green Lahat, Kastiono mengungkapkan, memang ketika pembangunan PLTMH pihak perusahaan melakukan penebangan pohon terlebih dahulu. Hal ini diperlukan karena ada proses instalasi peralatan sampai pembangunan selesai."Penghijauan dilakukan sebagai upaya memulihkan kondisi lahan yang ditebang. Ketika membangun pasti menebang pohon dulu, namun setelah itu dilakukan penghijauan. Pada prinsipnya energi bersih, jadi semuanya kita hijauan kembali," ujarnya.Kini berkat adanya PLTMH Green Lahat ini, sekitar 8.000 keluarga bisa mendapatkan akses listrik yang lancar. Meningkatnya kualitas energi listrik bagi masyarakat, secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup mereka.
2. Sumsel provinsi yang punya dua energi sama-sama besar
Kepala Bidang Energi, Dinas ESDM Provinsi Sumsel, Aryansyah) IDN Times/YulianiKepala Bidang Energi, Dinas ESDM Provinsi Sumsel, Aryansyah mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk mendukung berbagai inisiatif yang akan mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penggunaan energi bersih. Maka itu dalam lima tahun ke depan ada rencana pengembangan, di antaranya penyiapan survei dan studi kelayakan proyek EBT, penyempurnaan regulasi, peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi seperti PLTP Lumut Balai 55 MW dan PLTP Danau Ranau 20 MW. Dan kerjasama internasional dengan pengembang dari China untuk PLTS 300 MW."Sumsel ini provinsi yang punya dua energi sama-sama besar. Pertama sektor fosil batu bara dan migas, lalu sektor EBT. Sehingga dalam dokumen perencanaan energi kita keduanya selaras. Jadi fosil tetap berjalan menunjang PAD, namun diimbangi dengan konsep pembangunan EBT yang masif," terangnya.Ia mengungkapkan, salah satu potensi EBT yang cukup baik yakni pemanfaatan air. Terutama wilayah yang terletak di dataran tinggi seperti Pagar Alam, Lahat, termasuk Muara Enim."Selain air, kita punya surya, biomassa, geothermal dan sebagainya yang akan diintensifkan. Seluruh peluang akan dimanfaatkan dan nantinya tertuang dalam Perda pemanfaatan energi hijau," ujarnya.
3. Pemanfaatan EBT butuh pembiayaan yang besar di awal
(Turbin di Dusun Rantau Dedep) IDN Times/YulianiTerkait peluang PLTMH di Semende, pihaknya juga masih melakukan pengkajian karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan sebelum membangun PLTMH berkapasitas besar seperti di PLTMH Green Energi."Kekurangan pemanfaatan energi terbarukan dari sektor air ini relatif tidak stabil. Kesulitannya dipengaruhi oleh debit air yang mengalir. Kalau musim hujan daya listrik yang dihasilkan turun. Karena teknisnya arus akan menggerakkan turbin elektriknya," terangnya.Menurutnya, perlu peralatan canggih yang bisa menjadikan listrik stabil tanpa terpengaruh naik turunnya debit air. Hal-hal ini biasanya dari kementerian akan mengadakan pelatihan yang mengurus PLTMH tersebut.Selain itu, pemanfaatan EBT butuh pembiayaan yang besar di awal dan bisa ditarik dengan orang yang mau investasi. Jika pihaknya memiliki data yang valid, maka bisa ditawarkan potensi untuk digarap investor.“Tantangan pengembangan EBT ini salah satunya ada keterbatasan kewenangan di kita (ESDM Sumsel). Kita tidak bisa secara masif melakukan pengawasan termasuk melakukan evaluasi rencana kerja di perusahaan. Padahal mereka yang beroperasi di wilayah kita," tegasnya.
4. Sekitar 20 persen PAD di Sumsel bergantung di sektor batu bara
Menurutnya, ESDM membutuhkan berbagai perizinan untuk membangun EBT. izin tersebut mulai dari izin sertifikasi dan kontruksi bendungan, izin pengisian awal waduk, izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari gubernur, pemanfaatan air di kawasan konservasi, hingga persetujuan pemamnfataan jasa lingkungan panas bumi, dan lingkungan.Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, pihaknya optimistis Sumsel mampu mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan meski wilayahnya sebagai penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Dinas ESDM Provinsi Sumsel mencatat, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan di Sumsel, hingga 2023, mencapai 989,12 megawatt (MW)."Sekitar 20 persen PAD di Sumsel bergantung terhadap sektor batu bara, sehingga pelaksanaan transisi energi perlu dilakukan seksama dan hati-hati. Kebutuhan energi itu hak bagi masyarakat. Untuk itu, penyampaian kepada masyarakat juga perlu dilakukan secara jelas agar tidak menimbulkan kepanikan," bebernya.
5. Sumsel masih andalkan pembangkit listrik energi fosil
Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih, Boni Bangun mengatakan, dengan kondisi saat ini cukup sulit menerapkan EBT, kecuali ada keinginan kuat dari pemerintah di Sumsel untuk mendukung target tersebut melalui sebuah strategi komprehensif. Dikatakan sulit, sebab saat ini di Sumsel terdapat pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, bahkan beberapa di antaranya baru beroperasi."Sebut saja, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) MT Sumsel-8 atau PLTU Tanjung Lalang milik PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP), skema kerja sama PT Bukit Asam Tbk dengan China Huadian Hongkong Company Ltd (CHDHK), yang beroperasi tahun 2023. Padahal, salah satu upaya menerapkan energi bersih terbarukan yakni memensiunkan pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, seperti PLTU," ujarnya.Menurutnya, Sumsel menyimpan cadangan batu bara sebesar 9,3 miliar ton, terbesar kedua di Indonesia yang diperkirakan baru akan habis digali selama 40 tahun ke depan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa masih memanfaatkan batu bara."Pemanfatan energi terbarukan harus seimbang dengan pengurangan penggunaan energi fosil. Kita ini memanfaatkan energi sesuai kebutuhan, dan energi yang ditargetkan pada masa depan adalah energi bersih," tegasnya.
6. Sumsel sudah mampu menghasilkan 24 persen EBT
Mengutip dari Institute for Essential Services Reform (IESR), di Sumsel tercatat potensi energi terbarukan mencapai 21 ribu MW dengan potensi angin sebesar 301 MW, bioenergi sebesar 2132 MW, air 448 MW, surya sebesar 17.233 MW dan panas bumi sebesar 918 MW. Namun hingga 2023, kapasitas pembangkit energi terbarukan yang terpasang baru 4,7 persen atau 989,12 MW.“Sumsel sudah mampu menghasilkan 24 persen EBT. Secara keenergian kita sudah masuk dalam wilayah lumbung energi. Hanya saja belum ada komitmen untuk menggunakan 24 persen yang ada untuk digantikan dengan 24 persen energi fosil," ungkap Boni yang juga aktif di IESR.Dirinya menilai isu transisi energi ini harus lebih besar menyadarkan semua pihak soal penting penggunaan EBT di masa mendatang. Kebijakan lebih lanjut dari EBT ini harus digaungkan ke daerah bukan hanya tingkat provinsi melainkan juga menjadi kesadaran pemda kabupaten/kota, pengusaha dan perusahaan dengan kesiapan untuk mengurangi penggunaan batu bara, migas, dan lainnya."Kesannya saat ini regulasi hanya di level nasional, daerah pun hanya sebatas di provinsi. Belum ada regulasi lebih lanjut soal transisi energi sehingga ada ketimpangan pemahaman EBT antar daerah di Sumsel," jelasnya.
7. Transisi fosil ke EBT butuh transformasi ekonomi
Akademisi dan ahli lingkungan dari Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Imam Asngari menambahkan, transisi energi dari fosil menuju EBT bukan sekadar tantangan teknis, tetapi juga memerlukan transformasi ekonomi yang matang. Menurutnya sektor tambang dan penggalian masih menyumbang lebih dari 30 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumsel, sehingga perubahan besar ini berpotensi mengguncang perekonomian daerah.“Jika tidak diiringi transformasi ekonomi, transisi energi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pengangguran, dan memperburuk kemiskinan. Dibutuhkan diversifikasi ekonomi agar dampak sosial dapat diminimalkan," ungkapnya.