KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dibayangi potensi beban finansial dan tekanan profitabilitas seiring kebijakan pemerintah kembali mewajibkan hilirisasi batubara menjadi dimethyl ether (DME). Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan membiayai proyek hilirisasi termasuk DME yang akan diproritaskan untuk digarap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno mengungkapkan, PTBA menjadi perusahaan yang paling maju dalam implementasi hilirisasi batubara menjadi DME. "Terkait DME ini yang mungkin sudah advance sekali untuk mencoba DME ini saya rasa baru satu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang lain belum ada," ujar Tri dalam Mining Forum, Selasa (18/3).
Hilirisasi batubara menjadi DME bukan barang baru, kebijakan ini sebelumnya sempat digadang pemerintah sejak 2020 lalu melalui kerja sama antara PT??, Pertamina dan Air Products & Chemicals. Sayangnya, Air Products belakangan memutuskan untuk menarik diri dari proyek berkapasitas 1,4 juta ton yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatra Selatan ini.
Aspek keekonomian hingga belum adanya kesepakatan soal skema bisnis jadi alasan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut hengkang. Demi tetap menjalankan komitmen hilirisasinya, PTBA memutuskan untuk mengubah skema yang ada.
PTBA bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun memulai proyek percontohan konversi batubara menjadi artificial graphite dan anode sheet sebagai bahan baku baterai Lithium-ion (Li-ion) pada Juli 2024 lalu.
Artificial graphite adalah bahan utama dalam pembuatan anoda. Sementara Anode sheet merupakan elektroda yang menjadi tempat terjadinya reaksi oksidasi (kutub positif), yang menjadi salah satu komponen penting baterai Li-ion.
Langkah ini ditempuh untuk mendukung peranan Grup MIND ID dalam mengakselerasi ekosistem kendaraan listrik.
Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya menyebutkan dalam skema sebelumnya, terdapat tiga pihak yang terlibat yakni PTBA sebagai pemasok batubara, Air Products sebagai pemilik teknologi dan PT Pertamina sebagai offtaker atau pembeli produk DME.
Menurutnya, dalam skema sebelumnya PTBA tidak berkeberatan sebab proyek tersebut menjadi penugasan dimana harga batubaranya telah dipatok.
"Bagi PTBA, selagi ada penugasan dan ada pemikiran bagaimana selisihnya dan jelas itu penugasannya, tidak apa-apa, tidak ada masalah. Hanya saja, ketika dalam konteks sekarang, PTBA ketika misalkan diminta akan melakukan lanjutan kembali DME mereka juga keberatan," ungkap Bambang dalam kesempatan yang sama.
Dengan hilirisasi DME yang diprioritaskan untuk BUMN, maka PTBA sebagai BUMN industri pertambangan batubara pun berpeluang kembali menggarap
proyek substitusi LPG ini.
Junior Equity Analyst Pilarmas Sekuritas Indonesia, Arinda Izzaty Hafiya menjelaskan, pergerakan harga batubara global, regulasi dalam negeri hingga kewajiban proyek hilirisasi masih menjadi faktor-faktor penting yang akan memengaruhi prospek bisnis emiten batubara ini.
"Jika PTBA tetap diwajibkan menjalankan proyek ini tanpa dukungan insentif yang memadai, maka ada risiko beban finansial yang signifikan serta potensi tekanan terhadap profitabilitas perusahaan," ujar Arinda kepada Kontan, dikutip Rabu (19/3).
Arinda menambahkan, PTBA yang kini tengah menggarap proyek hilirisasi lain seperti konversi batubara menjadi baterai Li-ion berpotensi meraup potensi pertumbuhan baru. Meski demikian, tantangan teknologi dan kebutuhan investasi jangka panjang menjadi faktor yang patut dipertimbangkan.
"Harga batubara global yang cenderung lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya juga perlu menjadi perhatian, terutama jika permintaan ekspor melemah. Kebijakan pemerintah, termasuk kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga yang lebih rendah dari pasar global, bisa semakin mempengaruhi profitabilitas perusahaan," terang Arinda.
Menurutnya, PTBA harus tetap berfokus menjaga efisiensi operasional dan strategi diversifikasi yang matang agar dapat mengelola risiko keuangan dan tetap bertahan di tengah perubahan dinamika industri energi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai terdapat banyak risiko yang menghantui proyek DME ini.
"Mulai dari penambahan subsidi karena proyek tidak ekonomis dan dampak lingkungan karena produksi batubara," ungkap Fabby kepada KONTAN, Rabu (19/3). Fabby menegaskan, pemerintah perlu berkaca dari gagalnya proyek serupa sebelumnya.