Jakarta, IDN Times - Komitmen Presiden Prabowo Subianto di KTT G20 Brasil untuk beralih dari pembangkit listrik batu bara dalam 15 tahun ke depan perlu segera diwujudkan. Namun, estimasi kebutuhan pemensiunan PLTU batu bara hingga 2050 diperkirakan sebesar Rp444 triliun.

Hal itu kemudian menimbulkan tantangan besar dalam pemensiunan PLTU batu bara berupa keterbatasan anggaran pemerintah. Kewajiban pembayaran bunga dan utang jatuh tempo tahun depan diperkirakan mencapai 45 persen dari total APBN, sehingga manuver untuk program transisi energi kian terbatas.Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistra mengatakan, skenario debt swap merupakan cara negara maju membayar utang iklimnya kepada negara berkembang seperti Indonesia.“Indonesia kan punya Rp94,8 triliun utang berbentuk pinjaman (loan) yang akan jatuh tempo pada 2025, dan utang ini kepada negara maju dan lembaga multilateral. Jadi, Menteri Keuangan dan Menteri ESDM bisa buka ruang negosiasi utang untuk ditukar menjadi dana pensiun PLTU batu bara. Negara maju juga diuntungkan karena konsisten jalankan skema NCQG membayar utang iklimnya,” tutur Bhima dalam pernyataan resminya, dikutip Minggu (8/12/2024).

1. Pembentukan tim khusus harus segera dimulai

Sementara itu, Peneliti Ekonomi Celios, Bakhrul Fikri mengatakan, pembentukan tim khusus untuk membuka negosiasi debt swap dengan negara maju G7 baik dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) maupun skema bilateral harus segera dimulai.“Komitmen transisi energi ambisius Presiden Prabowo bisa bertemu dengan skema pertukaran utang negara maju. Tindak lanjutnya adalah kementerian terkait dan PLN harus segera mengeluarkan peta jalan dan shortlist unit PLTU Batubara yang akan dipensiunkan. Studi Celios telah menyortir setidaknya ada 19 PLTU milik PLN yang bisa masuk dalam skema pertukaran utang, seperti PLTU Suralaya, Paiton, dan Ombilin,” tutur dia.

2. Tantangan debt swap untuk pemensiunan PLTU batu bara

Dalam implementasi debt swap untuk pemensiunan PLTU batu bara, memang terdapat beberapa tantangan yang perlu dimitigasi.

Salah satu tantangan tersebut adalah memastikan nilai dari utang yang bisa ditukar cukup signifikan.Pengalaman debt swap sebelumnya nilai utang yang bisa ditukar cukup kecil. Pemilihan lembaga yang akan memonitor dan memverifikasi proyek juga diharapkan independen, tidak terkait dengan pihak kreditur.“Selain itu aspek transparansi kepada masyarakat yang terdampak dari PLTU batu bara beserta kompensasinya harus masuk dalam paket debt swap,” kata Bhima.

3. Pensiun dini 13 PLTU batu bara

Sebelumnya diberitakan, pemerintah berencana memensiunkan secara dini 13 PLTU batu bara. Sebagai bagian dari rencana itu, pemerintah pun tengah menyusun peta jalan pemensiunan dini tersebut.Pensiun dini pada 13 PLTU itu berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik."Di situ kan (Perpres 112 Tahun 2022) ada beberapa kriteria yang diatur, misalkan umurnya, kemudian kinerjanya, efisiensinya, produktivitas. Jadi, itu dilihat kita mendaftar dari umur, dari kinerja, dari emisinya semua, jadi kita udah ada daftarnya tuh yang 13 PLTU itu," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, Kamis (22/8/2024).Adapun 13 PLTU yang akan disuntik mati, Dadan mengungkapkan, milik PLN. Namun, sampai saat ini, pemerintah masih belum tahu kapan akan melakukan pensiun dini tersebut."(Sebanyak) 13 PLTU dengan total kapasitas 4,8 GW seluruhnya milik PLN, saat ini kita belum menentukan ini harus dipensiun dininya kapan? Itu belum karena itu nanti basisnya kepada keekonomian," tutur Dadan.

Sumber: https://www.idntimes.com/business/economy/ridwan-aji-pitoko-1/19-pltu-batu-bara-bisa-jadi-objek-pertukaran-utang-pemerintah