KOMPAS
Published at
November 13, 2025 at 12:00 AM
Indonesia Masih Nyaman dengan Batu Bara, Transisi Energi Banyak Retorikanya
KOMPAS.com - United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendesak negara-negara dunia segera beralih dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih untuk mengatasi krisis iklim.
Menurut Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Simon Stiell, sudah tidak ada lagi alasan bagi negara-negara dunia untuk menunda komitmen Perjanjian Paris untuk beralih ke EBT. Kata dia, sudah saatnya negara-negara dunia berfokus mempercepat transisi energi yang berkeadilan.
Dari segi ekonomi, penggunaan listrik dari EBT dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Apalagi, tenaga surya dan angin dapat menjadi sumber energi dengan biaya terendah untuk 90 persen negara di dunia. Total investasi energi EBT dan infrastrukturnya juga telah melampaui pembiayaan untuk bahan bakar fosil.
“Ketika bencana iklim merenggut nyawa jutaan orang saat kita sudah memiliki solusinya, hal ini tidak akan pernah dimaafkan. Ekonomi dari transisi ini sama tak terbantahkannya dengan biaya dari ketidakpedulian,” ujar Stiell saat berpidato dalam pembukaan COP30 di Belém, Brasil, pada Senin (10/11/2025).
Negara-negara dunia sudah bersepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekspansi energi fosil sejak COP 2015 di Paris, Prancis. Namun, pemakaian gas bumi di Indonesia justru meningkat. Bahkan, pemakaian batu bara masih dominan dalam bauran energi di Indonesia untuk 10 tahun ke depan.
Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menganggap hal tersebut sebagai pengingkaran terhadap semangat COP.
“Kebijakan transisi energi Indonesia sejatinya tidak dibangun atas kesadaran bahwa krisis dan bencana-bencana iklim sudah mengancam kemanusiaan kita. Tetapi lebih didasarkan pada politik transaksional yang lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan oligarki energi fosil,” tutur Leonard dalam keterangan tertulis, Selasa (11/11/2025)
Di sisi lain, dalam beberapa pertemuan global, Presiden Prabowo Subianto menyatakan, komitmen transformasi menuju 100 persen EBT dalam satu dekade mendatang. Pernyataan itu semestinya diterjemahkan secara konkret dalam seluruh kebijakan energi nasional. Namun, faktanya malah sebaliknya, yang menunjukkan arah kebijakan transisi energi di Indonesia masih bersifat kontradiktif.
Gas bumi dan batu bara masih ditempatkan sebagai sumber utama pasokan energi nasional hingga lebih dari 60 persen dalam dua dekade mendatang. Itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, serta Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2045.
“Jika tidak ada koreksi menyeluruh, maka pernyataan politik Presiden Prabowo hanya akan berhenti sebagai retorika tanpa pijakan kebijakan yang nyata,” ucap Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono.
Padahal, dokumen komitmen iklim terbaru Indonesia untuk COP30, Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dan target Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat, menuntut keberanian untuk melakukan reformasi kebijakan energi. Tanpa penyelarasan antara komitmen internasional dan kebijakan domestik, Indonesia berisiko kehilangan kredibilitas di mata global.
Hingga saat ini, Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 2024, bauran energi primer di Indonesia masih didominasi oleh batu bara sebesar 40,37 persen. Disusul kemudian, minyak bumi sebesar 28,82 persen, gas bumi 16,17 persen, serta EBT 14,65 persen.
Source:
Other Article
Bisnis Indonesia
Published at
10 dari 190 Izin Tambang yang Dibekukan Sudah Bayar Jaminan Reklamasi
IDX Channel.com
Published at
10 Emiten Batu Bara Paling Cuan di 2024, Siapa Saja?
Kontan
Published at
190 IUP Ditangguhkan ESDM: IMA, APBI, dan APNI Pastikan Anggotanya Aman
CNBC Indonesia
Published at
190 Izin Tambang Ditangguhkan, Dirjen Minerba Beberkan Alasannya
CNBC Indonesia
Published at