Tayang pada
5 November 2025 pukul 00.00
Sinergi Pemerintah dan Pelaku Usaha Menuju Tata Niaga Batubara yang Berkelanjutan
Industri batubara nasional tengah menghadapi tantangan yang semakin kompleks, mulai dari kenaikan biaya produksi, kebijakan hilirisasi energi, hingga dinamika harga di pasar global. Di tengah kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM bersama pelaku usaha terus memperkuat sinergi untuk menjaga keseimbangan antara produksi, penerimaan negara, dan keberlanjutan industri.
Isu-isu strategis tersebut menjadi pembahasan utama dalam sesi pertama Coalindo Coal Conference 2025 yang diselenggarakan pada 5 November 2025, di mana perwakilan Ditjen Minerba, DPR RI, dan pelaku usaha membahas arah kebijakan serta masa depan tata niaga batubara nasional.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Ditjen Minerba, Surya Herjuna, menegaskan komitmen pemerintah dalam menjaga tata niaga batubara yang adaptif dan efisien. Ia menjelaskan bahwa sekitar 73% produksi nasional masih didominasi batubara berkalori rendah, namun cadangan nasional masih dapat dioptimalkan untuk mendukung program hilirisasi energi, termasuk pengembangan coal to chemical. Ditjen Minerba juga terus memperkuat digitalisasi tata kelola pertambangan melalui sistem e-RKAB tahunan, agar perencanaan produksi dan ekspor lebih responsif terhadap kebutuhan domestik maupun dinamika pasar global.
Dari sisi pelaku usaha, Sekretaris Jenderal APBI–ICMA Haryanto Damanik menyoroti sejumlah tantangan struktural dalam tata niaga batubara, terutama meningkatnya biaya produksi akibat kebijakan B40 yang mendorong kenaikan harga solar industri setelah penghapusan subsidi FAME. Kondisi ini, menurutnya, menekan margin perusahaan dan berpotensi mengurangi kontribusi penerimaan negara.
Haryanto juga menegaskan perlunya reformulasi Harga Batubara Acuan (HBA) agar tidak hanya mengacu pada historical price, melainkan mengombinasikan berbagai indeks internasional untuk lebih merefleksikan kondisi pasar global yang aktual. Ia menambahkan bahwa praktik blending perlu tetap diakomodasi dalam sistem e-RKAB karena terbukti meningkatkan efisiensi operasional, menjaga kualitas kalori sesuai kebutuhan pasar, sekaligus memperkuat penerimaan negara.
Selain itu, APBI menyoroti adanya tumpang tindih kebijakan di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berdampak pada proses perizinan anggota asosiasi. Untuk itu, Haryanto mendorong Ditjen Minerba memperkuat sinkronisasi lintas instansi serta memastikan evaluasi RKAB 2026 mempertimbangkan kondisi ekonomi aktual dan strategi bisnis jangka panjang perusahaan agar kegiatan produksi tetap berkelanjutan dan kompetitif.
Dari sisi legislasi, Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya menekankan pentingnya hilirisasi yang efisien dan berdaya saing sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 3/2020 dan UU No. 2/2025. Ia menyoroti biaya proyek DME yang masih tinggi—sekitar USD 800 per ton atau dua kali lipat harga LPG—serta menilai perlu adanya reformulasi HBA agar lebih realistis terhadap dinamika pasar. Bambang juga menekankan pengembangan teknologi hilirisasi yang lebih ekonomis tanpa mengorbankan kepatuhan lingkungan dan iklim investasi.
Sementara itu, Rori Surya Perdana, Head of Marketing Research & Coal Development PT Berau Coal, menilai bahwa volatilitas harga batubara global lebih banyak disebabkan oleh gangguan pasokan di negara produsen lain, bukan lonjakan permintaan. Ia mendorong agar Indonesia mulai mempertimbangkan model kontrak G-to-G seperti yang diterapkan Australia dan Jepang untuk menjaga stabilitas harga ekspor sekaligus mengompensasi margin dari kebijakan DMO domestik.
Sesi ini menegaskan pentingnya sinkronisasi kebijakan antara Ditjen Minerba, DPR, dan pelaku usaha, khususnya melalui reformulasi HBA, fleksibilitas sistem e-RKAB, serta pengakuan terhadap praktik blending yang terbukti mendukung efisiensi dan keberlanjutan industri. APBI–ICMA menegaskan, tata niaga batubara nasional ke depan perlu diarahkan menjadi lebih adaptif, transparan, dan kompetitif.




