
Prospek Batubara Pasca Perpres 112
Oleh: Hendra Sinadia (Direktur Eksekutif APBI-ICMA)
Presiden Jokowi 13 September 2022 telah menandatangani Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik (“Perpres 112”). Selain mengatur percepatan target bauran energi terbarukan, Perpres tersebut secara tegas mengatur pembatasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional. Oleh karena itu, menarik untuk dianalisis masa depan komoditas batubara pasca penerbitan Perpres 112.
Perpres 112 melarang pengembangan PLTU baru dan percepatan pengakhiran waktu operasi (early retirement) PLTU. Larangan terhadap pengembangan PLTU batubara dikecualikan bagi PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Perpres 112. Selain itu dalam Pasal 2 ayat 4 (b), PLTU yang terintegrasi dengan industri yang berorientasi untuk peningkatan nilai tambah (PNT) sumber daya alam atau termasuk dalam proyek strategis nasional (PSN), berkomitmen mengurangi GRK minimal 35% serta beroperasi paling lama sampai 2050 juga termasuk yang dikecualikan.
Dalam hal pengakhiran waktu operasi PLTU oleh PLN, Pemerintah secara bijak mengatur agar PLN memperhatikan berbagai kriteria seperti antara lain, usia pembangkit, nilai tambah ekonomi, utilisasi, ketersediaan pendanaan dan ketersediaan dukungan teknologi. Dukungan fiskal melalui kerangka pembiayaan termasuk blended finance juga merupakan bentuk dukungan Pemerintah mempercepat pengakhiran operasi PLTU.
Langkah selanjutnya terhadap pengurangan ketergantungan pemanfaatan batubara untuk kelistrikan nasional tentu saja adalah bagaimana implementasi dari kebijakan dan regulasi yang diatur dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), RUPTL, Perpres ini bisa terlaksana dengan baik. Jika langkah nyata bisa terealisasi tentu saja pemanfaatan batubara untuk kelistrikan kedepan akan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional.
Prospek Batubara Nasional
Indonesia sejak 10 tahun terakhir menjadi eksportir batubara termal terbesar didunia dari segi volume. Diperkirakan dominasi tersebut masih berlanjut hingga 1 atau bahkan 2 dekade kedepan. Hal itu seiring dengan permintaan yang diperkirakan masih akan menguat dari negara-negara Asia Pasifik hingga awal 2030 kemudian berangsur berkurang. Porsi ekspor sejauh ini masih 75% dari produksi nasional meski pemanfaatan batubara domestik untuk industri (non-kelistrikan) juga menunjukkan peningkatan.
Terkait dengan prospek ekspor, potensi permintaan dari negara-negara importir utama seperti Tiongkok dan India diproyeksikan masih relatif tinggi paling tidak hingga 5-7 tahun kedepan dan secara bertahap berkurang seiring dengan peningkatan output produksi domestik mereka dan juga komitmen pengurangan GRK. Demikian pula potensi ekspor ke negara-negara Asia Tenggara yang sejauh ini berkisari 21-22% dari total ekspor nasional.
Peningkatan pemanfaatan batubara bagi industri juga menarik dicermati. Sejauh ini, dan diperkirakan hingga kedepannya, batubara masih menjadi sumber energi andalan bagi industri domestik seperti industri smelter, semen, kertas, pupuk, tekstil, pertambangan, keramik, dll. Penetrasi energi terbarukan masih sangat kecil sehingga peran batubara terhadap industri masih penting. Bahkan industri smelte) trend penggunaan batubara semakin meningkat seiring dengan pengembangan sumber energi bersih, seperti misalnya ekosistem kendaraan bermotor listrik (EV), dll.
Untuk dampak secara jangka panjang terhadap komoditas batubara nasional, Pemerintah nampaknya telah memperhitungkan secara seksama larangan pengembangan PLTU baru dengan beberapa pengecualian serta mempertimbangkan aspek cadangan dan perizinan. Dari segi perizinan, sekitar 65-70 persen produksi nasional saat ini berasal dari perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus-Kelanjutan Operasi Produksi (eks-PKP2B) yang jangka waktu kontraknya telah/ dan akan berakhir serta dapat diperpanjang maksimal 2x10 tahun. Perpanjangan 2x10 tahun tersebut juga dapat diberikan kepada pemegang IUP. Tambahan jangka waktu usaha dapat diberikan bagi pemegang IUPK-KOP yang membangun fasilitas peningkatan nilai tambah (PNT) batubara.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa antara periode 2041-2050 produksi batubara nasional akan berkurang drastis seiring dengan berakhirnya jangka waktu izin pemegang IUPK-KOP. Hal ini sejalan dengan spirit dari KEN dan dengan menggunakan asumsi bahwa Pemerintah akan memberikan perpanjangan kepada perusahaan eks-PKP2B maksimal 2x10 tahun. Meski kebutuhan batubara untuk PLTU dalam periode tersebut diproyeksikan akan semakin berkurang, seiring dengan semakin berkembangnya EBT dan dengan asumsi semakin banyak PLTU yang berhasil dilakukan upaya “pensiun dini”, namun pasokan untuk kebutuhan industri kemungkinan masih tetap ada.
Dalam 2 dekade kedepan, dengan asumsi penetrasi EBT sebagai sumber energi industri belum signifikan, diperkirakan permintaan batubara untuk kebutuhan industri masih kuat. Perkembangan pembangunan smelter nikel untuk mendukung pembangunan ekosistem EV, membutuhkan pasokan batubara. Trend konsumsi batubara untuk smelter juga terus berkembang, apalagi dalam 2-3 tahun kedepan smelter tembaga di Gresik dan di NTB juga akan beroperasi. Selain itu, pengembangan industri semen, kertas, tekstil, dan lain-lain juga diperkirakan meningkat. Adapun investasi PNT batubara untuk menghasilkan produk bahan kimia, seperti antara lain dimethyl ether, methanol (bagian dari PNT batubara) juga membutuhkan pasokan yang stabil.
Disisi lain, ada kemungkinan permintaan ekspor batubara di periode 2041-2050 masih terbuka meski volumenya akan jauh berkurang dibandingkan era ekspor saat ini. Tentu saja negara-negara yang telah berkomitmen dalam mencapai target net zero emission (NZE) mereka akan mengurangi secara gradual (coal phasedown) penggunaan batubara mereka. Namun tidak tertutup kemungkinan permintaan ekspor masih ada meski dengan jumlah yang tidak signifikan.
Oleh karena itu, pelaku industri pertambangan batubara menyambut baik terbitnya Perpres 112 karena juga membuka peluang investasi pengembangan EBT. Inisiatif investasi yang dilakukan oleh beberapa grup usaha besar yang mengandalkan income mereka dari penambangan batubara menjadi indikator yang nyata bahwa transformasi menuju ke energi yang lebih bersih sedang berlangsung. Kepastian hukum dan insentif bagi fiskal dan non-fiskal sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha dalam melakukan transformasi di era transisi energi.
---000---